PENDAHULUAN
Angin semilir menghembus ruang semi terbuka di Komunitas Literer Bandung berlabel Zoe Café and Library yang siang itu sekitar pukul 11.00 dikunjungi lebih kurang lima belas (15) orang. Musik instrumentalia dari Kenny G mengalun lembut menemani pengunjung yang mengisi hari dengan membaca, mengerjakan tugas, ngobrol atau juga “ngenet” memanfaatkan fasilitas wifi yang disediakan. Tampak dua orang pelajar perempuan berseragam SMA duduk berdampingan disebuah kursi panjang kayu berwarna hitam. Keduanya asyik membaca komik yang berada di tangan masing-masing sambil sesekali menyeruput minuman yang mereka pesan dari kafé di tempat itu. Tidak jauh dari mereka duduk tiga pria berpenampilan mahasiswa dengan celana jeans dan kaos oblong, tampak serius menatap laptop dihadapan mereka. Sesekali mereka bercakap-cakap dan seorang dari mereka mengetikan sesuatu di laptop itu dan yang lainnya menuliskan kalimat-kalimat di atas kertas. Tak lama kemudian pelayan datang mengantar makanan dan minuman yang mereka pesan. Percakapan tetap berlangsung sambil menikmati pesanan tersebut.(STUDI KASUS KOMUNITAS LITERER BANDUNG)*
Ninis Agustini Damayani**
.
* Disampaikan pada acara Seminar Nasional dengan tema “Peluang Bisnis dalam Perpustakaan” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Perpustakaan dan Informasi Universitas Diponegoro, Semarang 5 Juni2010.
** Dosen Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas
Padjadjaran.
Di pojok lain beberapa mahasiswi tampak asyik dengan kegiatan masing-masing, ada yang membaca novel, komik, majalah, atau berinternet, ada pula yang sibuk menulis. Meski berbeda kesibukan tetapi semua menjalankan aktifitas yang berorientasi edukasi sambil menikmati minuman dan makanan yang ditawarkan oleh perpustakaan yang menghadirkan kafe tersebut.
Tak jauh dari Zoe, kurang lebih 100 meter, ada tempat lain yang tak kalah menarik , yaitu Komunitas Literer Bandung yang berlabel Potluck Coffee Bar and Library. Potluck memanjakan pengunjung yang mereka namakan potluck people dengan makanan dan minuman serta musik jazz disamping buku fiksi dan majalah terutama terbitan luar negri yang sukar diperoleh disini. Kursi-kursi kayu berwarna coklat dipilih untuk mengisi ruang berbentuk L dengan kaca-kaca besar. Ditengah ruang terdapat kafe yang menyediakan berbagai minuman dan makanan. Menu ditulis di papan yang terpampang di belakang bar, sehingga potluck people dapat melihat dengan jelas. Selain itu potluck juga menyediakan ruang-ruang bersofa yang disekat dengan rak-rak yang dipenuhi koleksi. Potluck people yang sebagian besar mahasiswa, tidak hanya datang untuk membaca dan menikmati menu kafe yang lezat, tetapi mereka juga memanfaatkan fasilitas hotspot yang tersedia, mengerjakan tugas atau bertemu teman untuk berbagai urusan seperti berdiskusi, sekedar ngobrol dll. Seperti sore itu sekitar pukul 16.00 alunan suara grup musik jazz dari perancis Cafedelimar menemani potluck people menghabiskan waktu berkegiatan di tempat itu.
Jika kedua tempat tadi berlokasi di kota Bandung bagian tengah, maka di Bandung bagian utara, tepatnya di kawasan hegarmanah juga ada Komunitas Literer Bandung berlabel Rumah Buku. Rumah Buku dibangun oleh pemilik sekaligus penggagasnya sebagi pusat referensi, menawarkan ruang untuk berkegiatan membaca, berdiskusi, menonton film dll. Ada kurang lebih 3000 koleksi buku yang fokus pada subyek tertentu seperti; antropologi, budaya, sastra, filsafat, arsitektur dan seni yang ditawarkan. Selain itu Rumah buku juga menawarkan koleksi film dan musik dalam bentuk CD, bahkan ada ruang khusus yang dapat digunakan untuk menonton film. Sambil membaca, belajar, mengerjakan tugas, diskusi, nonton film, mendengarkan musik dan lain-lain, anggota yang merasa lapar dan haus, dapat memesan makanan dan minuman seperti sandwich, nasi goreng, nasi hijau, ice chocolate, hot lemon tea dan lain-lain dari kafe yang disediakan di tempat tersebut. Suasana rumah dibangun untuk membuat pengunjung merasa santai dan nyaman berkegiatan di Rumah Buku.
Ketiga tempat ini merupakan sebagian dari perpustakaan kafe yang ada di kota Bandung yang tergabung dalam Komunitas Liteter Bandung yaitu komunitas yang melakukan pergerakan literasi dengan cara yang khas. Memanfaatkan koleksi perpustakaan sambil makan, minum, mendengarkan musik, bahkan ngobrol atau diskusi merupakan fenomena yang berkembang di Indonesia terutama kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta dan Yogyakarta. Perlu kita ingat bahwa, memanfaatkan perpustakaan dengan cara seperti ini bertentangan dengan pakem yang berlaku di dunia perpustakaan, dimana terdapat aturan yang melarang pemustaka (pengguna perpustakaan) untuk makan, minum, ngobrol, mendengarkan musik di dalam perpustakaan. Sehingga fenomena Perpustakaan Kafe atau Library Cafe ini menimbukan setumpuk keingintahuan tentang apa dan mengapa?. Apakah ini sebuah idealisme untuk membangun literasi informasi mayarakat di Indonesia tercinta ini?, atau sebuah bisnis saja ?.
Library Cafe : Sebuah Idealisme
Membangun bangsa yang cerdas merupakan cita-cita mulia/idealisme yang menjadi dasar bagi kegiatan literasi informasi Melalui kegiatan literasi informasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi masyarakat pembelajar sepanjang hayat dan berkehidupan cerdas. Sesungguhnya telah banyak kegiatan yang dicanangkan pemerintah untuk mendukung pembangunan sumber daya manusia yang berkeaksaraan tersebut, yaitu
1. Pencanangan Hari Aksara dan kunjung Perpustakaan serta Bulan Gemar membaca oleh Presiden RI H.M. Soeharto, pada tanggal 14 September 1995
2. Pencanangan Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, pada tanggal 25 Oktober 2001
3. Pencanangan Gerakan Membaca Nasional oleh Presiden RI Megawati Soekarno Putri, pada tanggal 12 November 2003
4. Pencanangan gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat oleh Preside RI DR. H. Susilo Bambang Yudoyono, pada tanggal 17 Mei 2006 (Pepustakaan Nasional,2006:6).
Selain itu banyak lagi kegiatan–kegiatan literasi informasi yang dilakukan lembaga-lembaga pemerintah seperti Pepustakaan Nasional sebagai pembina semua jenis perpustakaan di Indonesia, Bapusipda sebagai penggiat literasi informasi di daerah, kemudian Kemendiknas dengan taman bacaan masyarakat, dan lain-lain. Berdirinya perpustakaan–perpustakaan kafe yang marak di kota-kota besar di Indonesia seperi di Bandung ini dapat dianggap sebagai upaya kepedulian terhadap literasi informasi di masyarakat. Modifikasi layanan dengan menghadirkan kafe dan musik di perpustakaan-perpustakaan kafe ini, juga dapat dianggap sebagai upaya membangun kesenangan kenyamanan dan rasa santai dalam belajar untuk menambah pengetahuan. Meski aura bisnis tetap lekat pada perpustakaan-perpustakaan kafe ini, namun kiprah mereka untuk membuat orang mau membaca dan belajar secara terus menerus tidak dapat dianggap kecil. Upaya-upaya menyelaraskan layanan informasi dengan kebutuhan target pasar mulai dari content sampai dengan kemasan, bukan aktifitas sederhana dan mudah. Mereka memilih dan menentukan target pasar yang dibidik, yang disesuaikan dengan kekuatan yang mereka miliki dari segi fasilitas, staf, dan produk, sehingga apa yang mereka tawarkan memiliki sentuhan tersendiri, serta menghadirkan kepuasan baik fisik maupun emosi yang diharapkan. Menurut pendapat saya gerakan literasi informasi yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga informasi seperti perpustakaan, taman bacaan dan lain-lain, baik di sektor formal maupun sektor non formal dapat mengadaptasi prinsip-prinsip sebagai berikut, yaitu; menawarkan produk dan cara memperoleh produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pasar yang telah diidentifikasi, sehingga transaksi berjalan seperti yang dikehendaki bersama. Seperti apa yang disampaikan oleh Ariani, pendiri Rumah Buku, dalam wawancara yang dimuat Koran Pikiran Rakyat “ jangan meremehkan minat baca orang Indonesia. Kalau bukunya tersedia dengan gampang dan murah, banyak yang datang dan ingin membaca” (Pikiran Rakyat, Sabtu 15 Maret 2008).
Selanjutnya, perpustakaan kafe ini juga membangun dan memelihara hubungan baik dan bermanfaat dengan kliennya, melalui berbagai kegiatan yang melibatkan kedua belah pihak. Semangat berbagi informasi juga ilmu pengetahuan melalui berbagai koleksi yang ditawarkan secara personal memberi warna tersendiri dalam membangun hubungan kepercayaan untuk menggali lebih jauh tentang informasi yang ingin diketahui. Selain itu dibentuknya kelompok-kelompok dan forum-forum diskusi memberikan ruang bagi terjadinya interaksi yang intensif dan saling menguntungkan antara perpustakaan dengan kliennya yang secara pasti dapat memberikan sentuhan-sentuhan emosi yang mengikat untuk terus berjuang bersama mencapai tujuan bersama yaitu masyarakat yang literat. Masyarakat literat yang diartikan sebagai masyarakat yang bukan hanya suka baca tetapi lebih dari itu, yaitu masyarakat pembelajar sepanjang hayat, masyarakat berkehidupan cerdas yang mampu memaknai apa yang dibaca dengan cerdas, kritis dan bijak, termasuk mampu memaknai lingkungan sekitarnya.
Library Cafe : Sebuah Gaya Hidup
Memenuhi kebutuhan informasi melalui bacaan tercetak ataupun elektronik merupakan hal yang paling umum dilakukan. Kebutuhan informasi juga dapat dipenuhi melalui diskusi dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan pada hal yang sama atau dengan para pakar dibidang tersebut. Perpustakaan kafe menawarkan informasi dalam bentuk-bentuk yang personal, yang memberikan kemudahan dan kenyamanan dengan harga yang terjangkau. Kemasan informasi seperti acara “nongkrong/hang out”, nonton bareng serta forum-forum diskusi yang digelar memberikan nuansa yang berbeda dan lebih bergengsi bagi klien. Demikian juga kegiatan membaca, belajar dan berselancar di dunia maya yang dilakukan di perpustakaan kafe telah menjadi kebutuhan sosial bagi klien. Bahkan seringkali informasi yang didapat tidak sepenuhnya seperti yang diinginkan, tetapi keikutsertaan mereka dalam kehidupan sosial seperti itu telah menjadi simbol-simbol yang memberikan makna khusus untuk mereka, misalnya termasuk dalam kelompok keren yang didefinisikan sebagai gaul & pintar. Karena untuk predikat gaul cukup berkunjung ke kafe atau mall, tetapi predikat gaul dan pintar harus berkunjung ke perpustakaan kafe. Terlebih lagi dengan keikutsertaan mereka dalam komunitas-komunitas yang dibentuk atas nama kesamaan (ide,konsep,ketertarikan,dll ).
Beraktivitas di sebuah perpustakaan kafe telah menjadi sebuah gaya hidup yang banyak dianut masyarakat kota, yang awalnya dianggap sebagai pilihan bebas individu tetapi kenyataannya justru kebesertaan tanpa pilihan. (Gaya hidup dapat didefinisikan sebagi pola hidup seseorang yang diekspresikan dalam bentuk tindakan dalam berkehidupan yang membedakan satu dengan yang lainnya). Ini bisa kita lihat pada fenomena yang ada yaitu bahwa untuk menjadi individu bersimbol tertentu (mis:gaul&pintar), tanpa bisa memilih mereka harus bergabung dalam keseharian kelompok/komunitas bersimbol tersebut, seperti melakukan aktivitas di perpustakaan kafe. Hal ini dikemukakan oleh pemikir-pemikir aliran kritis dimana hal tersebut diatas dianggap sebagai penindasan kultural atas individu dalam masyarakat. Habermas menyebutnya sebagai legitimasi yaitu sistem yang dihasilkan oleh sistem politik dan sistem lainnya untuk mendukung eksistensi sistem tersebut (Goodman & Ritzer,2004:183). Atau dengan kata lain individu dikontrol oleh kekuatan eksternal. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa kehadiran perpustakaan kafe cenderung disebabkan adanya kepentingan industri buku atau penerbit, industri media massa dan nir massa seperti internet dan lain-lain. Kehadiran satu perpustakaan kafe diikuti oleh yang lainnya sehingga tersebar dimana-mana, bak jamur di musim hujan. Apabila begitu terus maka akan terjadi stagnasi atau kemandekan berpikir atau kejenuhan, yang akhirnya berguguran. Sebagai contoh, pada tahun 2005 di kota Bandung berdasarkan penelitian yang dilakukan komunitas Dipan Senja, terdapat sekitar 40 komunitas literer, tapi saat ini menurut Tobucil tinggal 8 komunitas literer yang aktif. Pemaparan ini tidak berarti bahwa keberadaan perpustakaan kafe yang kemudian menjadi simbol gaya hidup adalah salah. Akan tetapi harus selalu ada hal baru agar kita tidak pernah berhenti berpikir kritis dan berkreasi.
Library Café:Sebuah Bisnis
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran perpustakaan kafe memberikan nafas baru bagi dunia kepustakawanan di Indonesia. Penyajian informasi dalam kemasan kenyamanan, kemudahan dan rekreasi, tanpa meninggalkan unsur edukasi menjadi amat menyentuh dan menghasilkan sebuah bisnis. Sesungguhnya ini merupakan peluang bagi perpustakaan dan pustakawan/ahli informasi untuk mengembangkan kepiawaiannya dalam mengelola informasi keranah bisnis. Pustakawan/ahli informasi perlu melihat dan memperhatikan secara seksama bahwa segmen pasar tertentu memilih layanan informasi dengan cara tertentu. Dengan demikian dalam pengelolaan perpustakaan perlu diterapkan prinsip-prinsip marketing/pemasaran, yaitu tidak menjual apa yang kita punya tetapi menjual apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh target klien kita. Jadi karakteristik perpustakaan kafe berserta segala produk yang kita tawarkan harus sesuai dengan karakteristik target klien kita. Oleh sebab itu mengenal klien menjadi syarat terpenting dari sebuah pemasaran.
Klien adalah fokus dari sebuah kegiatan pemasaran karena apapun yang dilakukan oleh pemasar ditujukan untuk memberikan kepuasan pada klien melalui produk yang ditawarkan. Oleh karenanya kita harus mengenal;
1. siapa mereka?
2. bagaimana karakteristik mereka?
3. apa yang membuat mereka menggunakan perpustakaan?
4. layanan informasi seperti apa yang mereka inginkan sekarang?
5. layanan informasi seperti apa yang mereka inginkan kedepan?
6. benefit apa yang mereka cari?
7. produk apa yang mereka inginkan?
Selain itu dalam pemasaran perlu diingat bahwa klien yang berbeda memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga segmentasi pasar perlu dilakukan agar pemasar dapat;
1. memilih, menentukan klien yang terpenting atau klien sasaran (market targeting)
2. mengidentifikasi peluang
3. menentukan perbedaan yang jelas dengan pesaing
4. fokus pada layanan dan produk yang sesuai dengan klien sasaran
5. cepat melihat perubahan pasar
6. merancang kegiatan promosi yang sesuai dengan klien sasaran
Selanjutnya perlu digaris bawahi bahwa produk dari sebuah perpustakaan kafe meliputi;
1. Sumber daya manusia
2. Koleksi (cetak maupun non cetak)
3. Fasilitas wifi
4. Lokasi dan Tata Ruang (letak strategis,furnitur, warna, tata letak)
5. Makanan dan Minuman serta cara penyajian
6. Suasana (keramahan, kehangatan, keakraban, kesopanan, kebersihan, keunikan)
7. Musik
8. Harga yang terjangkau klien sasaran
9. Program/Kegiatan yang melibatkan pengelola dan klien
PENUTUP
Menikmati informasi melalui media cetak maupun non cetak dengan ditemani musik dan makanan, minuman di perpustakaan kafe menjadi pengalaman yang amat menyenangkan. Sedangkan mengelola perpustakaan kafe merupakan tantangan untuk memadukan idealisme dan bisnis agar dapat beriring jalan secara serasi. Ini merupakan lahan yang dapat digarap ahli informasi termasuk pustakawan.
DAFTAR PUSTAKA
Calhoun, Craig et all. 2007. “Contemporary Sociological Theory”. UK:Blackwell
Chaney, David. 200... “Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif” (karya
terjemahan). Yogyakarta : Jalasutra
Coote, Helen.1994. “How to Market Your Library Effectively”. London:Aslib.
Elliot de Saez, Eileen. 2002. “Marketing Concepts for Libraries and
Information Services 2 ed”. London:CILIP.
Fill, Chris. 2006.”Marketing Communications : Engagement, Strategies and
Practice”. Harlow:Prentice Hall.
Goodman, Doglas J. & Ritzer, George. 2005 “Teori Sosiologi Modern”
(karya Terjemahan). Jakarta: Prenada Media
Ibrahim, Idi Subandy (ed). 200… “Lifestyle Ectasy:Kebudayaan Pop dalam
Masyarakat Komoditas Indonesia”, Yogyakarta: Jalasutra
Jain, Abhinandan K. et.al.1999. “Marketing Information Products and Services:A
Primer for librarians and Information Profesionals”. New Delhi:McGraw-Hill
Ritzer, George. 2007 “Contemporery Sociological Theory and Its Classical
Roots: The Basics”. Boston: Mc Graw-Hill
Kotler & Armstrong. 2008. “Principles of Marketing 12e”. New Jersey:Pearson
Prentice Hall.
Straubhaar,J. and La Rose, R. 2000. “Media Now:Communication Media in
the Information Age”. Belmont,CA:Wadsworth.
Vivian, John.2006. “The Media of Mass Communication 7ed”. Boston:Pearson
Sumber lain.
Perpustakaan Nasional RI. 2006. “Pencanangan Pemberdayaan Perpustakaan di
Masyarakat”. Jakarta:Perpustakaan Nasional RI.
Pikiran Rakyat, Maret 2008
Selengkapnya.....
LIBRARY CAFÉ: Antara Idealisme Dan Bisnis
Peluang Usaha Kerani Pustaka1
Peluang Usaha Kerani Pustaka1
Oleh. AGUS M. IRKHAM2
Ada tiga syarat kunci paling tidak, agar aktivitas bisnis atau wirausaha bisa dicangkokkan di dalam perpustakaan. Tanpa ada tiga asumsi kunci itu, maka kegiatan bisnis di perpustakaan, saya pastikan akan berhenti hanya pada kata peluang, untuk tidak menyebut wacana. Di luar itu, aktivitas bisnis justru bisa menjadi pemicu timbulnya perpecahan di antara para kerani buku itu sendiri.
Apakah tiga faktor kunci itu?
Pertama adalah berkaitan dengan payung hukum (aturan tertulis). Dibenarkan atau tidak di dalam perpustakaan ada kegiatan bisnis, atau aktivitas yang memang diarahkan pada perolehan keuntungan dan pendapatan ekonomi (uang). Ini harus clear dulu. Karena, seperti yang sudah kita ketahui, keberadaan perpustakaan selalu disandingkan dengan misi mencerdaskan anak bangsa. Dan di dalam upaya mencapai misi itu perpustakaan (biasanya) diharamkan untuk mencari keuntungan ekonomi. Kalau ternyata berdasarkan aturan tertulis tidak boleh, ya jelas upaya menindihkan aktivitas bisnis ke dalam perpustakaan akan menjadi sulit, jika enggan menyebutnya mustahil. Jika tidak ada payung hukum yang jelas dan kuat—yang membolehkan—otomatis pembicaraan mengenai peluang usaha dalam perpustakaan kita hentikan sampai di sini saja.
Faktor kunci kedua adalah berupa kesediaan tiap orang yang berkerja di perpustakaan (staf, karyawan, dan terutama pustakawan) untuk mentransformasi diri. Dari yang semula bermental pekerja, menjadi bermental pebisnis, atau dengan kata lain memiliki jiwa wirausaha. Menurut Prof. Purbayu, Guru Besar Fakultas Ekonomi UNDIP, sekaligus pegiat studi Ekonomi Kelembagaan, identifikasi seseorang yang memiliki jiwa wirausaha, meliputi antara lain: Pertama, penuh percaya diri. Indikatornya penuh keyakinan, optimis, berkomitmen, disiplin, bertanggung jawab. Kedua, memiliki inisiatif. Ukurannya adalah penuh energi, cekatan dalam bertindak dan aktif. Ketiga, memiliki motif berprestasi, terdiri atas orientasi pada hasil dan berwawasan ke depan. Keempat memiliki jiwa kepemimpinan. Parameternya adalah berani tampil beda, dapat dipercaya, dan tangguh dalam bertindak. Dan yang kelima, berani mengambil risiko dengan penuh perhitungan, oleh karena itu menyukai tantangan.
Syarat ketiga, yang harus dipenuhi agar aktivitas bisnis bisa jalan di perpustakaan adalah berupa adanya sistem (mekanisme, prosedur) yang adil, terbuka, partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan. Terutama dari segi keuangan. Dan yang begini ini mengandaikan adanya seorang pemimpin yang mampu memetakan kondisi anak buahnya. Baik menyangkut penguasaan hardskill, softskill, maupun potensi yang bisa create dari kedua jenis penguasaan itu. Sistem yang baik akan mencegah terjadinya perasaan dizalimi (diperlakukan tidak adil), tiap orang memiliki kesamaan untuk maju, berkembang, serta kesempatan mengaktualisasikan diri.
Tanpa sistem yang baik, maka usaha bisnis justru hanya akan memicu terjadinya kecemburuan dan sak wasangka antar karyawan, staf, dan pustakawan. Dan besar kemungkinan, rentetan kejadian yang bakal berlaku adalah turunnya tingkat kualitas layanan pada pemustaka. Tentu saja ini harus dihindari. Jangan sampai layanan inti (dasar, basis) perpustakaan yang merupakan menu utama, justru terganggu akibat layanan bumbu (tambahan).
Dan tidak kalah penting, jalannya sistem ini harus dikomandani oleh sosok pimpinan yang kuat. Dalam pengertian ia mampu memaksa (mengerem) anak buahnya yang kelewat maju untuk berhenti sejenak—membatasi seringnya keluar memenuhi undangan menjadi pembicara atau narasumber workshop—dengan memberikan kesempatan pada orang lain untuk turut maju pula. Karena tanpa kehadiran sosok pimpinan yang kuat, maka yang kemudian bakal terjadi adalah yang pinter bakal tambah pinter, yang kuper kian kuper.
Tapi konsekuensi, secara ekonomi (gaji), kesejahteraan hidup golongan pustakawan yang kelewat maju harus dipenuhi. Tanpa itu, sangat sulit menahan mereka untuk menolak, atau memberikan kesempatan pada orang lain untuk menggantikan dirinya sebagai pembicara dan trainer. Pengereman itu juga penting agar kapasitas yang dimiliki para kerani pustaka ini lebih banyak dimanfaatkan dan difokuskan pada penguatan dan pengembangan institusi. Berorientasi ke dalam, bukan keluar. Harapannya yang akan terbangun kemudian adalah tidak semata-mata kredibilitas personal, tapi tidak kalah penting dengan itu adalah kredibilitas komunal (lembaga).
Setelah ketiga syarat tersebut ada, maka baru kita bisa meneruskan pembicaraan ke bentuk-bentuk nyata potensi usaha yang bisa dikembangkan di perpustakaan.
Secara garis besar jenis usaha yang bisa dijalankan diperpustakaan dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, yang bersifat rutin. Kedua, isidental. Ketiga, membership (sistem keanggotaan pemustaka). Oke, kita mulai dari yang pertama terlebih dahulu.
Bisnis yang bisa dijalankan secara rutin ini dapat dibagi lagi menjadi dua bentuk, yaitu perpustakaan dan non perpustakaan. Rutin di sini dalam pengertian kontinue, terus berkelanjutan (setiap hari/waktu). Termasuk ke dalam bisnis rutin perpustakaan adalah mulai dari foto copy, copy data, layanan informasi, hingga denda. Sedangkan yang termasuk bisnis rutin non perpustakaan misalnya, warung internet (warnet), kantin atau cafe, toko buku kecil, yang kesemuaannya dapat digolongkan ke dalam layanan tambahan atau pendukung perpustakaan.
Itu yang pertama, bagaimana yang kedua?
Peluang usaha kategori insidental yang dapat dikembangkan diperpustakaan misalnya dengan menggelar beragam pelatihan atau workshop. Mulai dari workshop sistem kemas ulang informasi, katalogisasi, pelatihan membaca capat, workshop menulis, setup perpustakaan keluarga (rumah), hingga program pustaka di radio atau televisi. Waktu penyelenggaraan workshop sepenuhnya ditentukan sendiri oleh perpustakaan. Bisa dengan sehari selesai, atau yang bersifat kelas dan sistem paket. Misalnya untuk workshop menulis tingkat dasar terdiri atas 4 kali pertemuan, dan berlangsung sepekan sekali. Sedangkan tingkat lanjut 8 kali pertemuan, dan berlangsung sepekan dua kali. Kelonggaran menentukan waktu itulah mengapa usaha bisnis ini digolongkan bersifat isidental.
Selain workshop, kegiatan bisnis insidental lainnya adalah berupa pameran. Apapun itu, selama berkaitan dengan perpustakaan (informasi dan buku). Taruhlah pameran buku. Tentang pameran buku ini beragam varian bisa dihelat. Misalnya pameran buku tematik, berdarakan asal penerbit, berkaitan dengan perayaan tertentu (World Book Day, Hari Buku Nasional, Bulan Bahasa, Hari Aksara Nasional, Hari Perpustakaan (?), bazar buku-buku impor, pameran buku diskin dan yang sejenis dengan itu)
Kini tentang sistem keanggotaan. Apa pasal membership saya masukkan sebagai varian bisnis yang bisa diterapkan di perpustakaan?
Begini ceritanya. Sistem keanggotaan bisa dibuat secara bertingkat. Misalnya bronze (perunggu), silver (perak), gold (emas). Pembedaan tiap tingkatan didasarkan pada fasilitas layanan yang diberikan. Misalnya mulai dari jumlah eksemplar buku yang boleh dipinjam, durasi jam pemakaian fasilitas internet, selain itu bisa pula meminjam koleksi lainnya, misalnya DVD dengan jumlah yang ada pembedaannya pula.
Sistem membership bertingkat dapat mendatangkan cash flow secara cepat. Hitung-hitungan matematika ekonominya seperti ini. Sebagai contoh, ada 1000 anggota dengan jenis keanggotaan gold, dengan harga Rp100.000 (jenis dan angka ini hanya untuk memudahkan penghitungan saja). Membership tersebut berlaku selama 1 tahun. Artinya ada uang kas masuk sebesar Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Taruhlah lamanya waktu peminjaman buku maksimal 2 minggu. Berarti dalam setahun, tiap anggota memiliki kesempatan meminjam minimal sekitar 26 kali. Perpustakaan akan ”merugi” jika tiap pemustaka siklus pinjam-mengembalikan kurang dari satu minggu. Misalnya seminggu sekali (berarti dalam setahun 52 kali meminjam buku).
Tapi pada kenyataannya, tidak semua pemustaka, bahkan hanya sebagian kecil saja yang rentang masa pinjam kembali kurang dari 2 minggu. Mayoritas mereka 2 minggu sekali. Jadi lebih kepada alasan agar tidak kena denda. Nah tentu saja ini menguntungkan buat perpustakaan.
Berikutnya, ternyata dari 1000 pemustaka tersebut yang betul-betul aktif menggunakan/memanfaatkan keanggotaannya (biasanya) kurang dari 50 persennya. Artinya perpustakan dalam kondisi tersebut sudah untung Rp50.000.000 berasal dari ”sumbangan” pemilik kartu keanggotaan yang nganggur.
Bagaimana? ”Bisnis membership” sangat menguntungkan bukan? Apalagi jika mau dikembangkan lagi, misalnya dengan bekerja sama dengan lembaga perbankan.. Bentuk kerjasama itu misalnya, kartu membership bisa difungsikan pula sebagai kartu debet. Sehingga ketika ada keterlambatan pengembalian, secara otomatis, saldo yang terdapat di kartu akan terdebet. Dan jika habis, bisa ”mengisi ulang” kembali.
Selain dengan lembaga perbankan, kerjasama mengenai membership ini juga bisa dilakukan dengan menggandeng para merchand. Misalnya kartu anggota bisa dimanfaatkan pula sebagai kartu diskon untuk pembelian buku, dan rak buku. Dan masih banyak lagi kemungkinan kerjasama yang bisa dilakukan.
Semua itu tadi peluang usaha yang bisa dikembangkan di perpustakaan. Lantas bagaimana halnya dengan peluang bisnis/wirausaha yang bisa dilakukan oleh para (sarjana) kerani pustaka? Modal penting apa yang harus dimiliki oleh seorang pustakawan agar ia bisa berlaku dan berfikir laksana seorang wirausahawan?
Tentang ini saya punya sedikit cerita. Sekitar awal Mei 2010 saat berada di perayaan hari buku sedunia (World Book Day Indonesia) saya bertemu dengan Edi Dimyati. Edi bekerja sebagai pengelola dokumentasi di majalah remaja ”HAI” Jakarta. Pekerjaan Edi tidak jauh-jauh amat dari latar belakang pendidikannya, yaitu sarjana ilmu perpustakaan. Menariknya Edi baru saja meluncurkan buku pertamanya berjudul
Panduan Sang Petualang: 47 Museum Jakarta. Sesuai dengan judulnya, buku ini memuat profil 47 museum di Jakarta. Oleh Edi, ke-47 museum tersebut diklasifikasikan menjadi 10 kategori.
Edi menampilkan profil tiap museum tidak dari segi kulitnya (luar-formal), atau data kerasnya, seperti kapan museum berdiri, terbagi menjadi berapa ruang, dan lain-lain yang sejenis itu, layaknya buku panduan selama ini yang dibuat pengurus museum, tapi lebih ke data lunaknya. Pembahasan tiap museum dilengkapi dengan foto-foto eksklusif-berwarna (karena memang secara khusus dikerjakan oleh juru foto profesional), fakta-fakta menarik dan unik yang jarang sekali orang tahu, serta profil komunitas yang bertalian erat dengan museum.
Lantas apa hubungannya antara wirausaha dengan Edi yang menulis buku?
Hasil pembacaan saya atas ”fenomena Edi” tersebut kira-kira seperti ini: kemampuan inti yang musti dipunyai seorang pustakawan adalah: katalogisasi, dokumentasi, dan klasifikasi—kalau salah mohon dikoreksi. Selama ini teks, terutama yang berbentuk buku menjadi objek utama dari ketiga ranah penguasaan hard skill itu. Akibatnya, pustakawan lebih banyak berada di belakang meja. Kuper alias kurang pergaulan. Menarik diri dari pikuk kehidupan. Tersembunyi di balik tumpukan buku dan gunungan arsip/dokumentasi. Dalam konteks itu, seberapa besarpun capaian yang telah diraih oleh seorang kerani perbukuan (pustakawan), tetap saja ia berposisi sebagai konsumen, bukan produsen. Masih menjadi user, bukan producer. Belum bisa memberikan nilai (value).
Buat Edi Dimyati, ketiga bentuk keterampilan inti tersebut cakupannya diperluas. Tidak semata-mata hanya digunakan untuk menangani teks, tapi lebih dari itu, yaitu konteks. Perspektifnya tidak sempit. Tidak hanya terbatas pada ruang perpustakaan atau gudang arsip, tapi diperluas hingga di dunia luar sana, yaitu lapangan kehidupan.
Edi berhasil mengambil hal-hal yang substansial dari ketiga bentuk keterampilan basis tersebut. Nampak jelas, Edi menempatkan museum-museum yang berada di Jakarta sebagai ”teks-teks” yang bisa didekati, diolah, serta dikemas dengan pendekatan ilmu perpustakaan. Hasilnya? Buku ciamik berjudul 47 Museum Jakarta itu dapat dihadirkan. Bergeserlah peran Edi yang semula konsumen bacaan, kebetulan ia bekerja sebagai penata dokumentasi (sulih istilah pustakawan) di Majalah HAI Jakarta, kini menjadi produsen bacaan. Kecintaan terhadap profesi ”mendesak” Edi melakukan transformasi diri.
Jadi jelasnya modal penting apa yang harus ada agar seoranga (calon) pustakawan memiliki semangat wirausaha—dalam konteks peluang bisnis dalam perpustakaan—adalah rasa cinta. Cinta terhadap pustaka, dan pernik-pernik sistem dan disiplin kerja yang melingkupinya.
Kembali lagi ke pembahasan tentang semangat wirausaha dalam konteks tema seminar hari ini ”Peluang Bisnis dalam Perpustakaan”, saya akan membedahnya dengan mengajukan 3 (tiga) pertanyaan mendasar. Pertama, apa sebenarnya definisi (makna) wirausaha itu? Kedua, mengapa wirausaha penting? Peluang-peluang apa saja yang dapat dimasuki, dikerjakan, dan dikembangkan oleh seorang sarjana perpustakaan. Dengan deskripsi yang berbeda: apa yang bisa dikerjakan bukan bekerja sebagai apa.
Ada baiknya saya mulai dengan menjawab pertanyaan pertama. Secara harfiah (makna teks) entry wirausaha disamakan artinya dengan lema wiraswasta. Yaitu orang yang pandai atau berbakat mengenali produk (dan atau jasa) baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk, memasarkannya, serta mengatur modal operasinya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua). Jadi berdarkan makna tektual tersebut, seorang wirausahawan (entrepreneur) itu beda maknanya dengan ”pengusaha”.
Seorang pengusaha adalah hanya semata-mata menjadi orang yang punya usaha atau memperdagangkan sesuatu. Dan sesuatu itu dari segi karakteristik produk, cara produksinya tidak mengandung unsur kebaruan. Tidak ada value (nilai) baru yang muncul dari produk yang diusahakan tersebut. Ini berbeda dengan wirausahawan. Ia mampu menciptakan value baru, yang kebanyakan orang menyebutnya sebagai inovasi. Buah dari cara berfikir yang kreatif.
Batasan makna wirausaha di atas akan membantu Anda untuk menciptakan, mengembangkan, dan fokus kepada satu atau dua jenis usaha. Baik produk maupun jasa.
Itu tadi tentang batasan pengertian wirausaha. Sekarang kita beranjak ke pertanyaan kedua, mengapa wirausaha itu penting? Jawaban atas pertanyaan ini juga bisa membantu para (calon) sarjana ilmu perpustakaan memunculkan semangat/motivasi untuk berwirausaha.
Ada 2 (dua) alasan yang dapat saya ajukan, apa sebab wirausaha itu penting. Alasan pertama, ini sekaligus alasan klise dan klasik, yaitu sempitnya lowongan pekeraan—secara umum. Dengan kata lain, karena pertumbuhan angkatan kerja melampui pertumbuhan kesempatan kerja, dapat dipastikan banyak angkatan kerja yang tidak terserap alias menganggur. Dan yang demikian terjadi pula pada golongan sarjana atau lulusan perguruan tinggi. Tentang tingginya tingkat pengangguran kaum intelektual ini, mari kita simak beberan perangkaan berikut ini.
Pada 2005, sarjana yang menganggur sebanyak 183.629 orang. Setahun kemudian, yakni 2006 tercatat 409.890 lulusan tidak memiliki pekerjaan. Pada tahun 2007, jumlahnya sekitar 740.000, awal tahun 2009 bertambah mendekati angka satu juta atau lebih dari 900.000 sarjana yang menganggur. Dan sampai dengan Agustus 2009
jumlah pengangguran dari kalangan sarjana telah meningkat menjadi 13,08 persen.
Jadi tren kenaikan rerata pertahun sarjana menganggur di Indonesia sekitar 20 persen. Tentu saja, kenyataan ini bisa menjadi bom waktu, mengingat setiap tahunnya Indonesia memproduksi sekitar 300.000 sarjana dari 2.900 perguruan tinggi.
Memang, berdasarkan UU Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan mengharuskan tiap sekolah mulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga SMA harus memiliki perpustakaan. Bahkan secara eksplisit ada satu pasal yang menyatakan minimal 2 persen dari anggaran belanja sekolah harus dialokasikan ke pengembangan perpustakaan sekolah.
Berdasarkan data terakhir, di Indonesia terdapat 169.031 Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah (32.962), Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah serta Sekolah Menengah Kejuruan (17.792). Jumlah seluruh sekolah tingkat dasar dan menengah tersebut adalah 219.785. Jika sekurang-kurangnya diperlukan satu orang saja tenaga (teknis) perpustakaan di tiap-tiap sekolah, maka seluruh sekolah tersebut memerlukan sebanyak 219.785 orang/pustakawan.
Tentu saja hitung-hitungan, keharusan dan kejelasan anggaran tersebut memunculkan rasa optimisme tersendiri buat para sarjana perpustakaan. Optimisme itu didasarkan pada tingkat kepastian bahwa mereka akan diterima bekerja sebagai pustakawan di sekolah-sekolah. Tapi harap diingat, ini Indonesia bung! Apa-apa yang tertulis dan sudah menjadi keputusan (kebijakan), dalam kenyataannya belum tentu akan dilaksanakan.
Mau bukti? Paling dekat, sudah hampir tiga tahun UU Perpustakaan diluncurkan, belum juga PP (Peraturan Pemerintah)-nya keluar. Padahal PP menjadi syarat sekaligus acuan bagi dikeluarkannya peraturan/landasan hukum di bawahnya (daerah) yang lebih bersifat menyeluruh dan aplikatif. Belum lagi silang sengkarut—mungkin lebih tepat disebut permasalahan dan tantangan—yang tengah berlangsung di tubuh kepustakaan Indonesia sendiri. Mulai soal profesionalisme pustakawan, akuntabilitas dan kredibilitas, pendanaan dan standardisasi, serta landasan ilmu dan pemanfaatan teknologi informasi.
Jadi, lebih baik optimisme itu jangan terlalu tinggi-tinggi deh!
Dalih kedua, mengapa wirausaha patut dilirik para sarjana (perpustakaan), tak lain tak bukan adalah lantaran kesempatan yang terbuka sangat lebar. Ini berkaitan dengan upaya pencapaian tujuan yang lebih besar, yaitu turut ambil bagian ”membantu” pemerintah mengatasi angka pengangguran sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Sampai dengan tahun 2006, jumlah entrepreneur di Indonesia baru mencapai 0,18 persen atau hanya memiliki 400.000 entrepreneur dari jumlah penduduk 220 juta. Padahal untuk mencapai negara yang dianggap makmur, Indonesia perlu meningkatkan jumlah entrepreneur menjadi 1,1 persen atau menjadi 4,4 juta entrepreneur.
David McCleland, seorang psikolog sosial berpendapat suatu negara akan menjadi makmur apabila mempunyai wirausahawan (entrepreuneur) sedikitnya dua persen dari jumlah penduduk. McCleland tidak berlebihan. Paling tidak jika kita membaca struktur masyarakat yang terdapat di beberapa negara manca. Singapura misalnya.Menurut laporan Global Entrepreuneurship Monitor (GEM) tahun 2005, negara transit ini memiliki wirausaha sebanyak 7,2 persen dari total penduduk (tahun 2001 hanya sebesar 2,1 persen). Amerika Serikat, yang mendapat sebutan lokomotif perekonomian dunia, pada tahun 1983, dengan penduduk sebanyak 280 juta sudah memiliki enam juta wirausaha ( 2,14 persen) dari total penduduknya (Purbayu, 2009).
Jadi, dengan bahasa yang sedikit hiperbolis, kalau Anda ingin berkontribusi kepada bangsa dan negara, maka salah satu jalannya adalah dengan menjadi entrepreneur. Paling kurang selfemployee alias memperkerjakan sendiri. Sehingga bisa mengurangi angka pengangguran. Meskipun satu orang.
Terbukanya pintu usaha bisnis juga didorong oleh perkembangan teknologi informasi, terutama internet. Internet memungkinkan bisnis dijalankan dari kamar tidur (kos). Anda tidak perlu mengontrak, alih-alih membeli gedung untuk kantor yang bisa memakan dana puluhan hingga ratusan juta. Demikian pula untuk proses produksi, agar bisnis jalan Anda tidak perlu menunggu harus memiliki pabrik dan gudang sendiri. Hingga proses distribusi pun, Anda tidak harus menuggu hingga memiliki mobil sendiri. Maka ada istilah ”SOHO”, akromin dari small office home office. Idiom yang mengacu pada pengertian bahwa bisnis bisa dijalankan dari rumah. Berkantor di rumah menjadi sesuatu yang lumrah.
Untuk lebih dapat memberikan gambaran nyata sekaligus menjawab pertanyaan ketiga, bidang garap apa (bisnis) yang bisa dimasuki oleh para sarjana perpustakaan, berikut akan saya berikan (sekadar) contoh. Yaitu bisnis rak buku yang saya integrasikan dengan layanan jasa kepustakaan. Lebih lengkap silakan didaras paparan (konsep bisnis) di bawah ini.
Rak Buku – Konsultasi Perpustakaan Rumah – Klinik Literasi
Bagi seorang pecinta buku , buku adalah bagian dari keseharian yang tak terpisahkan, bahkan buku telah menjadi salah satu kebutuhan utama yang haru selalu ada. Seorang yang suka membaca selalu haus akan bacaan-bacaan baru, ia akan berusaha memperoleh buku-buku baru baik dari meminjam atau membeli. Karenanya tak heran jika seorang pecinta buku, koleksi buku-bukunya selalu bertambah dari waktu ke waktu.
Ketika buku-bukunya masih sedikit, ia bisa menyimpannya di atas meja atau rak buku mungilnya. Namun tanpa disadari buku-bukunya semakin bertambah dan maka semua tempat bisa dijadikan rak buku darurat seperti ditumpuk di lantai, di sandaran bahu jendela, di rak TV, diatas lemari pakaian, di dalam kontainer plastik, dalam dus, atau bahkan menitipkan buku-bukunya ditaruh di meja belajar anaknya, dll.
Tentunya penempatan buku-buku secara sembarangan selain tidak sedap dipandang mata juga menyulitkan si pemilik buku untuk mencari buku-buku yang butuhkannya, bahkan bukan tak mungkin membuat buku-buku menjadi lekas rusak karena lembab, berdebu, dll. Nah, bagaimana agar puluhan atau bahkan ratusan buku-buku koleksi dapat tersimpan dengan rapih, terawat, mudah untuk dicari kembali, dan menjadi bagian dari estetika rumah kita? Home library adalah jawabannya!
Dan bicara tentang home library, salah satu sarana yang harus ada adalah rak buku. Sejauh ini belum ada satu pun perusahaan yang secara serius (spesialisasi) menggarap pasar rak buku. Salah satu sebabnya adalah mereka tidak mengetahui perkembangan dunia perbukuan (minat baca) di indonesia, yang dalam waktu 10 tahun terakhir ini terus mengalami peningkatan.
Kini keluarga-keluarga pencinta buku mulai bermunculan. Mereka tiap bulannya secara khusus mengalokasikan penghasilannya untuk membeli buku. Karena jumlah koleksi yang terus bertambah, tanpa sadar rumah mereka berubah layaknya perpustakaan. Dalam kondisi demikian, tentu saja kehadiran rak buku menjadi suatu keharusan. Rak buku yang memiliki bentuk unik, khas, dan beda. sehingga buku akan tersimpan dengan baik dan rapi, dapat ditata sedemikian rupa (katalogisasi) untuk memudahkan dan meningkatkan keinginan membaca. Dengan begitu aktivitas membaca bisa menjadi gaya hidup. Rak buku yang menarik dan terintegrasi dengan bentuk ruang rumah juga akan menambah estetika rumah serta meningkatkan rasa penghargaan diri penghuninya.
Aktivitas Inti
:: Membuat dan menjual rak buku
:: Konsultan home and office library
Visi
Satu rumah satu perpustakaan dan tiap perpustakaan rumah saling terintegrasi!
Misi
:: Membuat dan menjual rak buku yang unik, khas, dan beda.
:: Merancang dan membuat rak buku yang terintegrasi
dengan bentuk/ruang rumah.
:: Memfasilitasi terbentuknya perpustaakan keluarga di tiap rumah.
:: Memberikan layanan konsultasi tentang home and office library.
Aktivitas Pembuatan dan
Penjualan rak buku yang unik, khas dan beda. product varians-nya meliputi:
:: Rak buku bongkar pasang – ready stock (small size).
:: Rak buku bentuk jadi - ready stock (medium size).
:: Rak buku pesanan khusus (big size).
terintegrasi dengan disain isi/ dalam rumah.
:: Pesanan mass product.
Keunggulan (Value) yang Ditawarkan
:: Melayani pengadaan buku/koleksi.
:: Melayani penataan ruang (home) library yang terintegrasi dengan ruang rumah.
:: Memberikan informasi teknis pengkatalog-an/penataan koleksi.
:: Memberikan tips pendayagunaan koleksi.
:: Memberikan tips perawatan buku.
:: Memberikan informasi all about book (even, komunitas pembaca dan penulis,
toko buku, penerbit dsb).
Potensi pasar
Secara umum pasar yang hendak disasar adala kalangan menengah dan atas.
Baik dari sisi ekonomi (pendapatan), maupun pendidikan.
Cara Memasarkan
:: Display di gerai sendiri
:: Titip di (jaringan) toko buku
:: Buka stan saat pameran buku (book fair)
:: Mengorganize/membuka stan pameran furniture/mebel
:: Beli space (stan) di (jaringan) toko buku
:: Presentasi/penawaran/kunjungan door to door ke pasar potensial
:: Menggelar/mensponsori workshop home library
:: Advertorial di koran, majalah, dan radio
:: Promosi melalui internet (mailing list, website, blog, sms, face book)
:: Menitip leaflet di toko buku dan saat even perbukuan
:: Kerjasama dengan penerbit dan tokobuku
(jual paket home library = koleksi + rak buku)
:: Kerjasama dengan pengembang rumah mewah. Rak buku/ruang baca menjadi bagian integral desain rumah.
:: Bekerjasama dengan lembaga bisnis dan nirlaba yang memunyai program (CSR) peningkatan minat baca/pendirian perpustakaan
Contoh lain?
Banyak! Beberapa diantaranya: bisa menjadi penerbit buku, agen naskah (literary agent), editor, penerjemah, penulis, instruktur (tutor) tentang budaya baca dan manajemen perpustakaan, pengembang software sistem otomasi perpustakaan, pembuat sistem pangkalan data, guru menulis, jurnalis, dan peneliti.
Beragam profesi yang besar kemungkinan bisa dikekola dengan pendekatan manajemen bisnis modern itu—artinya skala ekonominya dapat diperbesar—saya turunkan dari kelengkapan kecakapan yang harus dimiliki oleh seorang sarjana (informasi) dan perpustakaan yang meliputi: problem solving, information literacy, speaking, independent work, group work, writing, dan reading. Jadi tidak semata-mata mahir dalam keterampilan utama (hard skill), tapi juga keterampilan penunjang (soft skill). Lantaran
sarjana yang menganggur mayoritas disebabkan oleh rendahnya soft skill atau keterampilan di luar kemampuan utama dari sarjana yang bersangkutan.♦
Selengkapnya.....