Share |

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KENAKALAN REMAJA
PELAKU TATO

Oleh: Bonnie Suryaningsih F100020086

ABSTRAKSI
Kenakalan remaja merupakan fenomena nyata yang sering terjadi terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya bahkan di Surakarta. Bentuk kenakalan remaja yang biasa dilakukan adalah berbohong, membolos, kabur dan menentang orang tua, bersenjata tajam, bahkan melakukan perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan yang melanggar hukum, seperti pembunuhan atau perampokan sampai berpakaian tidak pantas dan berpenampilan fisik berbeda dari para remaja lainnya termasuk memakai tindik dan tato. Para remaja bertato ini mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindak kenakalan, meskipun tidak selalu sampai melakukan perbuatan kriminal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dengan kenakalan pada pelaku tato remaja. Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara konsep diri dengan kenakalan pada remaja bertato. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja pelaku Tato di Kota Surakarta. Subyek tryout dalam penelitian ini adalah anggota kelompok studio tato Bekas Luka Solo yang berjumlah 43 orang. Sedangkan jumlah subyek untuk penelitian adalah anggota kelompok Semangat Djoeang yang berjumlah 17 orang, kelompok studio tato Lucky berjumlah 21 orang, dan kelompok pelajar pemilik tato yang berjumlah 25 orang, sehingga jumlah keseluruhan subyek penelitian adalah 63 orang. Adapun karakteristik subjek penelitian adalah pria dan wanita, berusia antara 12 – 20 tahun, dan bertempat tinggal di Kota Solo. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive insidental sampling. Alat ukur dalam pengumpulan data menggunakan skala konsep diri dan skala kenakalan remaja.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai koefisien korelasi r = 0,492 dengan p = 0,000 (p < 0,01). Artinya, ada hubungan positif yang sangat signifikan antara konsep diri dengan kenakalan remaja pelaku tato. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan semula ditolak. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah hipotesis ditolak. Hal ini berarti variabel konsep diri tidak dapat dijadikan sebagai prediktor untuk memprediksikan atau mengukur variabel kenakalan remaja khususnya pada pelaku tato. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri atau disebut dengan identitas ego (ego Identity). Ini terjadi karena masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya mereka sudah bukan anak-anak lagi melainkan sudah seperti orang dewasa, tetapi jika mereka diperlakukan sebagai orang dewasa, ternyata belum dapat menunjukkan sikap dewasa. Masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang tersebut pada kondisi tertentu akan menjadi perilaku yang mengganggu (Ekowarni, 1993). Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan kenakalan remaja. Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Perspektif perilaku menyimpang dalam masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang. Latar belakang perilaku menyimpang dapat dibedakan dari adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada, perilaku menyimpang yang disengaja, bukan karena pelaku tidak mengetahui aturan. Becker (dalam Maria, 2007) mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Perbuatan menyimpang lebih disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang yang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang. Kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 21 tahun sangat beragam mulai dari perbuatan yang amoral dan anti sosial tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Bentuk kenakalan remaja tersebut seperti: kabur dari rumah, membawa senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalan, sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum seperti; pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang, dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan media-media masa (Amalia, 2005). Kasus kenakalan remaja sering kali muncul dalam media massa, dimana sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan. Salah satu wujud dari kenakalan remaja adalah tawuran yang dilakukan oleh para pelajar atau remaja. Data di Jakarta tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus (Tambunan, 2001). Lebih jauh dijelaskan bahwa dari 15.000 kasus narkoba selama dua tahun terakhir, 46 % di antaranya dilakukan oleh remaja, selain itu di Indonesia diperkirakan bahwa jumlah prostitusi anak juga cukup besar. Departemen Sosial memberikan estimasi bahwa jumlah prostitusi anak yang berusia 15-20 tahun sebanyak angka 30% dari 40-150.000, dan Irwanto menyebut angka 87.000 pelacur anak atau 50% dari total penjaja seks (Dep. Sos, 2004). Data UNICEF Indonesia (2009) berdasarkan dari data kepolisian menyebutkan bahwa pada tahun 2000 terdapat 11.344 kasus kenakalan remaja. Bulan Januari sampai dengan Mei 2002 mengalami kenaikan sebanyak 4.325 kasus kenakalan remaja. Kenakalan yang terdeteksi oleh Depsos dan lembaga kemasyarakatan yang dilakukan oleh orang dewasa dan anak remaja mengalami kenaikan sebesar 84,2%. Data ini belum termasuk data yang ada di Polsek, Polres, Polda, dan Mabes. Selama periode Januari dampai dengan Mei 2002, terdapat 9.465 anak remaja yang terdaftar di panti rehabilitasi seperti Depsos dan lembaga kemasyarakatan. Terjadinya kenakalan remaja pada umumnya tidak disebabkan oleh karena sebab yang tunggal, namun karena sebab yang kompleks dan beruntun. Sebab yang kompleks berarti bahwa suatu sebab dapat menimbulkan sebab yang lain dan sebab-sebab itu berkaitan antara satu dengan yang lainnya (Walgito, 1989). Faktor yang mempengaruhi perilaku kenakalan pada remaja adalah konsep diri yang merupakan pandangan atau keyakinan diri terhadap keseluruhan diri, baik yang menyangkut kelebihan maupun kekurangan diri sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang ditampilkan. Shavelson dan Roger (1982) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk dan berkembang berdasarkan pengalaman dan inteprestasi dari lingkungan, penilaian orang lain, atribut, dan tingkah laku dirinya. Bagaimana orang lain memperlakukan individu dan apa yang dikatakan orang lain tentang individu akan dijadikan acuan untuk menilai dirinya sendiri. Masa remaja merupakan saat individu mengalami kesadaran akan dirinya tentang bagaimana pendapat orang lain tentang dirinya. Kesadaran dalam diri remaja timbul karena kemampuan kognitif remaja sudah mulai berkembang, sehingga remaja tidak hanya mampu membentuk pengertian mengenai apa yang ada dalam pikirannya, namun remaja akan berusaha pula untuk mengetahui pikiran orang lain tentang dirinya dapat berpengaruh pada bagaimana individu menilai dirinya sendiri. Conger (1997) menyatakan bahwa remaja nakal biasanya mempunyai sifat memberontak, ambivalen terhadap otoritas, mendendam, curiga, implusif dan menunjukan kontrol batin yang kurang. Sifat-sifat tersebut mendukung perkembangan konsep diri yang negatif. Rais (1983) mengatakan bahwa remaja yang didefinisikan sebagai anak nakal biasanya mempunyai konsep diri lebih negatif dibandingkan dengan anak yang tidak bermasalah. Remaja yang memiliki konsep diri negatif biasanya tidak berfikir panjang jika ingin melakukan sesuatu tetapi lebih banyak menggunakan emosi. Konsep diri pada hakikatnya merupakan suatu pengalaman individu yang sifatnya subyektif yang diperoleh individu dari hasil interaksi individu dengan individu yang lain (Gunarsa, 1988). Pada kenyataannya, tidak setiap remaja dapat memenuhi kebutuhan akan konsep dirinya, sehingga konsep diri remaja tersebut menjadi negatif. Konsep diri yang negatif mempengaruhi tingkah laku yang bertentangan, berlawanan dengan norma-norma dalam masyarakat. Remaja dengan konsep diri negatif akan menunjukkan kondisi psikis dan sosial yang negatif pula, yang meliputi kecemasan, depresi, dan kenakalan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Semarang, Hariyadi (dalam Amalia, 2005) mengatakan bahwa bentuk-bentuk kenakalan remaja sangat beragam; bohong, membolos, kabur dan menentang orang tua, keluyuran, bersenjata tajam, pergaulan yang tidak baik, berpesta dan berhura-hura, membaca pornografi, mengkompas, melacurkan diri, sampai berpakaian tidak pantas dan berpenampilan fisik berbeda dari para remaja lainnya termasuk memakai tindik dan tato. Marianto, kepala peneliti di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang secara konsisten dan kontinyu melakukan penelitian mengenai tato di Indonesia khususnya Yogyakarta mengatakan bahwa kedudukan tato di Indonesia sudah bergeser. Mereka mengatakan bahwa tato yang pada sekitar tahun 1983- 1984 diidentikkan dengan kriminalitas, saat ini (era tahun 2000-an) jauh lebih baik kedudukannya di mata masyarakat menjadi “kenakalan atau penyimpangan sosial anak muda perkotaan yang dapat dimaafkan” dan identik dengan “semangat pemberontakan remaja” meskipun belum sepenuhnya dapat diterima sebagai salah satu cabang seni murni (Marianto, 2001). Keterangan dari Marianto ini sesuai dengan pra penelitian yang dilakukan peneliti terhadap pemakai tato di Kota Surakarta yang mengatakan bahwa mereka mentato tubuh hanya untuk sekedar gaya, mengikuti tren mode, serta bisa masuk dan diterima di lingkungan pergaulan mereka. Berdasar pra survey pula peneliti mengetahui bahwa para remaja bertato ini mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindak kenakalan, meski tidak sampai pada tingkat kejahatan dengan pelanggaran hukum yang berat. Bentuk kenakalan yang mereka lakukan adalah membolos, ngebut di jalan raya, berpenampilan berbeda dari kebanyakan remaja lain, merokok, dan mencoba minuman beralkohol dengan kandungan alkohol ringan. Penelitian mengenai hubungan antara konsep diri dengan kenakalan pada pelaku tato remaja, sejauh yang diketahui penulis belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Peneliti sejenis yang pernah dilakukan adalah penelitian oleh Booth et.al. (2008) tentang perbedaan kenakalan yang dilakukan anak laki-laki dan perempuan. Penelitian ini menunjukkan perbedaan perlakuan berdasarkan gender sejak anak-anak dan pengawasan yang diperolehnya. Hasilnya adalah anak perempuan memiliki kontrol diri yang lebih kuat dari pada anak laki-laki. Penelitian memperlihatkan laki-laki lebih signifikan melakukan kenakalan setelah self dan sosial kontrolnya juga diteliti. Itulah yang menyebabkan anak laki-laki lebih nakal daripada anak perempuan jika dilihat dari sudut pandang kontrol diri. Penelitian oleh Rachim dan Nashori (2007) tentang Nilai Budaya Jawa dan Perilaku Nakal Remaja Jawa yang ditujukan untuk mengetahui tinggi rendahnya pemahaman terhadap nilai budaya Jawa pada kalangan remaja Jawa yang berakibat pada meningkatnya perilaku-perilaku menyimpang pada remaja Jawa. Penelitian tersebut meyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara nilai budaya Jawa dengan perilaku nakal remaja Jawa. Semakin tinggi sikap dan perilaku yang sesuai dengan budaya Jawa maka semakin sedikit perilaku nakal yang ada pada remaja Jawa. Sebaliknya semakin sedikit sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai budaya Jawa maka semakin tinggi tingkat perilaku nakal yang ada pada remaja Jawa. Penelitian oleh Ulfah (2007) tentang Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri terhadap Kecederungan Kenakalan Remaja yang ditujukan untuk mengetahui peran persepsi keharmonisan keluarga dan konsep diri terhadap kecenderungan kenakalan remaja. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ada peran persepsi keharmonisan keluarga dan konsep diri terhadap kecenderungan kenakalan remaja. Konsep diri sangat mempunyai peranan penting dimana anak mulai mencari jati diri pada masa ini sehingga konsep dirinya belum begitu jelas atau masih labil, apabila remaja mempunyai konsep diri yang positif maka ia akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. Adapun Armstrong dan McConnel (dalam Lynne dan Roxanne, 2002) menemukan bahwa dari 624 sampel anak muda pelaku tato yang ditelitinya hampir semua termotivasi melakukan tato karena ingin mendapatkan citra positif dari lingkungan dan menemukan identitas diri. Mereka juga mendapatkan angka yang kurang untuk skala konsep diri. Berdasarkan hasil penelitian, data, dan pra survey di atas, yang menyebutkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta dan Medan sering terjadi kenakalan remaja, termasuk kenakalan yang dilakukan oleh remaja bertato di mana remaja bertato ini sering diidentikkan dengan remaja yang memiliki konsep diri yang rendah. Peneliti tertarik melakukan penelitian ini di Kota Surakarta. Selain karena di Kota Surakarta ditemukan banyak remaja yang menggunakan tato, juga karena menurut keterangan beberapa kelompok remaja di Kota Surakarta yang mengatakan meskipun remaja bertato biasanya diidentikkan dengan kenakalan dan percaya diri (konsep diri) yang rendah, namun pada kenyataannya di sekitar mereka justru banyak remaja bertato yang bersekolah di sekolah favorit, berprestasi akademis, maupun berprestasi di bidang yang lain seperti seni dan olah raga. Berdasarkan pada uraian latar belakang penelitian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara konsep diri dengan kenakalan remaja pelaku tato. B. Tujuan Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali, menghubungkan dan meramalkan suatu kejadian. Setiap penelitian yang dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui hubungan antara konsep diri dengan kenakalan remaja pelaku tato. 2. Mengetahui peran konsep diri terhadap kenakalan remaja pelaku tato. 3. Mengetahui tingkat konsep diri dan kenakalan remaja pelaku tato. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini secara teoritis diharapkan mampu memberikan gambaran dan kontribusi keilmuan bagi psikologi kepribadian dan khususnya psikologi sosial. Penelitian ini sebagai bahan kajian ilmiah tentang suatu gejala sosial mengenai kenakalan remaja pelaku tato dan aspek-aspek kepribadian bagi pelakunya yaitu konsep diri. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang hubungan antara konsep diri dan kenakalan remaja pelaku tato, sehingga dari hasil pengujian hipotesis ini dapat menjadi bahan informasi dan introspeksi bagi para remaja tentang bagaimana hubungan pembentukan konsep diri dan kenakalan remaja pada dirinya. Penelitian ini diharapkan juga mampu memberi gambaran aspek sosial dan budaya dan dampaknya, baik bagi pelaku maupun bagi masyarakat agar lebih proporsional dalam menilai perilaku kenakalan remaja pelaku tato.