Share |

Kecenderungan Bunuh Diri Pada Penderita Depresi
Di Tinjau Dari Interaksi Sosial Yang Negativ Sebagai Setressor

ABSTRAKSI
Bentuk masalah sosial yang dihadapi di masa sekarang, dan merupakan bentuk dari disorganisasi sosial yaitu, tingginya tingkat bunuh diri di suatu daerah atau negara. Perilaku bunuh diri adalah kepanikan dan letupan sesaat, atau sebuah dorongan yang tiba-tiba, dimana pelakunya berada dalam emosi yang sangat memuncak sebelum akhirnya dia mengakhiri hidupnya. Fenomena bunuh diri dapat dipandang sebagai manifestasi dari tekanan sosial serta interaksi yang tegang dari konflik interpersonal individu terhadap sosial-masyarakat, sehingga mengakibatkan gangguan psikologi yang dapat mengantarkannya kepada prilaku atau kecenderungan bunuh diri.
Studi ini melihat fenomena psikologis pada penderita depresi yang memiliki kecenderungan bunuh diri ditinjau dari interaksi sosial yang negatif, dimana berdasarkan paradigma interaksi sosial negatif yang telah ada, interaksi sosial dapat mengakibatkan frustasi dan konflik yang diikuti dengan munculnya gangguan prilaku atau psikisnya. Dengan pendekatan fenomenologi, peneliti sengaja mengungkap informasi berdasarkan persepsi penderita depresi dari aspek-aspek interaksi sosial yang negatif dalam mencari penjelasan rasional dibalik timbulnya gangguan depresi dan kecenderungan bunuh diri yang muncul pada penderita depresi.
Informan dalam penelitian ini berjumlah lima orang yang terdiri dari pria dan wanita dewasa. Mereka merupakan pasien rawat jalan maupun rawat inap yang mengalami gangguan depresi berat maupun depresi berat dengan gejala psikotik di rumah sakit jiwa, Bandung dan sedang menjalani pengobatan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan tes psikologi. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah analisis induktif deskriptif.
Berdasarkan data hasil penelitian diperoleh penjelasan bahwa stressor interaksi sosial negatif yang dialami oleh penderita depresi adalah adalah stress (stressor) yang muncul dari hubungan interaksi penderita depresi, yang secara kausal mendatangkan atau memunculkan dampak psikis yang sangat kronis dan traumatis terhadap perilaku dan kejiwaannya, sehingga pada gilirannya menambah resiko munculnya atau meningkatnya gangguan. Munculnya gangguan depresi pada penderita depresi merupakan gangguan mental atau sindrom yang disebabkan oleh stressor yang secara reaktif tidak terselesaikan secara baik dan tuntas, serta ditimbun untuk waktu yang lama. Adapun kronologis yang mendorong penderita depresi untuk melakukan bunuh diri adalah dikarenakan tekanan-tekanan dan kesulitan dari interaksi sosial yang dilakukannya, rumitnya permasalahan yang dihadapi, dan pengaruh lingkungan (seperti; kurangnya dukungan sosial dan konteks sosial). Dari keadaan tersebut, muncul respon-respon negatif dari pengaruh psikis yang mendorongnya untuk melakukan tindakan subtitusi dalam meredam ketegangan dan mencapai kepuasan sebagai mekanisme pertahanan psikis, sehingga menjauhkannya dari pemecahan masalah dan disintegrasi antara dirinya dengan kenyataan. Kemudian terjadi ledakan emosi dari ketegangan dan aktivitas mental yang tidak disadari penderita depresi, dimana gejala psikotik dan psikosomatik dari gangguan depresi yang dialaminya sebagai faktor penghantar.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan modernisasi telah meliputi setiap pelosok negeri, propinsi, kota,
bahkan sampai ke desa-desa terpencil, sehingga mempengaruhi setiap dimensi
kehidupan individu dan masyarakat. Pengaruh dari nilai-nilai modern tersebut,
menghasilkan berbagai manfaat dan kemajuan suatu daerah yang membuat
peradaban dan tatanan masyarakat lebih praktis dan efektif. Namun, dari cepatnya
kemajuan modernisasi pada suatu daerah dan manfaatnya bagi manusia, ternyata
modernisasi yang begitu besar pengaruhnya di suatu daerah itu, memunculkan
suatu permasalahan yang cukup besar dan sulit di dalam kehidupan individu dan
masyarakat disana, khususnya permasalahan-permasalahan yang muncul dari hasil
kemajuan moderenisasi tersebut, baik berupa rendahnya ruang kerja yang
disediakan bagi individu dikarenakan banyaknya ruang kerja yang telah
tergantikan dengan mesin dalam dunia industri, atau mudahnya informasi dan
komunikasi yang tidak terfilterisasi dari nilai-nilai budaya dan gaya hidup yang
berasal dari negara atau daerah yang notabene mempunyai nilai kebudayaan yang
sekuler, sehingga mempengaruhi pranata kehidupan individu dan masyarakat.
Pengaruh tersebut mempunyai dampak yang cukup luas dalam kehidupan
bermasyarakat, yang bila ditinjau secara epidemiologi sosial merupakan gejala
dari perubahan sosial dan kebudayaan. Gilin-gilin (Soekanto, 2002) menyebutkan
bahwa perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang diterima,
1
2
baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material,
komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-
penemuan baru dalam masyarakat, menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang
terjadi dalam pola-pola kehidupan dan prilaku manusia yang terjadi karena sebab-
sebab interen maupun eksteren.
Pasalnya, perubahan sosial mempunyai dampak yang positif bagi
lingkungan individu dan sosial, tetapi secara aplikatif diketahui bahwa dalam
proses perubahan sosial dapat mempunyai 2 kutub yang saling berlawanan. Salah
satu kutub akan mendorong kepada nilai positif, yaitu terorganisasinya suatu
masyarakat ke arah yang lebih baik, atau sebaliknya akan mengarahkan ke arah
yang negatif, yaitu disorganisasinya suatu masyarakat yang mengakibatkan
dampak permasalahan terhadap dimensi kehidupan. Salah satu bentuk masalah
yang dihadapi di masa sekarang, dan merupakan bentuk dari prilaku-prilaku
individu yang terpecah (disorganisasi sosial) yaitu, tingginya tingkat bunuh diri di
suatu daerah atau negara.
Kartono (1999) menyebutkan individu terpecah adalah individu yang puas
dalam usaha pembenaran diri dan pendefinisian diri sendiri, sehingga akan merasa
tidak bahagia dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Selain
itu, individu akan semakin tidak bahagia atau sengsara apabila tidak ada
kongruensi atau keseimbangan antara pendefenisian diri dengan hukuman sosial,
antara peranan yang dituduhkan kepada dirinya dan peranan sosial menurut
interpretasinya sendiri. Jadi prosesnya berlangsung sebagai bentuk interaksi
3
antara faktor-faktor subyektif dengan faktor-faktor obyektif. Proses yang
demikian sering kali berlangsung melalui banyak konflik batin dan krisis jiwa.
Pada kasus-kasus yang ekstrim berlangsunglah ketidakmampuan
penyesuaian diri secara total, ada personal mal-adjusment dan kepatahan jiwa
secara total atau "complete breakdown", konflik-konflik hebat disebabkan oleh
pembandingan antara hukuman sosial dan definisi diri yang membelah kesatuan
kepribadian, lalu mengakibatkan disintegrasi total, timbullah kemudian aku-aku
sosial yang saling bertentangan, atau pribadi menjadi terintegrasi berdasarkan atas
delusi-delusi, sehingga menelorkan tingkah laku yang aneh, kriminal dan sangat
membahayakan umum. Ada juga pribadi-pribadi yang tidak mampu mengadakan
penyesuaian diri/adaptasi terhadap lingkungannya, disebabkan oleh alasan ditolak
oleh masyarakat untuk menjalankan peranan-peranan yang sangat
didambakannya, kemudian melakukan bunuh diri sebagai jalan keluar. (Kartono,
1999)
Bunuh diri memang bukan kisah baru dalam masyarakat modern saja.
Kesediaan ahli filsafat Socrates untuk minum racun, merupakan tindakan bunuh
diri yang dilakukan secara sadar. Walau ada hubungan dengan hukuman mati
yang dijatuhkan padanya. Socrates memilih mati dengan cara minum racun
daripada mencabut keyakinannya. Dalam cerita wayang yang bersumber dalam
kitab Ramayana dan Mahabrata, dapat kita temukan tokoh Kumbokarno yang
mati bunuh diri dengan cara nekat berperang. Begitu pula tradisi Harakiri bangsa
Jepang, melakukan bunuh diri dengan memasukkan pisau ke arah jantungnya,
sebagai bentuk sikap kesatriaan dalam membela kehormatan dan terlepas dari
4
dosa. Pada masyarakat moderen sekarang, cara dan tujuan bunuh diri pun
beragam. Ada bunuh diri dengan membakar diri, meminum racun, menjatuhkan
diri dari bangunan tinggi atau hanya dengan gantung diri.
Dari tahun ke tahun, kasus kematian karena bunuh diri di berbagai negara
pun meningkat. Meskipun angka kematian yang terjadi masih jauh bila
dibandingkan China atau Amerika serikat ((“Mengapa Remaja”, 2004), (“Suasana
Hati”, 2005), (“Tiap 4 menit”, 2006)). Di beberapa daerah di Indonesia kasus
bunuh diri sudah sangat memperihatinkan, keadaan ekonomi dan sosial-politik
yang kian terpuruk, kemiskinan merajalela, dan sikap Agnotisme terhadap agama
maupun norma, menjadikan individu-individu terdorong melakukan bunuh diri.
Tidak mendapatkan jalan keluar dari permasalahannya, maka bunuh diri dianggap
jalan keluar yang menjanjikan baginya untuk keluar dari permasalahan tersebut.
Seperti hasil wawancara peneliti terhadap salah satu informan (SN) yang
pernah melakukan percobaan bunuh diri, serta mengutarakan tentang kondisi
dirinya dan penyebab dari tindakannya tersebut. Diketahui bahwa (SN)
melakukan tindakan tersebut diawali dari perasaan yang dialaminya, ketika
dirinya merasa tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang saat itu
sangat membutuhkan biaya sekolah anaknya yang pertama untuk memasuki
sekolah dasar.
"Saya melakukan bunuh diri ini, karena saya waktu itu sangat membutuhkan
biaya anak untuk masuk SD. Namun, karena sehari-hari saya Cuma bekerja
sebagai tukang ojek, padahal untuk isi bensin dan biaya makan anak-istri aja
udah pas-pasan, maka saya sulit sekali untuk mengumpulkan uang untuk biaya
masuk anak, apalagi untuk biaya pendaftaran dan uang kaos, saya sangat
kesulitan."(SN, W1,6,8,10, 1/9/06, RMH)
5
Keadaan ekonomi SN yang sangat sulit, serta kebutuhan keluarga yang
mendesak, menjadikan SN merasa tertekan dan bingung dalam mencari jalan
keluar dari permasalahannya. Walaupun SN berusaha mencari pendapatan dari
pekerjaan lain, namun hal itu belum mencukupinya, bahkan dari hari ke hari SN
merasa putus asa dan kalut dalam berpikir.
"Saya sudah usaha berbagai cara untuk bisa cari pendapatan lain, tapi
hasilnya belum bisa mencukupi. Saya coba untuk kerja serabutan selain dari ojeg,
seperti mengumpulkan besi atau pelastik bekas, tapi hal itu masih belum bisa
untuk mencukupi biaya anak saya itu, saya pun jadi bingung dan kalut" (SN, W1,
12-13, 15, 1/9/06, RMH)
SN juga pernah mencoba meminjam uang dari beberapa orang temannya
dan saudara dari pamannya, tetapi usaha tersebut hanya menjadikannya lebih
tertekan, karena merasa dipermalukan dan dihardik, sehingga bukan mendapat
uang, tetapi hanya cercaan yang didapat. Dengan perasaan bingung dan kalut
tersebut, menjadikan SN tidak selera makan, susah tidur dan suka marah-marah,
bahkan terkadang tidak pulang dan tidur di pinggir jalan.
"Saya pernah coba pinjam ke teman dan sepupu dari paman saya, tapi
bukan dapat uang, eh.. malah dimarahin dan dikatakan bahwa saya itu pemalas.
Yaa.. dari kejadian itu pikiran saya makin gak karuan, pengennya marah-marah,
kadang suka pusing, terus gak tau kenapa sejak itu saya pengennya sendiri dan
kadang tidur di jalan sampai pagi." (SN, W1, 25-26, 29, 1/9/06, RMH)
Dari pengalaman tersebut, SN mulai merasa sendiri dan takut kalau melihat
anak dan istrinya, karena SN merasa kalau bertemu mereka, dia membayangkan
dirinya seperti selalu akan dimintai uang. Sampai suatu saat SN mencoba
melakukan percobaan bunuh diri dengan menggantung diri dengan seutas tali
tambang dari "tali sumur”. Namun, selang beberapa menit istrinya yang melihat
kejadian tersebut berteriak dan mencoba melepaskan tali yang digantung, dan
6
datang beberapa orang dari tetangganya yang mendengar untuk turut menolong,
kemudian SN dilarikan ke rumah sakit Sarjito, Yogyakarta.
"emm.. Ya lama-kelamaan saya merasa bosan hidup dan ingin lepas dari
permasalahan ini. Soalnya kalau setiap saya melihat anak dan istri di rumah,
saya selalu membayangkan kalau mereka pasti akan menagih biaya sekolah anak
saya itu, karena waktu masuk sekolah udah dekat (W1, 35-36). Pernah suatu hari
saya merasakan pusing yang luar biasa, seakan-akan ada suara yang berisik di
sekitar saya, entah mengapa pada saat itu saya merasa sesak dan ingin rasanya
untuk bunuh diri. yaa.. waktu itu saya berjalan kebelakang untuk mandi, tapi
seketika saya melihat tali tambang yang ada di sumur, seketika itu juga ada
dorongan dalam diri saya untuk mengambil tali itu dan saya lupa dan tidak sadar
lagi. " (SN, W1, 43, 45 48, 50, 1/9/06, RMH)
Wawancara diatas adalah keterangan yang didapat dari salah satu informan,
yang menceritakan pengalamannya saat melakukan tindakan bunuh diri, dengan
penyebab dari stressor interaksi sosial yang negatif, berupa kesulitan ekonomi dari
krisis ekonomi dan naiknya harga BBM yang menjadikan tingginya tuntutan
kebutuhan serta penolakan orang lain dari teman dan saudara-saudaraya, maupun
kurangnya dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya.
Kepala Poli Kesehatan Jiwa RS Sardjito, Yogyakarta menyatakan, sejak
krisis ekonomi 1997 kemudian terus berkelanjutan dengan kebijakan kenaikan
bahan bakar minyak secara berulang, banyak masyarakat merasakan hilangya
kesempatan kerja, meraih pendidikan yang baik, pelayanan kesehatan bermutu,
dan kesejahteraan hidup bukannya meningkat malahan menurun. Dalam kurun
waktu 3-6 enam bulan mendatang, diperkirakan bakal terjadi ledakan pasien
akibat gangguan psikologis atau kejiwaan. Saat ini, pascakenaikan harga BBM
jumlah pasien di Poli Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta
mengalami peningkatan hingga 100 persen. Prof. Dr. Suwadi mengatakan hal itu
saat ditemui di ruang kerjanya, Jum'at (25/08/06).
7
"Saat ini, rata-rata setiap hari pasien yang datang ke poli mencapai 15 - 20
orang. Sedangkan sebelumnya, antara 5-10 pasien dan sudah 3 orang yang telah
melakukan percobaan bunuh diri" (“Harga BBM naik”, 2006).
Dari kalangan para sosiolog, prilaku bunuh diri dianggap sebagai
manifestasi dari hubungan interaksi dan efek dari kegagalan individu dalam
hidup bermasyarakat. Pandangan yang berawal dari Durkheim menilai bahwa
bunuh diri merupakan tindakan yang dilakukan seseorang dikarenakan
ketidakmampuan individu dalam beradaptasi dan berintegrasi dengan
masyarakatnya, kemudian dari prilaku tersebut terjadi suatu masalah pada
kehidupan individu, sehingga memunculkan masalah bagi mental dan emosinya.
Kondisi tersebut muncul dari gejala yang diakibatkan kurangnya perhatian,
merasa tidak dimengerti dan perilaku negatif yang memicu munculnya gangguan
tersebut, dengan sebab secara khusus oleh faktor interaksi yang bertentangan,
karena adanya ancaman dan tekanan dari perilaku yang tidak stabil dan
berlawanan (O'Connor & Sheely, 2000). Adapun para ahli psikologi dan klinisi
memandang bahwa, prilaku bunuh diri adalah kepanikan dan letupan sesaat, atau
sebuah dorongan yang tiba-tiba. Antara terpicu dan bertindak hanya berlangsung
sekejap, dalam hitungan detik, menit, atau jam, namun tidak dalam hitungan hari.
Orang berada dalam emosi yang sangat memuncak sebelum akhirnya dia
mengakhiri hidupnya. Jarang sekali orang sampai berpikir dua sampai tiga kali
sebelum bunuh diri, kecuali ada obsesi kompulsif yang terus berulang. Lalu ia
terobsesi untuk mengakhiri hidupnya (Mukadis, 2004).
Maris (2002) menyatakan, setelah mendata gejala yang umum terjadi pada
pelaku bunuh diri. Factor pencetus yang mungkin terjadi adalah distal chronic
8
trait atau proximal acute state. Susahnya mencari jawaban pencetus bunuh diri,
dikarenakan banyaknya prediksi yang ada. Sebagaimana yang terjadi di Atlanta,
Amerika Serikat, orang kulit putih cenderung lebih tinggi untuk melakukan bunuh
diri sampai dengan 90 % dari orang dewasa yang pernah melakukan bunuh diri,
dan setelah didiagnosis dengan DSM IV, diindikasikan dari pelaku bunuh diri
tersebut menderita depresi. 15 % dari penderita mayor depresi yang di rawat di
rumah sakit pernah melakukan percobaan bunuh diri. Adapun penderita Bipolar
disorder dengan tipe schizophrenia dapat pula melakukan tindakan bunuh diri
pada saat mengalami periode psikotik. Akan tetapi, dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan tekhnologi di dunia akademik. Telah dilakukan beberapa
penelitian diluar negeri yang mencoba mengkaji lebih dalam tentang prilaku atau
kecenderungan bunuh diri dengan pendalaman dari beberapa informasi yang
terkumpul dari setiap bidang ilmu dan kajian. Ditemukan dari penelitian-
penelitian dan literatur, serta hasil pengkajian dari fakta dan dokument
dilapangan. Bahwasanya fenomena bunuh diri dapat dipandang sebagai
manifestasi dari tekanan sosial serta interaksi yang tegang, dari konflik
interpersonal maupun sosial-masyarakat, sehingga mengakibatkan gangguan
psikologi yang dapat mengantarkan kepada prilaku atau kecenderungan bunuh
diri, ditambah lagi dengan keadaan lingkungan fisik maupun psikis individu
dengan penyesuaian yang negatif (unwholesome), menjadikannya sebagai suatu
interaksi sosial yang negatif.
Murray dkk (2001) meneliti hubungan kecemasan sosial dengan depresi
yang menunjukan adanya hubungan antara kedua variabel tersebut pada anak-
9
anak dan orang dewasa, dimana 4 sampai 8 persen mengalami gangguan depresi
dari lingkungan sosialnya. Dimana dari beberapa laporan penelitian disebutkan
gangguan depresi yang dialami oleh individu menderita gangguan depresi berat.
Krause dan Shaw (2002) meneliti 605 orang untuk menemukan hubungan
interaksi sosial yang negatif dengan ketidakmampuan fungsi diri. Menyatakan
bahwa, interaksi sosial yang dilakukan oleh individu akibat tidak melakukan
hubungan interpersonal dengan baik dan dukungan sosial yang cukup, dapat
mendorong individu mengalami tekanan dari lingkungan sosialnya dan
berdampak pada timbulnya gangguan depresi akut. Adapun penelitian Okun dan
Keith menyatakan hubungan interaksi sosial berkaitan erat dengan depresi yang
muncul akibat tekanan psikologi dan masalah sosial yang dihadapi seseorang.
(Liang, Krause Dkk, 2001). Meskipun berdasarkan beberapa penelitian
menyebutkan bahwa interaksi sosial negatif yang menyebabkan ketegangan yang
sangat kronis (chronic strain) pada individu, manifestasinya akan nampak setelah
beberapa waktu kemudian (Krause dan Shaw, 2002)
Dari penelitian yang dilakukan Gordon Dkk (1997), menemukan satu
konsep yang menyatakan bahwa interaksi sosial yang negatif sangat
mempengaruhi timbulnya depresi yang dihasilkan dari stressor, oleh karena itu,
hasil penelitiannya membuktikan frekwensi interaksi sosial yang negatif
berhubungan erat dengan kepribadian individu, frekwensi interaksi sosial yang
negatif berhubungan erat dengan pemicu timbulnya depresi, frekwensi interaksi
sosial yang negatif berhubungan erat dengan kepribadian individu yang
mendorong pada gangguan depresi. Kesimpulannya bahwa, individu yang
10
mempunyai kepribadian yang lemah akan mudah sekali mengalami tekanan dari
stressor yang ada di lingkungannya, yang berasal dari interaksi sosial yang
negatif, sehingga akan mendorong munculnya gangguan depresi pada dirinya
serta dapat memicu tindakan bunuh diri.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin mengetahui gambaran yang
lebih jelas dan lebih dalam lagi dari interaksi sosial penderita depresi yang
memiliki kecenderungan bunuh diri ?
B. Keaslian Penelitian
Beberapa studi yang terkait dengan kecenderungan bunuh diri dan depresi
telah banyak dilakukan. Tetapi penelitian yang secara khusus mengungkap
interaksi sosial yang negatif pada penderita depresi, sejauh pengamatan penulis
belum banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan di Pittsburgh, yang meneliti 3
variabel hubungan sosial (sosial integerasi, dukungan sosial dan interaksi sosial
yang negatif) menunjukan bahwa 3 variabel hubungan sosial tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain terhadap kesehatan mental seseorang (Cohen,
2004). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitan yang meneliti dari 605
orang di Amerika Serikat (kecuali Alaska dan Hawai) dan dari seluruh sampel
yang diteliti, ditemukan bahwa hasil penelitian menunjukan adanya pengaruh
interaksi sosial yang negatif terhadap rusaknya kesehatan mental terutama dengan
gangguan depresi (Krause dan Shaw, 2002).
Penelitian di Indonesia tepatnya di kota Magelang dilakukan oleh
Adillah (1999) dengan metode kuantitatif, untuk meneliti hubungan deperesi dan
11
kecenderungan bunuh diri pada subjek anak-anak delikuen di panti sosial
Marsudi Putra Antasena, Magelang. Hasil penelitiannya mencatat bahwa ada
hubungan positif antara depresi dengan kecenderungan bunuh diri pada anak
remaja delikuen dari hasil rxy= 0,962 dengan p < 0,005. Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan metode kualitatif dengan subjek penderita depresi berat dan sedang. Melalui metode penelitian kualitatif diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam untuk mempelajari etiologi dari fenomena kecenderungan bunuh diri yang terkait dengan interaksi sosial yang negatif pada individu. C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena psikologi kecenderungan bunuh diri pada penderita depresi ditinjau dari interaksi sosial yang negatif. D. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh bukti-bukti yang empiris dari kecenderungan bunuh diri pada penderita depresi akibat interaksi sosial yang negatif sehingga dari penelitian ini dapat diambil beberapa manfaat: 1. Manfaat Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini bisa menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan akademisi psikologi pada khususnya. Selain itu, agar menjadi tambahan khasanah di dalam ilmu psikologi, sehingga diharapkan dapat menjadi acuan dan dikembangkan. 2. Manfaat Praktis, diharapkan hasil penelitian ini bisa menjadi sumber informasi yang memadai dalam memberikan gambaran yang lebih jelas dari 12 interaksi sosial yang negatif dan kaitannya terhadap kecenderungan bunuh diri pada penderita depresi bagi siapa saja yang membutuhkannya, khususnya bagi psikolog klinis maupun keluarga penderita depresi.