Share |

GUILTY FEELING PADA RESIDIVIS
Tri Setyonugroho
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakrta

ABSTRAKSI
Salah satu hal yang dapat meringankan dakwaan adalah mengakui kesalahan yang telah diperbuat, namun seorang residivis pada saat siding mengakui kesalahan tetapi setelah bebas melakukan kembali tindak kriminal kembali. Residivis oleh masyarakat dianggap sebagai trouble maker atau pembuat kerusuhan yang selalu meresahkan masyarakat sehingga perlu
diwaspadai. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dinamika guilty feeling pada residivis. Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan wawancara dan observasi. Informan dalam penelitian ini adalah 5 residivis Lembaga Pemasyarakatan IIA Sragen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa munculnya rasa bersalah pada residivis berawal dari rasa malu dengan orang tua dan keluarga besarnya, residivis merasa tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup anaknya untuk sekolah dan hidup sehari-harinya, merasa malu dengan masyarakat, menyesal dengan keadaannya sekarang yang harus menjalani hukuman di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Proses munculnya guilty feeling terjadi pada saat akan tidur atau sesudah dikunjungi oleh anggota keluarga. Selian itu, pada saat informan tidak memiliki kegiatan dan hanya berdiam diri terkadang muncul perasaan bersalah pada dirinya. Kosekuensi perasaan bersalah pada residivis dapat dikelompokkan menjadi dua tipe yaitu positif dan negatif. Adapun bentuk konsekuensi perasaan bersalah yang bersifat positif antara lain adalah berdoa dan mendekatkan diri kepada sang Khalik dengan melakukan sholat tahajud, wiridan, berdoa kepada Tuhan, dapat merubah pribadi yang dahulunya keras menjadi pribadi yang halus terhadap teman-teman sesama narapidana, melakukan brain stoarming dengan sesama narapidana. Sedangkan bentuk konsekuensi perasaan bersalah yang bersifat negatif antara lain adalah ingin menyakiti diri sendiri, adanya keinginan bunuh diri, minum minuman beralkohol, kepala terasa pusing, susah tidur. Perasaan bersalah pada residivis biasanya muncul pada saat setelah residivis dikunjungi oleh keluarganya, ketika malam hari menjelang tidur dan ketika bangun tidur serta ketika sedang sendiri.
Kata kunci : guilty feeling, residivis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan yang ada di tengah masyarakat merupakan suatu permasalahan
yang menuntut banyak perhatian dari berbagai pihak, karena kejahatan merupakan
tindakan antisosial yang ditentang oleh negara. Kejahatan sebagai perbuatan yang
antisosial harus memperoleh tentangan dari negara, dengan pemberian penderitaan
yaitu hukuman. Kejahatan merupakan tindakan hasil ekspresi emosi yang tidak
stabil.
Indonesia merupakan negara hukum, dimana ketika sesorang melanggar
hukum pidana negara akan dikenakan hukuman penjara yang akan ditempatkan
kedalam lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk
membuat para narapida jera untuk tidak melakukan tindak kejahatan lagi.
Lembaga pemasyarakatan juga memberikan bekal kepada narapidana untuk
mempersiapkan ketika narapidana usai menjalani masa tahanan.
Hukuman penjara saat ini menganut falsafah pembinaan narapidana yang
dikenal dengan nama Pemasyarakatan, dan istilah penjara telah diubah menjadi
Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan berfungsi sebagai wadah
pembinaan untuk melenyapkan sifat-sifat jahat melalui pendidikan
pemasyarakatan. Hal ini berarti kebijaksanaan dalam perlakuan terhadap
narapidana yang bersifat mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan
sekaligus mengayomi para narapidana dan memberi bekal hidup narapidana
setelah narapidana kembali ke masyarakat (Saheroji dalam Hafida, 2004). Karena
secara tidak langsung kondisi disebuah Lembaga Pemasyarakatan sangatlah
berbeda jauh dengan kondisi yang ada dilingkungan masyarakat. Narapidana yang
telah masuk menghuni Lembaga Pemasyarakatan akan mendapatkan sterotip
buruk dari masyarakat, selain itu kondisi yang penuh tekanan juga dapat
mempengaruhi kondisi mental narapidana.
Visi Lembaga Pemasyarakatan IIA Sragen adalah memulihkan kesatuan
hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan warga binaan pemasyarakatan
sebagai individu, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan YME (Membangun
Manusia Mandiri). Untuk mencapai visi, Lembaga Pemasyarakatan IIA Sragen
mempunyai beberapa misi antara lain yaitu melaksanakan perawatan tahanan,
pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyrakatan serta pengelolaan
benda sitaan negara dalam kerangka penegakan hukum, pencegahan dan
penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.
Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
diberikan pengertian sebagai berikut : Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk
melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem,
kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem
pembinaan dalam tata peradilan pidana.
Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 memberikan batasan
mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan
berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina
dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.
Pada saat ini, masyarakat masih mempunyai pandangan yang negatif
terhadap sosok narapidana (napi). Narapidana oleh masyarakat dianggap sebagai
trouble maker atau pembuat kerusuhan yang selalu meresahkan masyarakat
sehingga perlu diwaspadai (Rahmawati, 2004).
Lembaga pemasyarakatan terkadang dijumpai narapidana yang berstatus
sebagai reisidivis. Residivis yaitu seseorang yang pernah terlibat dalam
pelanggaran hukum pidana dan telah dijatuhi vonis serta telah melakukan masa
tahanan yang kemudian ia mengulangi pelanggaran hukum kembali minimal lebih
dari satu kali, baik pengulangan pelanggaran hukum yang pernah dilakukan
sebelumnya ataupun pelanggaran hukum yang berbeda dari sebelumnya.
Berdasarkan inventarisasi data yang diperoleh dari Lembaga
Pemasyarakatan IIA Sragen diketahui bahwa terdapat 249 narapidana. Dari
jumlah narapidana yang ada terdapat 13 residivis. Pada umumnya kasus yang
muncul pada residivis yang ada di Lembaga Pemasyarakatan IIA Sragen adalah
sama dengan tindakan pidana yang telah dilakukan.
Seorang residivis dapat melakukan tindak pidana lebih dari dua kali,
kasus-kasus yang sering muncul merupakan kasus yang sama dengan kasus tindak
pidana yang telah dilakukan dan mendapatkan vonis pidana. Motif residivis ketika
mengulangi tindak pidana yang dilakukan sebagian besar adalah sama seperti
motif-motif sebelumnya.
Susilo (dalam Sofia, 2008) menyatakan masalah tindak pidana atau
perilaku kriminal selalu menjadi bahan yang menarik serta tidak habis-habisnya
untuk dibahas dan diperbincangkan, masalah ini merupakan masalah sensitif yang
menyangkut masalah-masalah peraturan sosial, segi-segi moral, etika dalam
masyarakat dan aturan-aturan dalam agama. Tindak pidana oleh banyak orang
dianggap sebagai suatu kegiatan yang tergolong anti sosial, menyimpang dari
moral dan norma-norma di dalam masyarakat serta melanggar aturan-aturan
dalam agama.
Proses peradilan terpidana akan dijatuhi vonis oleh majelis hakim. Pada
saat vonis dijatuhkan ada beberapa hal yang akan meringankan vonis, salah
satunya adalah ketika terpidana mengakui kesalahan, dan menyesali yang telah
diperbuat.
English dan Macker (dalam Moordiningsih, 2000) berpendapat bahwa
guilty feeling dihasilkan dari pelanggaran standar internal dan terdapat perasaan
menyesal. Rasa penyesalan tersebut muncul karena pikiran, perasaan atau sikap
negatif yang tidak dapat diterima, baik oleh diri sendiri atau orang lain.
Guilty ada dalam setiap masalah psikologis yang dihadapi setiap orang,
tidak menutup kemungkinan dialami juga oleh residivis, karena residivis yang
telah melakukan tindak pidana berulang-ulang mungkin akan mengalami guilty
feeling. Guilty feeling adalah suatu perasaan berdosa, bersalah atau gagal
memenuhi standar hidup tertentu. Allah menciptakan di dalam kita suatu hati
nurani, suatu kemampuan untuk menilai benar atau salahnya tindakan-tindakan
moral kita. Ada dua jenis guilty feeling: guilty feeling karena pelanggaran moral
dan guilty feeling karena suatu yang tidak jelas. Guilty feeling yang tidak
disebabkan oleh dosa, biasanya berhubungan dengan gangguan emosional yang
berasal dari pengalaman-pengalaman negatif, khususnya pada masa kecil
(Susabda, 2002).
Jadi guilty feeling itupun dapat muncul pada seseorang dengan berbagai
penyebab dan dalam berbagai bentuk, pada seseorang residivis yang melakukan
suatu kesalahan atau melanggar suatu aturan yang ada dapat memunculkan guilty
feeling dalam dirinya, dan guilty feeling itupun bisa dalam berbagai bentuk,
misalnya seseorang mengalami guilty feeling pada orang tuanya karena merasa
perbuatannya mengecewakan mereka, dan bentuk dari guilty feeling itu bisa
dengan menghukum dirinya sendiri atau karena sudah terlanjur mengalami guilty
feeling maka mereka mengulang-ulangi perbuatannya untuk menghukum dirinya.
Perasaan bersalah yang muncul pada diri residivis memiliki ukuran dan
bentuk yang berbeda-beda tergantung pada self esteem. Berdasarkan uraian di atas
permasalahan yang menarik untuk dibahas di sini adalah “Bagaimana guilty
feeling pada seorang residivis dan faktor apa saja yang mempengaruhi guilty
feeling?” Untuk mengkaji permasalahan di atas secara empiris, penulis mengambil
judul “Guilty feeling pada Residivis.”
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika guilty
feeling pada residivis.
C. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan akan diketahui kondisi guilty feeling
pada residivis, dan dari hasil tersebut dapat diambil manfaat kepada:
1. Residivis, dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan perbaikan diri atas
kondisi yang telah terjadi, yaitu untuk tidak mengulangi kesalahannya kembali
yang telah dilakukan.
2. Lembaga pemasyarakatan, dapat dijadikan pertimbangan untuk mengadakan
sebuah pelatihan atau program kegiatan tertentu dengan sasaran residivis,
dengan tujuan menumbuhkan motivasi untuk menjadi lebih baik.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritik bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan untuk memperkaya khasanah ilmu
psikologi khususnya psikologi sosial karena hasil penelitian ini memberi
penjelasan tentang kondisi guilty feeling pada residivis.