Share |

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN ADVERSITY
DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI
PADA KARYAWAN

Oleh :Wirahadi Jaya/F100030110.UMS
Abstrak
Pada suatu perusahaan tentunya ada karyawan yang begitu rajin dan tekun dalam bekerja, selalu berusaha mencapai prestasi yang lebih baik, dan tidak mudah puas dengan hasil yang telah dicapai, sementara ada pula yang sudah merasa puas dengan prestasi yang sedang-sedang saja dan tidak terdorong atau termotivasi untuk meraih prestasi yang lebih baik lagi. Bahkan ada juga karyawan yang terlihat asal-asalan saja dalam bekerja, mudah putus asa, dan menganggap tugas yang diterima sebagai beban. Salah satu faktor atau variabel yang diasumsikan mempengaruhi motivasi berprestasi yaitu kecerdasan adversity. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi. Hipotesis yang diajukan: Ada hubungan positif antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi.
Subjek penelitian 62 karyawan Orchid Hotel & Restaurant. Alat ukur penelitian menggunakan skala kecerdasan adversity dan skala motivasi berprestasi. Teknik analisis data yang digunakan yaitu korelasi product moment.
Berdasarkan hasil analisis data diketahui korelasi (r) sebesar 0,469; p = 0,000 (p < 0,01) artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi. Semakin tinggi kecerdasan adversity maka semakin tinggi pula motivasi berprestasi. Sumbangan efektif kecerdasan adversity terhadap motivasi berprestasi sebesar 22% yang berati masih terdapat 78% variabel lain yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi selain kecerdasan adversity. Melalui perhitungan kategorisasi diketahui rerata empirik motivasi berprestasi sebesar 105,887 dan rerata hipotetik sebesar 102,5, hal ini menunjukkan motivasi berprestasi pada subjek penelitian tergolong sedang. Adapun nilai rerata empirik kecerdasan adversity sebesar 74,677 dan rerata hipotetik sebesar 75 yang berarti kecerdasan adversity subjek penelitian tergolong sedang.. Kondisi sedang ini berimplikasi bahwa subjek penelitian perlu meningkatkan lagi motivasi berprestasi dan kecerdasan adversity yang dimiliki Adapun kesimpulan penelitian menyatakan ada hubungan positif antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi. Semakin tinggi kecerdasan adversity maka akan semakin tinggi pula motivasi berprestasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya tingkah laku manusia yang disadari didorong oleh suatu kekuatan disebut motivasi. Di antara sekian banyak motivasi yang mewarnai kehidupan manusia, salah satu diantaranya adalah motivasi berprestasi. Motivasi berprestasi tersebut besar sekali peranannya dalam mempengaruhi kehidupan manusia. Seperti dikatakan Hermans (Yunita, 2000) motivasi berprestasi sebagai usaha untuk meningkatkan atau mempertahankan kemampuan pribadi setinggi mungkin dalam segala bentuk aktivitas. McClelland (1987) mengungkapkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki tiga kebutuhan utama, yaitu: Kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk kekuasaan, karena itu wajar apabila seseorang yang bekerja pada suatu perusahaan dituntut untuk berprestasi. Pada motivasi berprestasi terdapat kecenderungan berprestasi dalam menyelesaikan suatu aktivitas atau pekerjaan dengan usaha yang aktif sehingga memberikan hasil yang terbaik. Kebutuhan berprestasi tercermin dari perilaku individu yang selalu mengarah pada suatu standar keunggulan. Di sini berarti seseorang yang motivasi berprestasinya tinggi apabila memperoleh tugas atau pekerjaan maka ia akan mengerjakannya dengan bersungguh-sungguh dan berusaha memberikan hasil yang terbaik. Sebaliknya, individu yang motivasi berprestasinya rendah akan menjalankan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya dengan kurang bersungguh-sungguh dan kurang terpacu untuk berusaha memberikan hasil yang maksimal. Berdasarkan analisis dari McClelland (1987) tidak terlalu mengherankan apabila dalam suatu organisasi (perusahaan) akan banyak karyawan yang begitu rajin dan tekun dalam bekerja, selalu berusaha mencapai prestasi yang lebih baik, dan tidak mudah puas dengan hasil yang telah dicapai, sementara ada pula sudah merasa puas dengan prestasi yang sedang-sedang saja dan tidak terdorong untuk meraih prestasi yang lebih baik lagi. Bahkan ada juga karyawan yang terlihat asal-asalan saja dalam bekerja, mudah putus asa, dan menganggap tugas yang diterima sebagai beban. Menurut Hermans (Ratnawati dan Sinambela, 1996), tingkah laku yang didorong oleh motivasi berprestasi selalu diarahkan pada usaha untuk mengerjakan sesuatu dengan sebaik mungkin. Dalam situasi yang menuntut prestasi, seseorang yang didominasi motivasi berprestasi senantiasa menyandarkan hasil kerjanya pada usahanya sendiri, bukan pada faktor keberuntungan, kesempatan, ataupun bantuan orang lain Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah Indonesia belum mampu menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Padahal dengan sumber daya manusia yang tangguh dan berkualitas itulah bangsa Indonesia bisa mengatas i berbagai tantangan pembangunan seperti masalah lapangan pekerjaan dan pendidikan. Indikasi rendahnya Sumber Daya Insani (SDI) Indonesia ialah besarnya kesenjangan pendapatan, besarnya pengangguran dan rendahnya pendidikan rata-rata tenaga kerja. Secara komparatif kondisi sumber daya insani (SDI) Indonesia dibandingkan dengan SDI mancanegara masih tergolong rendah yaitu peringkat ke-98. Sementara itu peringkat SDI Filipina 84, Thailand 66, Malaysia 52, Brunai 42, Singapura 37, Hongkong 25, Australia 9, Belanda 8, dan Jepang peringkat pertama (Hadipranata, 2000). Pada sebuah perusahaan sudah seharusnya karyawan bekerja penuh semangat dan bermotivasi tinggi dalam bekerja dan melakukan pekerjaannya secara efektif dan efisien, untuk kemudian pada akhirnya menunjukkan kedisiplinan yang tinggi dalam usaha mewujudkan misi dan tujuan yang telah ditetapkan. Namun demikian tidak selamanya usaha tersebut dapat diwujudkan. Sering terjadi karyawan suatu perusahaan menunjukkan motivasi berprestasi yang rendah. Hal tersebut nampak dari perilaku kerja yang ditampakkan. Sebagai contoh, seorang tenaga marketing yang dituntut mempromosikan dan menjual sebuah produk mereka seringkali tidak mengoptimalkan waktu kerja seefektif mungkin, yaitu ditandai dengan perilaku tidak adanya tanggung jawab pada pekerjaan seperti mangkir pada saat jam kerja, tidak tercapainya target penjualan seperti yang diharapkan perusahaan dan setiap diberi pekerjaan penyelesaian tugasnya minimal. Hal yang nampak antara lain kurang adanya motivasi karyawan mencoba membuka atau menjelajah wilayah pemasaran lain yang belum tercover atau belum tertangani oleh perusahaan. Gagalnya karyawan meningkatkan motivasi berprestasi merupakan persoalan penting yang perlu diperhatikan dan segera dibenahi karena jika tidak dibenahi perusahaan akan kalah bersaing dan tidak mampu berkompetisi dengan perusahaan lain. Agar menghasilkan motivasi berprestasi yang tinggi karyawan harus memaksimalkan semua kemampuannya, baik dari segi teknis maupun dari segi psikologisnya. Menumbuhkan motivasi bukanlah masalah yang sederhana dalam usaha mewujudkan suatu idealisme untuk meningkatkan produktivitas dan profesionalisme kerja. Pandangan atau pendapat umum sering beranggapan bahwa motivasi berprestasi dapat ditimbulkan apabila seseorang mendapatkan imbalan yang baik sehingga mampu meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Namun selain itu ada hal yang lebih penting yang perlu dimiliki karyawan dalam meningkatkan motivasi berprestasi yaitu memiliki kecerdasan adversity. Motivasi berprestasi karyawan tidak akan sama antara karyawan yang satu dengan karyawan yang yang lain hal ini dikarenakan karyawan sebagai individu memiliki berbagai karakteristik yang berbeda-beda, salah satu karakteristik yang perlu dimiliki oleh karyawan yaitu kecerdasan adversity. Belum banyak penelitian yang banyak mengungkap tentang kecerdasan adversity. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menelaah lebih mendalam tentang keterkaitan antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi . Menurut Kusuma (2004) kecerdasan adversity adalah kemampuan seseorang mengubah hambatan menjadi peluang. Seseorang yang mempunyai kecerdasan adversity rendah dan karenanya tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan, potensinya akan tetap kecil untuk meraih sukses. Sebaliknya seseorang yang mempunyai kecerdasan adversity tinggi akan berkembang pesat. Jika karyawan mempunyai kecerdasan adversity tinggi, maka dimungkinkan untuk mengatasi hambatan/kesulitan ketika sedang melakukan proses pekerjaan sehingga diharapkan berbagai persoalan yang terjadi diharapkan dapat terselesaikan jika karyawan memiliki kecerdasan adversity yang tinggi. Stoltz (2005) memaparkan konsep Adversity Quotient/AQ (Kecerdasan Adversity) merupakan faktor yang paling penting dalam meraih kesuksesan. AQ adalah teori yang ampuh, sekaligus ukuran yang bermakna dan merupakan seperangkat instrument yang telah diasah untuk membantu supaya tetap gigih melalui saat-saat yang penuh dengan tantangan. AQ akan merangsang untuk memikirkan kembali rumusan keberhasilan yang sekarang ini. Namun, tantangan-tantangan yang ada sekarang membutuhkan lebih dari sekedar gagasan-gagasan baru sehingga akan lebih merangsang pikiran-pikiran yang tangguh dan mampu bersaing. Seligman (Stoltz, 2000) memperlihatkan bahwa gaya penjelasan atau atribusi, merupakan peramal kesuksesan yang tangguh di banyak bidang. Pada sebuah studi yang berlangsung selama lima tahun dan melibatkan ribuan agen asuransi, ternyata karyawan yang memiliki gaya penjelasan yang lebih optimistis menjual jauh lebih banyak polis dan jauh lebih lama bertahan di perusahaannya daripada mereka yang pesimistis. Tenaga - tenaga penjual yang optimistis mengalahkan tenaga-tenaga pesimistis tiga kali lipat lebih besar meskipun mereka kurang berbakat. Pada kasus ini, intinya adalah bagaimana seseorang merespon kesulitan. Karyawan yang merespon kesulitan secara destruktif terlihat kurang produktif dibandingkan dengan orang yang tidak destruktif. Pendekatan teoritis adversity quotient (AQ) dikembangkan pertama kali oleh Stoltz (2005) yang menyatakan bahwa IQ dan EQ yang sedang marak dibicarakan itu tidaklah cukup dalam meramalkan kesuksesan orang. Stoltz mengelompokkan individu menjadi tiga: quitter, camper, dan climber. Pengunaan istilah ini berdasarkan pada sebuah kisah ketika para pendaki gunung yang hendak menaklukan puncak Everest. Ia melihat ada pendaki yang menyerah sebelum pendakian selesai, ada yang merasa cukup puas sampai pada ketinggian tertentu, dan ada pula yang benar-benar berkeinginan menaklukan puncak tersebut. Itulah kemudian dia mengistilahkan orang yang berhenti di tengah jalan sebelum usai sebagai quitter, kemudian mereka yang merasa puas berada pada posisi tertentu sebagai camper, sedangkan yang terus ingin meraih kesuksesan ia sebut sebagai climber .Teori ini sebenarnya tetap melihat pada motivasi individu. Mereka yang berjiwa quitter cenderung akan mati di tengah jalan ketika pesaingnya terus berlari tanpa henti. Sementara mereka yang berjiwa camper merasa cukup puas berada atau telah mencapai sebuah target tertentu, meskipun tujuan yang hendak dicapai masih panjang. Mereka yang berjiwa climber akan terus maju pantang mundur menghadapi hambatan yang ada di hadapannya. Ia anggap itu sebagai sebuah tantangan dan peluang untuk meraih hal yang lebih tinggi yang belum diraih orang lain. Stoltz (2005) pada penelitiannya menemukan bahwa adversity quotient meramalkan siapa yang akan mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur, siapa yang akan mempunyai prestasi melebihi harapan kinerja mereka dan siapa yang akan gagal. Penelitian Stoltz dibuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan dengan baik menjual lebih sedikit, kurang berproduksi dan kinerjanya lebih buruk daripada mereka yang merespon kesulitan dengan baik. Penelitian di atas dapat dianalogikan dengan motivasi berprestasi, bahwa motivasi berprestasi karyawan yang tinggi dapat diperoleh melalui adversity quotient. Menurut Stolz (2005), tinggi rendahnya AQ dipengaruhi oleh beberapa aspek yang disingkat CORE yaitu Control (kontrol), Ownership (kepemilikan), Reach (jangkauan), Endurance (daya tahan). Maka dari itu banyak kegagalan yang dialami oleh para pengusaha menunjukkan hal yang mencengangkan, 1 dari 5 pebisnis pernah mengalami kegagalan namun yang menarik 60% yang gagal ternyata tidak menyerah, mereka bangkit dengan mencoba bisnis yang sama. Decak kagum dari masyarakat tentang suksesnya seorang wirausahawan diraih dengan susah payah setelah melewati berbagai kegagalan. Sebagai contoh yaitu Soeharti yang memulai jaringan resto ayam goreng kremesnya berwal dari penjual ayam kaki lima. Pak Sholeh juragan soto bangkong, memulai usahanya dari gerobak keliling. Mereka kenyang digusur-gusur dan diusir dari tempat kontrakan sebalum mengkokohkan jangkar bisnisnya. Bob Sadino yang memulai karirnya dengan menjajakan telur ke rumah-rumah sempat mengalami berbagai penolakan, begitupun ia mengupayakan berbagai cara untuk dapat diterima. Mereka- mereka tangguh mengontrol respon dengan menganggap penolakan dan pengusiran dari pelanggan sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi dengan senyuman, buklan sebagai hinaan atau kenistaan. Magnesen (Martin, 2008) mengatakan 90% pemahaman belajar individu diperoleh dari melakukan sesuatu. Begitu pula di perusahaan, kecerdasan adversity diharapkan dapat dimiliki karyawan sebagai potensi untuk mengembangkan motivasi berprestasi, serta permasalahan-permasalahan yang terjadi saat bekerja diharapkan dapat dipecahkan, namun kenyataannya proses pembelajaran di perusahaan umumnya belum pada tahap bagaimana karyawan memiliki kecerdasan adversity. Harapannya kecerdasan adversity dimiliki karyawan dapat digunakan sebagai potensi untuk meningkatkan motivasi berprestasi. Hal ini karena dalam kecerdasan adversity tedapat aspek control, origin dan ownership, reach, endurance yang dapat dimanfaatkan karyawan untuk berpikir lebih kreatif, kritis dan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang pekerjaan, selain itu pula diharapkan karyawan yang memiliki adversity tinggi lebih mampu mewujudkan cita-citanya dibandingkan orang yang adversity-nya rendah. Kenyataan yang terjadi pada perusahaan adalah kurangnya perhatian manajemen perusahaan terhadap sisi psikologis karyawan, seringkali perusahaan memperhatikan karyawan dengan menitikberatkan pada aspek—aspek fisik yang nampak saja, misalnya dari kerja sama tim, absensi/kedisiplinan atau barang-barang yang terjual. Padahal adversity memiliki banyak manfaat, seperti dikemukakan Stoltz (2005) bahwa kecerdasan adversity bermanfaat: 1) memberi tahu seseorang seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya; 2) meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur; 3) meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal; 4) meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan. Berdasar ulasan tersebut maka penelitian tentang hubungan antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi peru dilakukan, karena selain dapat memberikan suatu kontribusi secara teoretis bagi pengembangan ilmu psikologi industri juga dapat memberikan gambaran secara empiris tentang kondisi hubungan antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi pada Karyawan. Mengacu dari latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang dimunculkan dalam penelitian ini adalah: apakah ada hubungan antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi? Mengacu dari rumusan masalah tersebut peneliti tertarik mengadakan penelitian dengan judul: Hubungan antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi. B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Hubungan antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi 2. Sumbangan efektif kecerdasan adversity terhadap motivasi berprestasi 3. Tingkat kecerdasan adversity dan tingkat motivasi berprestasi karyawan C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi pimpinan perusahaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi mengenai keterkaitan antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi , sehingga dapat dijadikan sebagai acuan membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kecerdasan adversity dan motivasi berprestasi kerja karyawan. 2. Bagi karyawan Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai keterkaitan antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi agar karyawan memahami pentingnya kecerdasan adversity bagi pengembangan motivasi berprestasi. 3. Bagi peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan penelitian yang sejenis, dan menambah khasanah pengetahuan ilmu psikologi industri khususnya yang berkaitan dengan kecerdasan adversity dan motivasi berprestasi