Share |

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INTENSI ALTRUISME PADA SISWA SMA N 1 TAHUNAN JEPARA
oleh:AHMAD ARIF/F100030121.UMS

ABSTRAKSI
Intensi altruisme merupakan niat yang ada pada diri seseorang untuk berperilaku atau bertindak untuk membantu, menolong atau berkorban kepada orang lain tanpa menghiraukan balasan sosial maupun materi dengan tujuan mensejahterakan atau memberikan efek positif pada orang lain. Kecerdasan emosi berkaitan dengan kemampuan dalam pengendalian diri. Khususnya dalam pergaulan, mampu mengendalikan diri juga berarti mampu mengelola emosi dan mampu membantu untuk meringankan beban orang lain baik yang dikenal maupun tidak dikenal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) Hubungan antara kecerdasan emosi dengan intensi altruisme pada siswa. 2) Tingkat kecerdasan emosi pada siswa. 3)Tingkat intensi altruisme pada siswa.

Hipotesis yang diajukan : ada hubungan positif antara kecerdasan emosi dengan intensi altruisme pada siswa SMU. Subjek penelitian adalah siswa kelas X-4, X8, dan X9 SMA Negeri 1 Tahunan, Jepara yang berjumlah 102 siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster random sampling. Pengumpulan data menggunakan skala kecerdasan emosi dan skala intensi altruisme.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan positif antara kecerdasan emosi dengan intensi altruisme pada siswa SMA, artinya semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin tinggi pula intensi altruisme pada siswa begitu pula sebaliknya. Berdasarkan hasil analisis dari pruduct moment diperoleh nilai r = 0,502 dengan p < 0,01 artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dengan intensi altruisme pada siswa. Berdasarkan hasil penelitian diketahui kategori skala kecerdasan emosi tergolong tinggi ditunjukkan oleh rerata empirik sebesar 109,137 dan rerata hipotetik sebesar 87,5, yang artinya kecerdasan emosi yang dimiliki oleh individu tinggi, sedangkan hasil penelitian diketahui kategori skala intensi altruisme tergolong tinggi dengan ditunjukkan oleh rerata empirik sebesar 113,539 dan rerata hipotetik sebesar 92,54. Berdasarkan hasil penelitian, sumbangan efektif kecerdasan emosi dengan intensi altruisme sebesar 25,2% ditunjukan oleh r2 sebesar 0,252. Hal ini berarti masih terdapat 74,8% faktor yang mempengaruhi intensi altruisme diluar variabel kecerdasan emosi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan teknologi dan komunikasi pada saat ini banyak individu yang mementingkan dirinya sendiri atau berkurangnya rasa tolong menolong antar sesama. Semakin berkembangnya aktivitas pada setiap orang, maka akan semakin sibuk dengan urusannya sendiri, yang berakibat pada munculnya sifat atau sikap individualisme yang menjadi ciri manusia modern. Individualisme ini merupakan faham yang bertitik tolak dari sikap egoisme, mementingkan dirinya sendiri sehingga mengorbankan orang lain demi kepentingan dirinya sendiri, tanpa terkecuali remaja. Masa remaja adalah fase perkembangan yang cukup penting. Remaja merupakan tahap perkembangan yang dilematis, dikalangan orang dewasa mereka belum diterima sedangkan disisi lain mereka juga sudah tidak mau dikatakan sebagai anak anak lagi. Masa remaja sering disebut masa yang labil penuh dengan gejolak kejiwaan dan problematika (Yahdillah, 2009). Masa remaja disebut pula sebagai masa social hunger (kehausan sosial), yang ditandai dengan adanya keinginan untuk bergaul dan diterima di lingkungan kelompok sebayanya (peer group). Penolakan dari peer group dapat menimbulkan frustrasi dan menjadikan dia sebagai isolated dan merasa rendah diri. Namun sebaliknya apabila remaja dapat diterima oleh rekan sebayanya dan bahkan menjadi idola tentunya ia akan merasa bangga dan memiliki kehormatan dalam dirinya. Problema perilaku sosial remaja tidak hanya terjadi dengan kelompok 1 3 sebayanya, namun juga dapat terjadi dengan orang tua dan dewasa lainnya, termasuk dengan guru di sekolah. Hal ini disebabkan pada masa remaja, khususnya remaja awal akan ditandai adanya keinginan yang ambivalen, di satu sisi adanya keinginan untuk melepaskan ketergantungan dan dapat menentukan pilihannya sendiri, namun di sisi lain dia masih membutuhkan orang tua, terutama secara ekonomis (Yahdillah, 2009). Menurut Hamidah (2002) banyak remaja cenderung egois dan berbuat untuk mendapatkan suatu imbalan (materi). Sikap ini menimbulkan ketidak- pedulian terhadap lingkungan sosialnya. Dampaknya terutama di kota-kota besar, remaja menampakkan sikap materialistik, acuh pada lingkungan sekitar dan cenderung mengabaikan norma-norma yang tertanam sejak dulu. Remaja merupakan golongan masyarakat yang mudah terpengaruh dari luar. Hal ini tampak pada kecenderungan untuk lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Tidak mengherankan apabila di kota-kota besar nilai-nilai pengabdian, kesetiakawanan dan tolong-menolong mengalami penurunan sehingga yang nampak adalah perwujudan kepentingan diri sendiri dan rasa individualis. Gaya hidup remaja yang cenderung bersenang-senang dan berfoya-foya menurut Monks, dkk, (Nashori, 1998) karena remaja menginginkan dirinya mampu menarik perhatian orang lain melalui penampilan, gaya tingkah laku, cara bersikap. Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan sosialnya berusaha untuk mengikuti perkembangan yang terjadi seperti cara berpenampilan. Kebutuhan diterima dan menjadi sama dengan orang lain atau kelompok teman sebaya menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang trend, misalnya saja pemilihan model pakaian dengan merek terkenal, 4 penggunaan telepon genggam (HP) dengan fasilitas layanan terbaru, berbelanja di pusat perbelanjaan terkenal seperti mall dari pada berbelanja di pasar tradisional atau sekedar jalan-jalan untuk mengisi waktu luang bersama kelompok. Gambaran lain tentang pudarnya perilaku sosial di masyarakat, antara lain kejadian-kejadian didalam bus dimana seorang lanjut usia atau wanita yang sedang hamil berdiri berdesakan dengan penumpang yang lain, sementara yang muda dengan enaknya duduk tanpa peduli terhadap orang lain atau wanita hamil. Kejadian yang dipaparkan diatas dapat diketahui bahwa individu sudah tidak peduli lagi dengan individu yang lain, tidak menghormati individu yang lebih tua, tidak mau berkorban, tidak mau berbagi apalagi memperhatikan dan mementingkan individu yang lain, contoh lain yaitu ketika terjadi kecelakaan lalu lintas di jalan raya, sebagian masyarakat lebih banyak yang menonton dari pada memberikan pertolongan, ataupun dalam peristiwa-peristiwa tawuran atau perkelahian antara remaja, masyarakat juga tidak banyak yang ikut melerai ataupun menolong dengan segara korban yang terluka (Susanto, 2006). Sikap kurang peduli dengan orang-orang yang ada di sekitarnya tidak hanya terjadi pada remaja, melainkan juga pada orang-orang dewasa. Perilaku kurang peduli dalam kasus lain yang terjadi yaitu pada peristiwa gempa dan tsunami di NAD, banyak sekali perusahaan besar atau kelompok masyarakat menyumbangkan bantuan baik dalam bentuk uang maupun barang, setelah melakukan bantuan mereka langsung melakukan konferensi pers untuk memberitahukan berapa jumlah uang dan bentuk barang yang disumbangkan. Peristiwa tersebut menunjukkan masih ada unsur bisnis dari perusahaan tersebut dengan menyebutkan jumlah bantuan kepada masyarakat umum. 5 Peristiwa lainnya, banyak relawan yang dibayar baru mau bekerja, yang acuh tak acuh di lapangan, absent dari tugas yang sudah dijadwalkan (Rahmad, 2006). Pada kasus lain, ada juga relawan yang mencuri bantuan untuk pengungsi (Ham, 2005), padahal seharusnya seorang relawan menyalurkan bantuan pada pihak- pihak yang berhak menerima seperti korban bencana alam. Sehubungan dengan kondisi masyarakat dan kondisi remaja sekarang yang bertentangan, menurut Anwar (2007), remaja perlu pendidikan dan bimbingan baik dari orang tua ataupun dari guru dalam pengembangan moral. Remaja perlu pendidikan yang mengarah kepada kepedulian remaja dengan keadaan lingkungan sekitarnya guna meningkatkan kualitas sosialisasi remaja di lingkungan masyarakat. Remaja perlu bimbingan untuk memperhatikan dan peduli terhadap penderitaan orang lain sehingga remaja dapat memiliki perilaku altruisme. Perilaku altruisme pada individu, khususnya remaja, muncul dari perilaku meniruan atau imitasi terhadap teman-temannya, bila remaja mampu berperilaku menyenangkan orang lain maka akan mendapatkan reward atau hadiah atas perilaku yang bisa diberikan dalam bentuk pujian dan penerimaan dari anggota kelompok terhadap kehadiran remaja. Pada masa remaja perilaku altruisme yang dilakukan lebih berorientasi pada hubungan remaja dengan orang lain. Remaja ingin ikut aktif serta secara aktif melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial dan mempunyai harapan untuk bisa membantu memecahkan persoalan yang dihadapi oleh orang lain (Susanto, 2006) Altruisme adalah tindakan berkorban untuk menyejahterakan orang lain tanpa menghiraukan balasan sosial maupun materi bagi dirinya sendiri (Baron dan Byrne, 2005). Ditambahkan oleh Choen (Rain, 2005) aspek-aspek perilaku 6 altruisme yaitu: keinginan untuk memberi, empati, sukarela tidak mengharapkan imbalan. Empati, keinginan untuk memberi, dan sukarela merupakan faktor penting yang mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan. Altruisme dimotivasi oleh empati, yaitu kemampuan untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Salovey dan Mayer (Shapiro, 1999) menerangkan bahwa kualitas- kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan, di antaranya adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan memecahkan masalah pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat. Di sisi lain, manusia berperilaku dipengaruhi kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang dalam memahami, merasakan dan mengenali perasaan dirinya dan orang lain sehingga seseorang tersebut dapat mengendalikan perasaan yang ada dalam dirinya dan dapat memahami serta menjaga perasaan orang lain, dan dapat memotivasi diri sendiri untuk menjadi individu atau pribadi yang lebih baik dalam kehidupan yang dijalani. Menurut Goleman (2000), aspek kecerdasan emosi terdiri dari mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, berempati, dan membina hubungan deangan orang lain. Kecerdasan emosi juga mampu melatih kemampuan untuk mengelola perasaannya, kemampuan untuk memotivasi dirinya, kesanggupan untuk tegar dalam menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan dan menunda kepuasan sesaat, mengatur suasana hati yang reaktif, serta mampu berempati dan bekerja sama dengan orang lain. Kemampuan-kemampuan ini 7 mendukung seorang dalam mencapai tujuan dan cita-citanya. Kecerdasan emosional yang dimiliki siswa sangat berpengaruh terhadap proses penyesuaian diri, karena emosi memancing tindakan seorang terhadap apa yang dihadapinya. Kecerdasan emosional menentukan seberapa baik seseorang menggunakan keterampilan-keterampilan yang dimilikinya, termasuk keterampilan intelektual. Paradigma lama menganggap yang ideal adalah adanya nalar yang bebas dari emosi, paradigma baru menganggap adanya kesesuaian antara kepala dan hati. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa remaja memiliki kecenderungan altruisme yang rendah. Hal ini dapat diketahui melalui perilaku remaja saat menolong orang lain yang meminta balasan dari orang yang ditolong. Di sisi lain, remaja kurang mampu mengontrol emosinya sehingga perilakunya terkesan untuk kepentingan pribadi. Maka dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang kecerdasan emosi dengan intensi altruisme pada siswa SMA. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis membuat rumusan masalah dari judul penelitian yaitu “Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan intensi altruisme pada siswa SMA”. Dari rumusan masalah tersebut maka penulis membuat judul: Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Intensi Altruisme Pada Siswa SMA N 1 Tahunan Jepara. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui: 1. Hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku altruisme pada siswa. 2. Tingkat kecerdasan emosi pada siswa. 3. Tingkat intensi altruisme pada siswa. 8 C. Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis, khususnya bagi: 1. Bagi remaja yang menjadi subjek penelitian ini memberikan informasi dan pemahaman tentang keterkaitan antara kecerdasan emosi dengan intensi altruisme pada remaja 2. Bagi peneliti selanjutnya. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan maupun perbandingan dalam pengembangan penelitian tentang hubungan antara kecerdasan emosi dengan intensi altruisme pada remaja sehingga pada penelitian-penelitian selanjutnya dapat menghasilkan hasil yang empiris dan dapat dimanfaatkan secara luas bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam yang bidang psikologi sosial.