HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL TEMAN SEKERJA DENGAN KEPUASAN KERJA
Oleh :SEPTIANA SRI WULANDARI
ABSTRAK

Masalah pengelola koperasi pegawai negeri saat ini belum mampu memanfaatkan peluang kesempatan sehubungan dengan iklim kelembagaan dan pemanfaatan pemupukan modal, serta ketergantungan kepada pihak luar. Para pensiunan pun ada yang masih bekerja menjadi karyawan, terutama di kepengurusan. Padahal, maju atau mundur koperasi merupakan tanggung jawab pengurus sehingga menimbulkan ketidakpuasan karyawan yang memiliki tanggung jawab dan pimpinan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Hubungan antara dukungan sosial teman sekerja dengan kepuasan kerja pada karyawan Primer Koperasi Karyawan (Primkopkar) Perhutani KPH Balapulang Tegal. (2) Tingkat dukungan sosial teman sekerja. (3) Tingkat kepuasan kerja pada karyawan. (4) Besar sumbangan efektif dukungan sosial teman sekerja terhadap kepuasan kerja pada karyawan Primer Koperasi Karyawan (Primkopkar) Perhutani KPH Balapulang Tegal.
Hipotesis dalam penelitian ini yaitu a Ada hubungan positif antara dukungan sosial teman kerja dengan kepuasan kerja pada karyawan. Artinya, semakin tinggi nilai dukungan sosial teman kerja yang diperoleh subjek, maka akan semakin tinggi kepuasan kerja subjek. Sebaliknya, semakin rendah nilai dukungan sosial teman kerja yang diperoleh subjek maka kepuasan kerja yang dimiliki subjek semakin rendah.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota Primkopkar (Primer Koperasi Karyawan) Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan di Jl Pramuka Balapulang Tegal berjumlah 385 orang, dengan anggota 351 orang dan karyawannya 34 orang. Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan purposive non random sampling.
Kesimpulan hasil penelitian ini, yaitu: (1) Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan sosial teman kerja dengan kepuasan kerja pada karyawan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil r = 0,487 dengan p = 0,000 atau p ≤ 0,01. (2) Kategori kepuasan kerja tergolong tinggi dengan rerata empirik sebesar 102,636 dan rerata hipotetik sebesar 85. (3) Kategori dukungan sosial teman kerja tergolong tinggi dengan rerata empirik sebesar 90,424 dan rerata hipotetik sebesar 75. (4) Sumbangan dukungan sosial teman kerja sebesar 23,8% yang berarti masih terdapat 76,2% variabel-variabel lain yang mempengaruhi kepuasan kerja diluar variabeldukungan sosial teman kerja.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan sumber daya manusia dalam organisasi merupakan potensi yang
besar bagi sebuah perusahaan atau organisasi. Hal tersebut dikarenakan sumber daya
manusia sebagai tenaga kerja merupakan faktor penentu keberlangsungan
perusahaan atau organisasi tersebut. Perusahaan dalam operasionalnya
menggunakan seluruh sumber daya untuk menghasilkan suatu produk. Di sini
pengelolaan sumber daya sangat penting mendapat perhatian dalam mencapai tujuan
organisasi atau perusahaan. Karyawan sebagai sumber daya manusia dalam
organisasi terkadang masih dianggap sebagai salah satu faktor produksi dan bukan
sebagai aset yang hanya sebagai mitra kerja organisasi atau perusahaan. Oleh karena
itu, sebuah organisasi atau perusahaan dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas
sumber daya manusia yang ada. Kualitas sumber daya manusia banyak ditentukan
oleh sejauh mana sistem yang ada di organisasi atau perusahaan mampu menunjang
dan memuaskan keinginan baik dari karyawan maupun dari organisasi atau
perusahaan.
Saat ini terdapat tiga pelaku ekonomi, yaitu pemerintah (BUMN), swasta
(PT, CV, Firma) dan koperasi (koperasi fungsional dan konsumsi). Perbedaan
swasta dan koperasi, bahwa pelaku ekonomi swasta memusatkan pada pemilikan
modal atau saham. Sementara koperasi memusatkan pada orang, yaitu anggota
koperasi yang terdiri atas orang-orang dan atau badan hukum koperasi. Setiap
anggota koperasi memiliki hak yang sama dan tidak bergantung pada banyaknya
saham yang dimiliki. Fungsi koperasi sebagai alat demokratisasi ekonomi adalah
sebagai urat nadi perekonomian bangsa dan alat perjuangan ekonomi untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, sampai kini fungsi koperasi
tersebut dipandang masih jauh dari harapan. Pengembangan koperasi dilakukan pada
struktur tata niaga yang sudah ada. Konsekuensinya, aspirasi koperasi seolah
merebut bagian tata niaga (Komar, 2009).
Permasalahan banyak terjadi di koperasi, khususnya permasalahan pada diri
individu dan lingkungan tempat bekerja. Menurut Komar (2009) bahwa
permasalahan dalam sebuah perusahaan berhubungan dengan kondisi individu
sebagai karyawan, salah satunya adalah kepuasan kerja. Karuawan yan merasa
kurang puas dengan hasil kerja berdampak pada sikap karyawan saat bekerja tidak
melakukannya dengan sunguh-sungguh. Perilaku karyawan yang bekerja tidak
dengan sungguh-sungguh dilakukan oleh banyaknya karyawan yang mencuri-curi
kesempatan untuk keluar di saat jam kerja. Perilaku lainnya, karyawan sering
menunda-nunda menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Perilaku yang kurang produktif tersebut dapat merugikan perusahaan.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut, Rosman (2008) mengatakan bahwa
perkembangan Koperasi Pegawai Republik Indonesia masih menghadapi berbagai
permasalahan baik internal maupun eksternal. Salah satu permasalahan internal yaitu
masih kurangnya tenaga profesional yang bertanggung jawab dalam menangani
Koperasi Pegawai Republik Indonesia Tersebut. Masih banyak tantangan dan
permasalahan yang dihadapi dalam memajukan Koperasi Pegawai, baik masalah
internal maupun permasalahn eksternal. Dari kurangnya tenaga yang profesional
menangani ini maupun permasalahan lain yang harus di benahi bersama. Kurangnya
perhatian pimpinan kepada karyawan dalam memberikan penghargaan
menimbulkan ketidakpuasan karyawan dalam bekerja. Pimpinan yang cenderung
kurang adil dalam memberikan penghargaan akan menimbukan kecemburuan
karyawan lain. Akibatnya, karyawan masuk kerja tanpa alasan, datang terlambat,
membuat laporan kerja tidak tepat waktu, dan memberikan pelayanan yang kurang
memuaskan pada masyarakat sebagai anggota koperasi. Akibat pegawai koperasi
dalam menjalankan tanggung jawabnya kurang profesional sehingga kinerja
pegawai koperasi kurang memuaskan bagi koperasi sehingga koperasi berjalan
kurang berkembang.
Dilanjutkan oleh (Triana dan Johan, 2006) salah satu aspek yang dapat
membentuk kepuasan kerja karyawan adalah aspek kompensasi. Oleh karena itu
seringkali jalan yang ditempuh departemen personalia untuk meningkatkan prestasi
kerja, motivasi dan kepuasan kerja adalah melalui peningkatan kepuasan di bidang
kompensasi. Memberikan kepuasan kerja bagi karyawan adalah kewajiban setiap
pemimpin perusahaan, karena kepuasan kerja merupakan faktor yang diyakini dapat
mendorong dan mempengaruhi semangat kerja karyawan agar karyawan dapat
bekerja dengan baik dan secara langsung akan mempengaruhi prestasi karyawan.
Keterlibatan pekerja dalam organisasi mengembangkan kepuasan personal
dalam pekerjaan, pendapatan, dan upah kerja intrinsik. Pekerja menjadi yakin atas
kebutuhan organisasi dan bagaimana karyawan memberikan kontribusi untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Para pekerja berusaha keras demi kepentingan
perusahaan sehingga timbul kepuasan hasil kerja bagi perusahaan dan karyawan.
Pengetahuan pihak manajemen perusahaan akan kepuasan kerja pegawai
mempunyai banyak manfaat bagi kepentingan pegawai itu sendiri, organisasi, dan
masyarakat. Bagi pegawai, salah satu manfaat adanya pengetahuan pihak
manajemen tentang kepuasan.
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan hal yang bersifat individual.
Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan
keinginan dan sistem nilai yang dianutnya. Semakin banyak aspek dalam
pekerjaannya yang sesuai dengan keinginan dan sistem nilai yang dianut individu,
semakin tinggi tingkat kepuasan yang didapat. Kepuasan kerja pada dasarnya
merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan
yang berbeda-beda sesuai dengan keinginan dan sistem nilai yang dianutnya.
Semakin banyak aspek dalam pekerjaannya yang sesuai dengan keinginan dan
sistem nilai yang dianut individu, semakin tinggi tingkat kepuasan yang didapat.
Kepuasan kerja yang tinggi dapat membuat karyawan bekerja dengan lebih
baik yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas. Kepuasan kerja juga
penting untuk aktualisasi diri. Karyawan yang tidak mendapatkan kepuasan kerja
tidak akan mencapai kematangan psikologis. Karyawan yang mendapatkan
kepuasan kerja yang baik biasanya mempunyai catatan kehadiran, perputaran kerja
dan prestasi kerja yang baik dibandingkan dengan karyawan yang tidak
mendapatkan kepuasan kerja. Oleh karena itu kepuasan kerja memiliki arti yang
sangat penting untuk memberikan situasi yang kondusif di lingkungan perusahaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja dapat digolongkan
menjadi tiga faktor utama yaitu faktor organisasi, faktor yang berhubungan dengan
pekerjaaan, dan faktor karakteristik personal. Faktor organisasi terdiri dari sistem
penggajian, sistem promosi, dan supervisi (atasan). Faktor yang berhubungan
dengan pekerjaan adalah karakteristik pekerjaan, kondisi kerja, serta rekan kerja.
Sementara itu faktor karakteristik personal adalah jenis kelamin, usia, pendidikan,
kepribadian, masa kerja, serta faktor etnis dan kebudayaan (Triana, 2006).
Manusia sebagai makhluk sosial dituntut kemampuannya untuk dapat
berhubungan dengan orang lain. Hubungan antar personal merupakan salah satu ciri
khas kualitas kehidupan manusia. Karena menjadi kodrat manusia adalah makhluk
monodualisme yang memiliki sifat makhluk individu dan sosial. Dalam banyak hal
individu memerlukan keberadaan orang lain untuk saling memberi penilaian,
membantu, mendukung dan bekerjasama dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Bantuan kelompok individu terhadap individu lain atau kelompok lain di sebut
dukungan sosial (Asputri, 2005). Hubungan antar personal yang menimbulkan
seseorang membutuhkan pertolongan, dukungan, dan kerja sama dengan orang lain
akan memberikan dukungan sosial pada individu yang bersangkuta.
Menurut Johnson dan Johnson (Dayakisni dan Huddaniah, 2003) dukungan
sosial adalah pertukaran sumber yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
serta keberadaan orang-orang yang mampu diandalkan untuk memberi bantuan,
semangat, penerimaan dan perhatian. Lingkungan kerja merupakan salah satu
penyebab dari keberhasilan dalam melaksanakan suatu pekerjaan tetapi juga dapat
menyebabkan suatu kegagalan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan. Karena
lingkungan kerja dapat mempengaruhi pekerja, terutama lingkungan kerja yang
bersifat psikologis sedangkan pengaruh itu sendiri dapat bersifat positif dan dapat
pula bersifat negatif.
Berdasarkan hasil wawancara pra penelitian dengan salah satu karyawan di
Primer Koperasi Karyawan atau disingkat Primkopkar Perhutani KPH Balapulang,
Tegal dapat diketahui bahwa sebagian besar karyawan kurang bekerja sama dalam
menjalankan tugasnya. Apabila ada salah satu karyawan yang kesulitan kerja dan
meminta bantuan karyawan lain, sikap karyawan yang dimintai bantuan terlihat
malas untuk membantu. Selain itu, hubungan sosial karyawan kurang harmonis,
terlihat sikap para karyawan yang suka berkelompok tidak menyatu bersama-sama
dengan karyawan lainnya. Atas dasar wawancara dan observasi ini dapat diketahui
bahwa antara karyawan satu dengan lainnya kurang mendukung. Dukungan sosial
kerja yang berasal dari teman kerja dapat memotivasi karyawan dalam
meningkatkan kerja dan menimbulkan kepuasan kerja.
Berdasarkan uraian tersebut di atas timbul permasalahan yaitu kepuasan kerja
yang dimiliki karyawan cenderung menurun, hal ini dapat diketahui perilaku
karyawan yang kurang bertanggung jawab dengan pekerjaannya, seperti tidak masuk
kerja tanpa alasan, datang terlambat, membuat laporan kerja tidak tepat waktu, dan
memberikan pelayanan yang kurang memuaskan pada masyarakat sebagai anggota.
Di sisi lain, dalam kegiatan kerja karyawan kurang mendapat dukungan teman kerja.
Karena masing-masing individu mementingkan kepentingan pribadinya. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan masalah, yaitu: “Apakah ada hubungan
antara dukungan sosial teman sekerja dengan kepuasan kerja?”
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian, yaitu ingin mengetahui:
1. Hubungan antara dukungan sosial teman sekerja dengan kepuasan kerja.
2. Tingkat dukungan sosial teman sekerja.
3. Tingkat kepuasan kerja pada karyawan.
4. Besar sumbangan efektif dukungan sosial teman sekerja terhadap kepuasan
kerja.
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Bagi Perusahaan (Koperasi)
Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan ataupun langkah-
langkah yang berhubungan dengan tercapainya tujuan perusahaan. Khususnya dalam
kepuasan kerja karyawan perlu mendapat perhatian pimpinan perusahaan agar
karyawan dapat meningkatkan produktivitas. Selain itu, perusahaan perlu membina
lingkungan kerja yang harmonis antar karyawan sehingga karyawan satu dengan
lainnya saling memberikan dukungan sosial untuk kemajuan perusahaan.
2. Bagi pegawai koperasi
Agar dapat mengetahui pentingnya dukungan sosial teman sekerja di koperasi
sehingga tercipta lingkungan kerja yang harmonis antar karyawan. Selain itu,
pegawai koperasi mampu mengetahui tingkat pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki sehingga saat bekerja dan menerima upah dari perusahaan dapat merasakan
kepuasan kerja dan pegawai koperasi dapat meningkatkan kinerjanya dengan baik.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti lain dapat dijadikan referensi untuk meningkatkan
pengetahuan tentang ada hubungan antara dukungan sosial teman sekerja dengan
kepuasan kerja pada karyawan sehingga dalam penelitian selanjutnya dan yang
berhubungan dengan judul penelitian dapat lebih baik.

Selengkapnya.....

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KENAKALAN REMAJA
PELAKU TATO

Oleh: Bonnie Suryaningsih F100020086

ABSTRAKSI
Kenakalan remaja merupakan fenomena nyata yang sering terjadi terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya bahkan di Surakarta. Bentuk kenakalan remaja yang biasa dilakukan adalah berbohong, membolos, kabur dan menentang orang tua, bersenjata tajam, bahkan melakukan perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan yang melanggar hukum, seperti pembunuhan atau perampokan sampai berpakaian tidak pantas dan berpenampilan fisik berbeda dari para remaja lainnya termasuk memakai tindik dan tato. Para remaja bertato ini mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindak kenakalan, meskipun tidak selalu sampai melakukan perbuatan kriminal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dengan kenakalan pada pelaku tato remaja. Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara konsep diri dengan kenakalan pada remaja bertato. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja pelaku Tato di Kota Surakarta. Subyek tryout dalam penelitian ini adalah anggota kelompok studio tato Bekas Luka Solo yang berjumlah 43 orang. Sedangkan jumlah subyek untuk penelitian adalah anggota kelompok Semangat Djoeang yang berjumlah 17 orang, kelompok studio tato Lucky berjumlah 21 orang, dan kelompok pelajar pemilik tato yang berjumlah 25 orang, sehingga jumlah keseluruhan subyek penelitian adalah 63 orang. Adapun karakteristik subjek penelitian adalah pria dan wanita, berusia antara 12 – 20 tahun, dan bertempat tinggal di Kota Solo. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive insidental sampling. Alat ukur dalam pengumpulan data menggunakan skala konsep diri dan skala kenakalan remaja.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai koefisien korelasi r = 0,492 dengan p = 0,000 (p < 0,01). Artinya, ada hubungan positif yang sangat signifikan antara konsep diri dengan kenakalan remaja pelaku tato. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan semula ditolak. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah hipotesis ditolak. Hal ini berarti variabel konsep diri tidak dapat dijadikan sebagai prediktor untuk memprediksikan atau mengukur variabel kenakalan remaja khususnya pada pelaku tato. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri atau disebut dengan identitas ego (ego Identity). Ini terjadi karena masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya mereka sudah bukan anak-anak lagi melainkan sudah seperti orang dewasa, tetapi jika mereka diperlakukan sebagai orang dewasa, ternyata belum dapat menunjukkan sikap dewasa. Masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang tersebut pada kondisi tertentu akan menjadi perilaku yang mengganggu (Ekowarni, 1993). Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan kenakalan remaja. Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Perspektif perilaku menyimpang dalam masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang. Latar belakang perilaku menyimpang dapat dibedakan dari adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada, perilaku menyimpang yang disengaja, bukan karena pelaku tidak mengetahui aturan. Becker (dalam Maria, 2007) mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Perbuatan menyimpang lebih disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang yang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang. Kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 21 tahun sangat beragam mulai dari perbuatan yang amoral dan anti sosial tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Bentuk kenakalan remaja tersebut seperti: kabur dari rumah, membawa senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalan, sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum seperti; pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang, dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan media-media masa (Amalia, 2005). Kasus kenakalan remaja sering kali muncul dalam media massa, dimana sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan. Salah satu wujud dari kenakalan remaja adalah tawuran yang dilakukan oleh para pelajar atau remaja. Data di Jakarta tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus (Tambunan, 2001). Lebih jauh dijelaskan bahwa dari 15.000 kasus narkoba selama dua tahun terakhir, 46 % di antaranya dilakukan oleh remaja, selain itu di Indonesia diperkirakan bahwa jumlah prostitusi anak juga cukup besar. Departemen Sosial memberikan estimasi bahwa jumlah prostitusi anak yang berusia 15-20 tahun sebanyak angka 30% dari 40-150.000, dan Irwanto menyebut angka 87.000 pelacur anak atau 50% dari total penjaja seks (Dep. Sos, 2004). Data UNICEF Indonesia (2009) berdasarkan dari data kepolisian menyebutkan bahwa pada tahun 2000 terdapat 11.344 kasus kenakalan remaja. Bulan Januari sampai dengan Mei 2002 mengalami kenaikan sebanyak 4.325 kasus kenakalan remaja. Kenakalan yang terdeteksi oleh Depsos dan lembaga kemasyarakatan yang dilakukan oleh orang dewasa dan anak remaja mengalami kenaikan sebesar 84,2%. Data ini belum termasuk data yang ada di Polsek, Polres, Polda, dan Mabes. Selama periode Januari dampai dengan Mei 2002, terdapat 9.465 anak remaja yang terdaftar di panti rehabilitasi seperti Depsos dan lembaga kemasyarakatan. Terjadinya kenakalan remaja pada umumnya tidak disebabkan oleh karena sebab yang tunggal, namun karena sebab yang kompleks dan beruntun. Sebab yang kompleks berarti bahwa suatu sebab dapat menimbulkan sebab yang lain dan sebab-sebab itu berkaitan antara satu dengan yang lainnya (Walgito, 1989). Faktor yang mempengaruhi perilaku kenakalan pada remaja adalah konsep diri yang merupakan pandangan atau keyakinan diri terhadap keseluruhan diri, baik yang menyangkut kelebihan maupun kekurangan diri sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang ditampilkan. Shavelson dan Roger (1982) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk dan berkembang berdasarkan pengalaman dan inteprestasi dari lingkungan, penilaian orang lain, atribut, dan tingkah laku dirinya. Bagaimana orang lain memperlakukan individu dan apa yang dikatakan orang lain tentang individu akan dijadikan acuan untuk menilai dirinya sendiri. Masa remaja merupakan saat individu mengalami kesadaran akan dirinya tentang bagaimana pendapat orang lain tentang dirinya. Kesadaran dalam diri remaja timbul karena kemampuan kognitif remaja sudah mulai berkembang, sehingga remaja tidak hanya mampu membentuk pengertian mengenai apa yang ada dalam pikirannya, namun remaja akan berusaha pula untuk mengetahui pikiran orang lain tentang dirinya dapat berpengaruh pada bagaimana individu menilai dirinya sendiri. Conger (1997) menyatakan bahwa remaja nakal biasanya mempunyai sifat memberontak, ambivalen terhadap otoritas, mendendam, curiga, implusif dan menunjukan kontrol batin yang kurang. Sifat-sifat tersebut mendukung perkembangan konsep diri yang negatif. Rais (1983) mengatakan bahwa remaja yang didefinisikan sebagai anak nakal biasanya mempunyai konsep diri lebih negatif dibandingkan dengan anak yang tidak bermasalah. Remaja yang memiliki konsep diri negatif biasanya tidak berfikir panjang jika ingin melakukan sesuatu tetapi lebih banyak menggunakan emosi. Konsep diri pada hakikatnya merupakan suatu pengalaman individu yang sifatnya subyektif yang diperoleh individu dari hasil interaksi individu dengan individu yang lain (Gunarsa, 1988). Pada kenyataannya, tidak setiap remaja dapat memenuhi kebutuhan akan konsep dirinya, sehingga konsep diri remaja tersebut menjadi negatif. Konsep diri yang negatif mempengaruhi tingkah laku yang bertentangan, berlawanan dengan norma-norma dalam masyarakat. Remaja dengan konsep diri negatif akan menunjukkan kondisi psikis dan sosial yang negatif pula, yang meliputi kecemasan, depresi, dan kenakalan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Semarang, Hariyadi (dalam Amalia, 2005) mengatakan bahwa bentuk-bentuk kenakalan remaja sangat beragam; bohong, membolos, kabur dan menentang orang tua, keluyuran, bersenjata tajam, pergaulan yang tidak baik, berpesta dan berhura-hura, membaca pornografi, mengkompas, melacurkan diri, sampai berpakaian tidak pantas dan berpenampilan fisik berbeda dari para remaja lainnya termasuk memakai tindik dan tato. Marianto, kepala peneliti di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang secara konsisten dan kontinyu melakukan penelitian mengenai tato di Indonesia khususnya Yogyakarta mengatakan bahwa kedudukan tato di Indonesia sudah bergeser. Mereka mengatakan bahwa tato yang pada sekitar tahun 1983- 1984 diidentikkan dengan kriminalitas, saat ini (era tahun 2000-an) jauh lebih baik kedudukannya di mata masyarakat menjadi “kenakalan atau penyimpangan sosial anak muda perkotaan yang dapat dimaafkan” dan identik dengan “semangat pemberontakan remaja” meskipun belum sepenuhnya dapat diterima sebagai salah satu cabang seni murni (Marianto, 2001). Keterangan dari Marianto ini sesuai dengan pra penelitian yang dilakukan peneliti terhadap pemakai tato di Kota Surakarta yang mengatakan bahwa mereka mentato tubuh hanya untuk sekedar gaya, mengikuti tren mode, serta bisa masuk dan diterima di lingkungan pergaulan mereka. Berdasar pra survey pula peneliti mengetahui bahwa para remaja bertato ini mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindak kenakalan, meski tidak sampai pada tingkat kejahatan dengan pelanggaran hukum yang berat. Bentuk kenakalan yang mereka lakukan adalah membolos, ngebut di jalan raya, berpenampilan berbeda dari kebanyakan remaja lain, merokok, dan mencoba minuman beralkohol dengan kandungan alkohol ringan. Penelitian mengenai hubungan antara konsep diri dengan kenakalan pada pelaku tato remaja, sejauh yang diketahui penulis belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Peneliti sejenis yang pernah dilakukan adalah penelitian oleh Booth et.al. (2008) tentang perbedaan kenakalan yang dilakukan anak laki-laki dan perempuan. Penelitian ini menunjukkan perbedaan perlakuan berdasarkan gender sejak anak-anak dan pengawasan yang diperolehnya. Hasilnya adalah anak perempuan memiliki kontrol diri yang lebih kuat dari pada anak laki-laki. Penelitian memperlihatkan laki-laki lebih signifikan melakukan kenakalan setelah self dan sosial kontrolnya juga diteliti. Itulah yang menyebabkan anak laki-laki lebih nakal daripada anak perempuan jika dilihat dari sudut pandang kontrol diri. Penelitian oleh Rachim dan Nashori (2007) tentang Nilai Budaya Jawa dan Perilaku Nakal Remaja Jawa yang ditujukan untuk mengetahui tinggi rendahnya pemahaman terhadap nilai budaya Jawa pada kalangan remaja Jawa yang berakibat pada meningkatnya perilaku-perilaku menyimpang pada remaja Jawa. Penelitian tersebut meyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara nilai budaya Jawa dengan perilaku nakal remaja Jawa. Semakin tinggi sikap dan perilaku yang sesuai dengan budaya Jawa maka semakin sedikit perilaku nakal yang ada pada remaja Jawa. Sebaliknya semakin sedikit sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai budaya Jawa maka semakin tinggi tingkat perilaku nakal yang ada pada remaja Jawa. Penelitian oleh Ulfah (2007) tentang Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri terhadap Kecederungan Kenakalan Remaja yang ditujukan untuk mengetahui peran persepsi keharmonisan keluarga dan konsep diri terhadap kecenderungan kenakalan remaja. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ada peran persepsi keharmonisan keluarga dan konsep diri terhadap kecenderungan kenakalan remaja. Konsep diri sangat mempunyai peranan penting dimana anak mulai mencari jati diri pada masa ini sehingga konsep dirinya belum begitu jelas atau masih labil, apabila remaja mempunyai konsep diri yang positif maka ia akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. Adapun Armstrong dan McConnel (dalam Lynne dan Roxanne, 2002) menemukan bahwa dari 624 sampel anak muda pelaku tato yang ditelitinya hampir semua termotivasi melakukan tato karena ingin mendapatkan citra positif dari lingkungan dan menemukan identitas diri. Mereka juga mendapatkan angka yang kurang untuk skala konsep diri. Berdasarkan hasil penelitian, data, dan pra survey di atas, yang menyebutkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta dan Medan sering terjadi kenakalan remaja, termasuk kenakalan yang dilakukan oleh remaja bertato di mana remaja bertato ini sering diidentikkan dengan remaja yang memiliki konsep diri yang rendah. Peneliti tertarik melakukan penelitian ini di Kota Surakarta. Selain karena di Kota Surakarta ditemukan banyak remaja yang menggunakan tato, juga karena menurut keterangan beberapa kelompok remaja di Kota Surakarta yang mengatakan meskipun remaja bertato biasanya diidentikkan dengan kenakalan dan percaya diri (konsep diri) yang rendah, namun pada kenyataannya di sekitar mereka justru banyak remaja bertato yang bersekolah di sekolah favorit, berprestasi akademis, maupun berprestasi di bidang yang lain seperti seni dan olah raga. Berdasarkan pada uraian latar belakang penelitian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara konsep diri dengan kenakalan remaja pelaku tato. B. Tujuan Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali, menghubungkan dan meramalkan suatu kejadian. Setiap penelitian yang dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui hubungan antara konsep diri dengan kenakalan remaja pelaku tato. 2. Mengetahui peran konsep diri terhadap kenakalan remaja pelaku tato. 3. Mengetahui tingkat konsep diri dan kenakalan remaja pelaku tato. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini secara teoritis diharapkan mampu memberikan gambaran dan kontribusi keilmuan bagi psikologi kepribadian dan khususnya psikologi sosial. Penelitian ini sebagai bahan kajian ilmiah tentang suatu gejala sosial mengenai kenakalan remaja pelaku tato dan aspek-aspek kepribadian bagi pelakunya yaitu konsep diri. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang hubungan antara konsep diri dan kenakalan remaja pelaku tato, sehingga dari hasil pengujian hipotesis ini dapat menjadi bahan informasi dan introspeksi bagi para remaja tentang bagaimana hubungan pembentukan konsep diri dan kenakalan remaja pada dirinya. Penelitian ini diharapkan juga mampu memberi gambaran aspek sosial dan budaya dan dampaknya, baik bagi pelaku maupun bagi masyarakat agar lebih proporsional dalam menilai perilaku kenakalan remaja pelaku tato.
Selengkapnya.....

Kecenderungan Bunuh Diri Pada Penderita Depresi
Di Tinjau Dari Interaksi Sosial Yang Negativ Sebagai Setressor

ABSTRAKSI
Bentuk masalah sosial yang dihadapi di masa sekarang, dan merupakan bentuk dari disorganisasi sosial yaitu, tingginya tingkat bunuh diri di suatu daerah atau negara. Perilaku bunuh diri adalah kepanikan dan letupan sesaat, atau sebuah dorongan yang tiba-tiba, dimana pelakunya berada dalam emosi yang sangat memuncak sebelum akhirnya dia mengakhiri hidupnya. Fenomena bunuh diri dapat dipandang sebagai manifestasi dari tekanan sosial serta interaksi yang tegang dari konflik interpersonal individu terhadap sosial-masyarakat, sehingga mengakibatkan gangguan psikologi yang dapat mengantarkannya kepada prilaku atau kecenderungan bunuh diri.
Studi ini melihat fenomena psikologis pada penderita depresi yang memiliki kecenderungan bunuh diri ditinjau dari interaksi sosial yang negatif, dimana berdasarkan paradigma interaksi sosial negatif yang telah ada, interaksi sosial dapat mengakibatkan frustasi dan konflik yang diikuti dengan munculnya gangguan prilaku atau psikisnya. Dengan pendekatan fenomenologi, peneliti sengaja mengungkap informasi berdasarkan persepsi penderita depresi dari aspek-aspek interaksi sosial yang negatif dalam mencari penjelasan rasional dibalik timbulnya gangguan depresi dan kecenderungan bunuh diri yang muncul pada penderita depresi.
Informan dalam penelitian ini berjumlah lima orang yang terdiri dari pria dan wanita dewasa. Mereka merupakan pasien rawat jalan maupun rawat inap yang mengalami gangguan depresi berat maupun depresi berat dengan gejala psikotik di rumah sakit jiwa, Bandung dan sedang menjalani pengobatan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan tes psikologi. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah analisis induktif deskriptif.
Berdasarkan data hasil penelitian diperoleh penjelasan bahwa stressor interaksi sosial negatif yang dialami oleh penderita depresi adalah adalah stress (stressor) yang muncul dari hubungan interaksi penderita depresi, yang secara kausal mendatangkan atau memunculkan dampak psikis yang sangat kronis dan traumatis terhadap perilaku dan kejiwaannya, sehingga pada gilirannya menambah resiko munculnya atau meningkatnya gangguan. Munculnya gangguan depresi pada penderita depresi merupakan gangguan mental atau sindrom yang disebabkan oleh stressor yang secara reaktif tidak terselesaikan secara baik dan tuntas, serta ditimbun untuk waktu yang lama. Adapun kronologis yang mendorong penderita depresi untuk melakukan bunuh diri adalah dikarenakan tekanan-tekanan dan kesulitan dari interaksi sosial yang dilakukannya, rumitnya permasalahan yang dihadapi, dan pengaruh lingkungan (seperti; kurangnya dukungan sosial dan konteks sosial). Dari keadaan tersebut, muncul respon-respon negatif dari pengaruh psikis yang mendorongnya untuk melakukan tindakan subtitusi dalam meredam ketegangan dan mencapai kepuasan sebagai mekanisme pertahanan psikis, sehingga menjauhkannya dari pemecahan masalah dan disintegrasi antara dirinya dengan kenyataan. Kemudian terjadi ledakan emosi dari ketegangan dan aktivitas mental yang tidak disadari penderita depresi, dimana gejala psikotik dan psikosomatik dari gangguan depresi yang dialaminya sebagai faktor penghantar.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan modernisasi telah meliputi setiap pelosok negeri, propinsi, kota,
bahkan sampai ke desa-desa terpencil, sehingga mempengaruhi setiap dimensi
kehidupan individu dan masyarakat. Pengaruh dari nilai-nilai modern tersebut,
menghasilkan berbagai manfaat dan kemajuan suatu daerah yang membuat
peradaban dan tatanan masyarakat lebih praktis dan efektif. Namun, dari cepatnya
kemajuan modernisasi pada suatu daerah dan manfaatnya bagi manusia, ternyata
modernisasi yang begitu besar pengaruhnya di suatu daerah itu, memunculkan
suatu permasalahan yang cukup besar dan sulit di dalam kehidupan individu dan
masyarakat disana, khususnya permasalahan-permasalahan yang muncul dari hasil
kemajuan moderenisasi tersebut, baik berupa rendahnya ruang kerja yang
disediakan bagi individu dikarenakan banyaknya ruang kerja yang telah
tergantikan dengan mesin dalam dunia industri, atau mudahnya informasi dan
komunikasi yang tidak terfilterisasi dari nilai-nilai budaya dan gaya hidup yang
berasal dari negara atau daerah yang notabene mempunyai nilai kebudayaan yang
sekuler, sehingga mempengaruhi pranata kehidupan individu dan masyarakat.
Pengaruh tersebut mempunyai dampak yang cukup luas dalam kehidupan
bermasyarakat, yang bila ditinjau secara epidemiologi sosial merupakan gejala
dari perubahan sosial dan kebudayaan. Gilin-gilin (Soekanto, 2002) menyebutkan
bahwa perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang diterima,
1
2
baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material,
komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-
penemuan baru dalam masyarakat, menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang
terjadi dalam pola-pola kehidupan dan prilaku manusia yang terjadi karena sebab-
sebab interen maupun eksteren.
Pasalnya, perubahan sosial mempunyai dampak yang positif bagi
lingkungan individu dan sosial, tetapi secara aplikatif diketahui bahwa dalam
proses perubahan sosial dapat mempunyai 2 kutub yang saling berlawanan. Salah
satu kutub akan mendorong kepada nilai positif, yaitu terorganisasinya suatu
masyarakat ke arah yang lebih baik, atau sebaliknya akan mengarahkan ke arah
yang negatif, yaitu disorganisasinya suatu masyarakat yang mengakibatkan
dampak permasalahan terhadap dimensi kehidupan. Salah satu bentuk masalah
yang dihadapi di masa sekarang, dan merupakan bentuk dari prilaku-prilaku
individu yang terpecah (disorganisasi sosial) yaitu, tingginya tingkat bunuh diri di
suatu daerah atau negara.
Kartono (1999) menyebutkan individu terpecah adalah individu yang puas
dalam usaha pembenaran diri dan pendefinisian diri sendiri, sehingga akan merasa
tidak bahagia dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Selain
itu, individu akan semakin tidak bahagia atau sengsara apabila tidak ada
kongruensi atau keseimbangan antara pendefenisian diri dengan hukuman sosial,
antara peranan yang dituduhkan kepada dirinya dan peranan sosial menurut
interpretasinya sendiri. Jadi prosesnya berlangsung sebagai bentuk interaksi
3
antara faktor-faktor subyektif dengan faktor-faktor obyektif. Proses yang
demikian sering kali berlangsung melalui banyak konflik batin dan krisis jiwa.
Pada kasus-kasus yang ekstrim berlangsunglah ketidakmampuan
penyesuaian diri secara total, ada personal mal-adjusment dan kepatahan jiwa
secara total atau "complete breakdown", konflik-konflik hebat disebabkan oleh
pembandingan antara hukuman sosial dan definisi diri yang membelah kesatuan
kepribadian, lalu mengakibatkan disintegrasi total, timbullah kemudian aku-aku
sosial yang saling bertentangan, atau pribadi menjadi terintegrasi berdasarkan atas
delusi-delusi, sehingga menelorkan tingkah laku yang aneh, kriminal dan sangat
membahayakan umum. Ada juga pribadi-pribadi yang tidak mampu mengadakan
penyesuaian diri/adaptasi terhadap lingkungannya, disebabkan oleh alasan ditolak
oleh masyarakat untuk menjalankan peranan-peranan yang sangat
didambakannya, kemudian melakukan bunuh diri sebagai jalan keluar. (Kartono,
1999)
Bunuh diri memang bukan kisah baru dalam masyarakat modern saja.
Kesediaan ahli filsafat Socrates untuk minum racun, merupakan tindakan bunuh
diri yang dilakukan secara sadar. Walau ada hubungan dengan hukuman mati
yang dijatuhkan padanya. Socrates memilih mati dengan cara minum racun
daripada mencabut keyakinannya. Dalam cerita wayang yang bersumber dalam
kitab Ramayana dan Mahabrata, dapat kita temukan tokoh Kumbokarno yang
mati bunuh diri dengan cara nekat berperang. Begitu pula tradisi Harakiri bangsa
Jepang, melakukan bunuh diri dengan memasukkan pisau ke arah jantungnya,
sebagai bentuk sikap kesatriaan dalam membela kehormatan dan terlepas dari
4
dosa. Pada masyarakat moderen sekarang, cara dan tujuan bunuh diri pun
beragam. Ada bunuh diri dengan membakar diri, meminum racun, menjatuhkan
diri dari bangunan tinggi atau hanya dengan gantung diri.
Dari tahun ke tahun, kasus kematian karena bunuh diri di berbagai negara
pun meningkat. Meskipun angka kematian yang terjadi masih jauh bila
dibandingkan China atau Amerika serikat ((“Mengapa Remaja”, 2004), (“Suasana
Hati”, 2005), (“Tiap 4 menit”, 2006)). Di beberapa daerah di Indonesia kasus
bunuh diri sudah sangat memperihatinkan, keadaan ekonomi dan sosial-politik
yang kian terpuruk, kemiskinan merajalela, dan sikap Agnotisme terhadap agama
maupun norma, menjadikan individu-individu terdorong melakukan bunuh diri.
Tidak mendapatkan jalan keluar dari permasalahannya, maka bunuh diri dianggap
jalan keluar yang menjanjikan baginya untuk keluar dari permasalahan tersebut.
Seperti hasil wawancara peneliti terhadap salah satu informan (SN) yang
pernah melakukan percobaan bunuh diri, serta mengutarakan tentang kondisi
dirinya dan penyebab dari tindakannya tersebut. Diketahui bahwa (SN)
melakukan tindakan tersebut diawali dari perasaan yang dialaminya, ketika
dirinya merasa tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang saat itu
sangat membutuhkan biaya sekolah anaknya yang pertama untuk memasuki
sekolah dasar.
"Saya melakukan bunuh diri ini, karena saya waktu itu sangat membutuhkan
biaya anak untuk masuk SD. Namun, karena sehari-hari saya Cuma bekerja
sebagai tukang ojek, padahal untuk isi bensin dan biaya makan anak-istri aja
udah pas-pasan, maka saya sulit sekali untuk mengumpulkan uang untuk biaya
masuk anak, apalagi untuk biaya pendaftaran dan uang kaos, saya sangat
kesulitan."(SN, W1,6,8,10, 1/9/06, RMH)
5
Keadaan ekonomi SN yang sangat sulit, serta kebutuhan keluarga yang
mendesak, menjadikan SN merasa tertekan dan bingung dalam mencari jalan
keluar dari permasalahannya. Walaupun SN berusaha mencari pendapatan dari
pekerjaan lain, namun hal itu belum mencukupinya, bahkan dari hari ke hari SN
merasa putus asa dan kalut dalam berpikir.
"Saya sudah usaha berbagai cara untuk bisa cari pendapatan lain, tapi
hasilnya belum bisa mencukupi. Saya coba untuk kerja serabutan selain dari ojeg,
seperti mengumpulkan besi atau pelastik bekas, tapi hal itu masih belum bisa
untuk mencukupi biaya anak saya itu, saya pun jadi bingung dan kalut" (SN, W1,
12-13, 15, 1/9/06, RMH)
SN juga pernah mencoba meminjam uang dari beberapa orang temannya
dan saudara dari pamannya, tetapi usaha tersebut hanya menjadikannya lebih
tertekan, karena merasa dipermalukan dan dihardik, sehingga bukan mendapat
uang, tetapi hanya cercaan yang didapat. Dengan perasaan bingung dan kalut
tersebut, menjadikan SN tidak selera makan, susah tidur dan suka marah-marah,
bahkan terkadang tidak pulang dan tidur di pinggir jalan.
"Saya pernah coba pinjam ke teman dan sepupu dari paman saya, tapi
bukan dapat uang, eh.. malah dimarahin dan dikatakan bahwa saya itu pemalas.
Yaa.. dari kejadian itu pikiran saya makin gak karuan, pengennya marah-marah,
kadang suka pusing, terus gak tau kenapa sejak itu saya pengennya sendiri dan
kadang tidur di jalan sampai pagi." (SN, W1, 25-26, 29, 1/9/06, RMH)
Dari pengalaman tersebut, SN mulai merasa sendiri dan takut kalau melihat
anak dan istrinya, karena SN merasa kalau bertemu mereka, dia membayangkan
dirinya seperti selalu akan dimintai uang. Sampai suatu saat SN mencoba
melakukan percobaan bunuh diri dengan menggantung diri dengan seutas tali
tambang dari "tali sumur”. Namun, selang beberapa menit istrinya yang melihat
kejadian tersebut berteriak dan mencoba melepaskan tali yang digantung, dan
6
datang beberapa orang dari tetangganya yang mendengar untuk turut menolong,
kemudian SN dilarikan ke rumah sakit Sarjito, Yogyakarta.
"emm.. Ya lama-kelamaan saya merasa bosan hidup dan ingin lepas dari
permasalahan ini. Soalnya kalau setiap saya melihat anak dan istri di rumah,
saya selalu membayangkan kalau mereka pasti akan menagih biaya sekolah anak
saya itu, karena waktu masuk sekolah udah dekat (W1, 35-36). Pernah suatu hari
saya merasakan pusing yang luar biasa, seakan-akan ada suara yang berisik di
sekitar saya, entah mengapa pada saat itu saya merasa sesak dan ingin rasanya
untuk bunuh diri. yaa.. waktu itu saya berjalan kebelakang untuk mandi, tapi
seketika saya melihat tali tambang yang ada di sumur, seketika itu juga ada
dorongan dalam diri saya untuk mengambil tali itu dan saya lupa dan tidak sadar
lagi. " (SN, W1, 43, 45 48, 50, 1/9/06, RMH)
Wawancara diatas adalah keterangan yang didapat dari salah satu informan,
yang menceritakan pengalamannya saat melakukan tindakan bunuh diri, dengan
penyebab dari stressor interaksi sosial yang negatif, berupa kesulitan ekonomi dari
krisis ekonomi dan naiknya harga BBM yang menjadikan tingginya tuntutan
kebutuhan serta penolakan orang lain dari teman dan saudara-saudaraya, maupun
kurangnya dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya.
Kepala Poli Kesehatan Jiwa RS Sardjito, Yogyakarta menyatakan, sejak
krisis ekonomi 1997 kemudian terus berkelanjutan dengan kebijakan kenaikan
bahan bakar minyak secara berulang, banyak masyarakat merasakan hilangya
kesempatan kerja, meraih pendidikan yang baik, pelayanan kesehatan bermutu,
dan kesejahteraan hidup bukannya meningkat malahan menurun. Dalam kurun
waktu 3-6 enam bulan mendatang, diperkirakan bakal terjadi ledakan pasien
akibat gangguan psikologis atau kejiwaan. Saat ini, pascakenaikan harga BBM
jumlah pasien di Poli Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta
mengalami peningkatan hingga 100 persen. Prof. Dr. Suwadi mengatakan hal itu
saat ditemui di ruang kerjanya, Jum'at (25/08/06).
7
"Saat ini, rata-rata setiap hari pasien yang datang ke poli mencapai 15 - 20
orang. Sedangkan sebelumnya, antara 5-10 pasien dan sudah 3 orang yang telah
melakukan percobaan bunuh diri" (“Harga BBM naik”, 2006).
Dari kalangan para sosiolog, prilaku bunuh diri dianggap sebagai
manifestasi dari hubungan interaksi dan efek dari kegagalan individu dalam
hidup bermasyarakat. Pandangan yang berawal dari Durkheim menilai bahwa
bunuh diri merupakan tindakan yang dilakukan seseorang dikarenakan
ketidakmampuan individu dalam beradaptasi dan berintegrasi dengan
masyarakatnya, kemudian dari prilaku tersebut terjadi suatu masalah pada
kehidupan individu, sehingga memunculkan masalah bagi mental dan emosinya.
Kondisi tersebut muncul dari gejala yang diakibatkan kurangnya perhatian,
merasa tidak dimengerti dan perilaku negatif yang memicu munculnya gangguan
tersebut, dengan sebab secara khusus oleh faktor interaksi yang bertentangan,
karena adanya ancaman dan tekanan dari perilaku yang tidak stabil dan
berlawanan (O'Connor & Sheely, 2000). Adapun para ahli psikologi dan klinisi
memandang bahwa, prilaku bunuh diri adalah kepanikan dan letupan sesaat, atau
sebuah dorongan yang tiba-tiba. Antara terpicu dan bertindak hanya berlangsung
sekejap, dalam hitungan detik, menit, atau jam, namun tidak dalam hitungan hari.
Orang berada dalam emosi yang sangat memuncak sebelum akhirnya dia
mengakhiri hidupnya. Jarang sekali orang sampai berpikir dua sampai tiga kali
sebelum bunuh diri, kecuali ada obsesi kompulsif yang terus berulang. Lalu ia
terobsesi untuk mengakhiri hidupnya (Mukadis, 2004).
Maris (2002) menyatakan, setelah mendata gejala yang umum terjadi pada
pelaku bunuh diri. Factor pencetus yang mungkin terjadi adalah distal chronic
8
trait atau proximal acute state. Susahnya mencari jawaban pencetus bunuh diri,
dikarenakan banyaknya prediksi yang ada. Sebagaimana yang terjadi di Atlanta,
Amerika Serikat, orang kulit putih cenderung lebih tinggi untuk melakukan bunuh
diri sampai dengan 90 % dari orang dewasa yang pernah melakukan bunuh diri,
dan setelah didiagnosis dengan DSM IV, diindikasikan dari pelaku bunuh diri
tersebut menderita depresi. 15 % dari penderita mayor depresi yang di rawat di
rumah sakit pernah melakukan percobaan bunuh diri. Adapun penderita Bipolar
disorder dengan tipe schizophrenia dapat pula melakukan tindakan bunuh diri
pada saat mengalami periode psikotik. Akan tetapi, dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan tekhnologi di dunia akademik. Telah dilakukan beberapa
penelitian diluar negeri yang mencoba mengkaji lebih dalam tentang prilaku atau
kecenderungan bunuh diri dengan pendalaman dari beberapa informasi yang
terkumpul dari setiap bidang ilmu dan kajian. Ditemukan dari penelitian-
penelitian dan literatur, serta hasil pengkajian dari fakta dan dokument
dilapangan. Bahwasanya fenomena bunuh diri dapat dipandang sebagai
manifestasi dari tekanan sosial serta interaksi yang tegang, dari konflik
interpersonal maupun sosial-masyarakat, sehingga mengakibatkan gangguan
psikologi yang dapat mengantarkan kepada prilaku atau kecenderungan bunuh
diri, ditambah lagi dengan keadaan lingkungan fisik maupun psikis individu
dengan penyesuaian yang negatif (unwholesome), menjadikannya sebagai suatu
interaksi sosial yang negatif.
Murray dkk (2001) meneliti hubungan kecemasan sosial dengan depresi
yang menunjukan adanya hubungan antara kedua variabel tersebut pada anak-
9
anak dan orang dewasa, dimana 4 sampai 8 persen mengalami gangguan depresi
dari lingkungan sosialnya. Dimana dari beberapa laporan penelitian disebutkan
gangguan depresi yang dialami oleh individu menderita gangguan depresi berat.
Krause dan Shaw (2002) meneliti 605 orang untuk menemukan hubungan
interaksi sosial yang negatif dengan ketidakmampuan fungsi diri. Menyatakan
bahwa, interaksi sosial yang dilakukan oleh individu akibat tidak melakukan
hubungan interpersonal dengan baik dan dukungan sosial yang cukup, dapat
mendorong individu mengalami tekanan dari lingkungan sosialnya dan
berdampak pada timbulnya gangguan depresi akut. Adapun penelitian Okun dan
Keith menyatakan hubungan interaksi sosial berkaitan erat dengan depresi yang
muncul akibat tekanan psikologi dan masalah sosial yang dihadapi seseorang.
(Liang, Krause Dkk, 2001). Meskipun berdasarkan beberapa penelitian
menyebutkan bahwa interaksi sosial negatif yang menyebabkan ketegangan yang
sangat kronis (chronic strain) pada individu, manifestasinya akan nampak setelah
beberapa waktu kemudian (Krause dan Shaw, 2002)
Dari penelitian yang dilakukan Gordon Dkk (1997), menemukan satu
konsep yang menyatakan bahwa interaksi sosial yang negatif sangat
mempengaruhi timbulnya depresi yang dihasilkan dari stressor, oleh karena itu,
hasil penelitiannya membuktikan frekwensi interaksi sosial yang negatif
berhubungan erat dengan kepribadian individu, frekwensi interaksi sosial yang
negatif berhubungan erat dengan pemicu timbulnya depresi, frekwensi interaksi
sosial yang negatif berhubungan erat dengan kepribadian individu yang
mendorong pada gangguan depresi. Kesimpulannya bahwa, individu yang
10
mempunyai kepribadian yang lemah akan mudah sekali mengalami tekanan dari
stressor yang ada di lingkungannya, yang berasal dari interaksi sosial yang
negatif, sehingga akan mendorong munculnya gangguan depresi pada dirinya
serta dapat memicu tindakan bunuh diri.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin mengetahui gambaran yang
lebih jelas dan lebih dalam lagi dari interaksi sosial penderita depresi yang
memiliki kecenderungan bunuh diri ?
B. Keaslian Penelitian
Beberapa studi yang terkait dengan kecenderungan bunuh diri dan depresi
telah banyak dilakukan. Tetapi penelitian yang secara khusus mengungkap
interaksi sosial yang negatif pada penderita depresi, sejauh pengamatan penulis
belum banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan di Pittsburgh, yang meneliti 3
variabel hubungan sosial (sosial integerasi, dukungan sosial dan interaksi sosial
yang negatif) menunjukan bahwa 3 variabel hubungan sosial tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain terhadap kesehatan mental seseorang (Cohen,
2004). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitan yang meneliti dari 605
orang di Amerika Serikat (kecuali Alaska dan Hawai) dan dari seluruh sampel
yang diteliti, ditemukan bahwa hasil penelitian menunjukan adanya pengaruh
interaksi sosial yang negatif terhadap rusaknya kesehatan mental terutama dengan
gangguan depresi (Krause dan Shaw, 2002).
Penelitian di Indonesia tepatnya di kota Magelang dilakukan oleh
Adillah (1999) dengan metode kuantitatif, untuk meneliti hubungan deperesi dan
11
kecenderungan bunuh diri pada subjek anak-anak delikuen di panti sosial
Marsudi Putra Antasena, Magelang. Hasil penelitiannya mencatat bahwa ada
hubungan positif antara depresi dengan kecenderungan bunuh diri pada anak
remaja delikuen dari hasil rxy= 0,962 dengan p < 0,005. Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan metode kualitatif dengan subjek penderita depresi berat dan sedang. Melalui metode penelitian kualitatif diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam untuk mempelajari etiologi dari fenomena kecenderungan bunuh diri yang terkait dengan interaksi sosial yang negatif pada individu. C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena psikologi kecenderungan bunuh diri pada penderita depresi ditinjau dari interaksi sosial yang negatif. D. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh bukti-bukti yang empiris dari kecenderungan bunuh diri pada penderita depresi akibat interaksi sosial yang negatif sehingga dari penelitian ini dapat diambil beberapa manfaat: 1. Manfaat Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini bisa menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan akademisi psikologi pada khususnya. Selain itu, agar menjadi tambahan khasanah di dalam ilmu psikologi, sehingga diharapkan dapat menjadi acuan dan dikembangkan. 2. Manfaat Praktis, diharapkan hasil penelitian ini bisa menjadi sumber informasi yang memadai dalam memberikan gambaran yang lebih jelas dari 12 interaksi sosial yang negatif dan kaitannya terhadap kecenderungan bunuh diri pada penderita depresi bagi siapa saja yang membutuhkannya, khususnya bagi psikolog klinis maupun keluarga penderita depresi.
Selengkapnya.....

PERBEDAAN MOTIVASI MENGAJAR PADA GURU BERAGAMA ISLAM YANG BERSERTIFIKASI PROFESI DAN
GURU BERAGAMA ISLAM TIDAK BERSERTIFIKASI PROFESI
DI SMU NEGERI RAYON 41 KABUPATEN SUKOHARJO
oleh: YUDHA HERFRITEKNIKA INASTRALIAN.F100010227
ABSTRAKSI
Pendidikan merupakan salah satu kunci pembangunan sumber daya manusia yang mampu menghasilkan kemajuan generasi bangsa secara utuh, bukan hanya mewariskan nilai-nilai bangsa dan pengetahuan, tetapi keimanan, dan perilaku yang sholeh. Modalitas dalam dunia pendidikan yang disebut sebagai komponen dasar yang saling berkaitan yaitu guru, peserta didik, dan kurikulum. Program sertifikasi profesi guru diharapkan dapat meningkatkan kualitas individu guru secara kompeten, mengasah profesionalisme kerja, serta kesejahteraan kehidupan guru, yang bermuara pada kualitas semangat kerja yang terwujud dalam meningkatnya motivasi mengajar pada guru.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Para ahli pendidikan Islam telah bersepakat bahwa maksud dari
pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala
macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi dengan maksudnya adalah
mendidik akhlaq dan jiwa, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan),
membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka
untuk suatu kehidupan yang suci seluruhya, ihklas dan jujur. Artinya jiwa
pendidikan Islam adalah budi pekerti (Abrasyi,1995).
Ludjito (1992) mengungkapkan bahwa konsep pendidikan pada taraf
kehidupan masyarakat yang telah maju menunjukkan bahwa pendidikan
merupakan penentu utama dari pembentukan sikap, nilai-nilai dan tingkah laku
yang membedakan antara manusia maju dan manusia tradisional.
Selain itu, para pendidik, sosiolog, psikolog dan ahli-ahli ilmu sosial
memiliki pandangan yang sama bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor
penentu yang sangat penting dalam mengarahkan karakteristik individu dalam
kehidupan masyarakat. Selain itu kadar pendidikan yang diterima seseorang
memainkan peranan penting dalam menentukan jenis pekerjaan yang akan didapat
dan penghasilan yang diterimanya (Yahman, 1999).
Seperti ditegaskan dalam surat Az-zumar (39:9),
Artinya “ ...Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran”.
Lebih lanjut, Sanaky (2003) mengungkapkan bahwa pendidikan
didasarkan pada asumsi bahwa manusia itu dijadikan sebagai khalifah di bumi
(QS.2:30) untuk mengabdi kepada Allah Swt, yang dilengkapi dengan fitrah yaitu
potensi bawaan berupa: potensi keimanan (tauhid), potensi untuk memikul
amanah dan tanggungjawab, potensi kecerdasan (akal) (QS. 2:31 dan 33), potensi
komunikasi bahasa (al-bayan), potensi fisik. Dengan fitrah (potensi bawaan)
tersebut manusia mampu dan dapat berkembang secara aktif dan interaktif dengan
lingkungan atas bantuan pengarahan pendidik secara sengaja. Dari pandangan di
atas dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan sebuah sistem kehidupan yang
berwawasan semesta, berwawasan kehidupan yang utuh dan multidimensi,
sehingga pelaksanaan pendidikan diarahkan pada dimensi dialektikal (horizontal)
yang artinya pendidikan dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan
kongkrit sesama manusia, dan dimensi ketundukan vertikal yang artinya
pendidikan sebagai jembatan dalam memahami fenomena kehidupan abadi
dengan Maha Pencipta.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan salah satu
kunci pembangunan sumber daya manusia yang mampu menghasilkan kemajuan
generasi bangsa secara utuh, bukan hanya mewariskan nilai-nilai bangsa dan
3
pengetahuan, tetapi keimanan, dan perilaku yang sholeh. Pendidikan yang dialami
seseorang mampu mengarahkan dan mengasah dirinya menjadi pribadi yang
makin berkualitas yaitu berilmu, dan berakhlaq mulia.
Seperti dalan firman Allah Swt dalam surat Al-mujadalah ayat 11
Artinya “ ...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Langkah mencapai kualitas pendidikan yang utuh dibutuhkan persiapan
perangkat pendidikan yang baik. Roa (2003) mengungkapkan, dalam menjalankan
proses kependidikan dibutuhkan unsur yang tepat untuk mencapai tujuan
pendidikan. Guru, peserta didik, dan kurikulum merupakan unsur pembentuk
pendidikan yang disebut sebagai perangkat pendidikan. Perangkat pendidikan ini
yang saling berkaitan erat dalam menjawab fungsi operasional kependidikan yaitu
bagaimana menjalankan sebuah proses pendidikan, bagaimana peran materi dalam
pengembangan individu, siapa yang akan menjalankan proses pendidikan, dan
untuk siapa materi itu diberikan. Oleh karenanya jika salah satu dipisahkan atau
dihilangkan, akan sulit mencapai kualitas pendidikan yang diharapkan. Kemudian
ditegaskan kembali bahwa di antara perangkat pendidikan tersebut, ada satu
komponen yang dianggap paling strategis yaitu guru. Guru dianggap sebagai
unsur strategis dalam dunia pendidikan karena guru memegang peranan penting
4
sebagai pelaksanaan strategis kegiatan kependidikan dalam mencapai tujuan
pendidikan.
Hal senada disampaikan Mulyasa (2007) bahwa guru merupakan unsur
paling menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, karena guru
selalu terkait dengan komponen manapun dalam sistem pendidikan, sehingga guru
memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan.
Pentingnya kedudukan seorang guru sebagai fungsi pelaksana
kependidikan rupanya juga mendapat respon positif dari kalangan ahli pendidikan
dalam dunia Islam. Diantaranya oleh alGazali. (dalam Abrasyi,1995) Beliau telah
mengkhususkan guru dengan sifat-sifat kesucian, kehormatan, dan menempatkan
langsung sesudah kedudukan para nabi-nabi yaitu sebagai ulama.
Beberapa pendapat diatas menunjukkan bahwa guru merupakan seseorang
yang kedudukannya terspesialkan atau teristimewakan dalam dunia pendidikan,
hal ini dikarenakan tugas dan peranya yang begitu besar dalam mencapai tujuan
dalam pelaksanaan kegiatan kependidikan.
Hubungan yang erat antara dunia pendidikan dengan guru membuat kita
perlu menggali lebih dalam tentang hakekat profesi guru serta tugasnya. Dalam
pandangan alGazali (dalam Abrasyi,1995) guru adalah seseorang yang berilmu
dan kemudian bekerja dengan ilmunya. Siapa yang bekerja di bidang pendidikan,
maka sesungguhnya ia telah memilih pekerjaan yang terhormat dan yang sangat
penting.
5
Roa (2003) juga mengungkapkan bahwa pengertian guru adalah komponen
yang mampu menjalankan kependidikan sekaligus sebagai praktisi yang memiliki
pengetahuan, keterampilan, keahlian dan prestasi dalam proses pendidikan.
Diungkapkan juga, bahwa guru adalah orang yang memiliki tanggung
jawab yang besar dalam mencapai tujuan pendidikan, serta menjalankan proses
belajar yang efektif bagi anak didiknya, dengan maksud transferlearning (
Djamarah & Bahri, 2000).
Uno (2007) juga mengukapkan pengertian guru adalah orang dewasa yang
secara sadar bertanggungjawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing
peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan
merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelolah kelas agar
peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan
sebagai tujuan akhir dari proses pembelajaran.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa guru adalah
seseorang yang memiliki ilmu dan secara sadar menjalankan tanggungjawab
dalam mengajar, mendidik dan membimbing anak didik, serta mampu menata dan
mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat
mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pembelajaran
dalam berpikir dan berperilaku.
Rupanya pengertian guru diatas tidak lepas dari sebuah ilmu dan tanggung
jawab yang harus dipenuhi oleh seeorang guru. Meneropong tentang ilmu itu
berarti bagaimana seseorang guru menggunakan akal untuk mencari ilmu agar
pengetahuan yang muncul dapat dipadukan dengan nilai fitrah seseorang manusia
6
Islam yang terimpelemtasikan pada perilaku sebagai seorang guru berstatus Islam,
sedangkan meneropong tentang tanggung jawab seseorang guru dapat dilihat dari
seperangkat tugas guru.
Sosok seorang guru yang berilmu dan memiliki tanggung jawab dalam
sudut pandang Islam dapat kita lihat dari pendapat Muis (2002) mengatakan
bahwa akal adalah daya pikir untuk berusaha menempatkan sesuatu pada
tempatnya, supaya terhindar dari malapetaka dan nilai kehinaan. Sehingga
makhluk yang berakal harus berpikir, dan bersikap dan berbuat atau berkata
kearah yang benar dan tepat. Implementasi dari mahkluk berakal adalah ia
memiliki prioritas tepat mengenai amal perbuatan yang dilakukannya. Seperti jika
ia seseorang guru seharusnya selalu mengasah pengetahuannya serta menjalankan
tanggungjawab dengan penuh prioritas dan wujud perbuatannya dapat menjadi
contoh yang baik bagi orang lain.
Hal senada diungkap filosof Islam, alHuzail (dalam Nasution,1986) akal
diartikan sebagai daya untuk memperoleh pengatahuan dan juga daya yang
membuat orang dapat memeperbeda antara dirinya dan benda lain dan antara
benda-benda satu dengan yang lain dan akal juga mempunyai daya untuk
memperbedakan antara kebaikan dan kejahatan
Pendapat diatas dapat kita fahami bahwa Orang berilmu berawal dari
bagaimana dia menggunakan akalnya. Dengan akalnya seseorang guru akan
menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik dan membuat prioritas dalam
hidupnya. Dalam dunia kependidikan tugas dan fungsi memegang peranan
penting pada hasil akhir suatu proses pendidikan.
7
Uno (2007) berpendapat bahwa pada dasarnya tugas yang harus
dilaksanakan oleh guru berhubungan dengan profesinya sebagai pengajar meliputi
mendidik dalam arti meneruskan dan mengembangkan nilai hidup, mengajar yang
berarti meneruskan dan mengembangkan iptek, dan melatih yang berarti
mengembangkan keterampilan pada peserta didik.
Pendapat lain juga muncul dari alGazali (dalam Naim, 2009). Dia
menegaskan bahwa tugas guru yang paling utama adalah menyempurnakan,
membersihkan dan mensucikan serta membawa hati manusia untuk mendekatkan
dirinya kepada Allah Swt.
Diperkuat kembali oleh alNahlawi (dalam Naim, 2009) yang membagi
tugas utama guru menjadi dua bagian. Pertama, pensucian, pengembangan,
pembersihan, dan pengangkatan jiwa kepada pencipta-Nya, menjauhkan diri dari
kejahatan dan menjaganya agar selalu berada dalam fitrahnya. Kedua, pengajaran
yaitu pengalihan berbagai pengetahuan, akidah kepada akal dan hati kaum
mukmin, agar mereka merealisasikannya dalam tingkah laku dan kehidupan
sehari-hari.
Sagala (2009) berpendapat, tugas guru adalah mengajar dan membimbing
para murid, memberi penilaian hasil belajar peserta didik, mempersiapkan
administrasi pembelajaran serta kegiatan lain yang berkaitan dengan
pembelajaran. Dalam hal tanggungjawab, guru sebagai pekerjaan profesi yang
berada pada tingkatan tertinggi dalam sistem pendidikan nasional karena guru
sebagai pelaksana strategis dan kunci sukses dalam mengawal keberlangsungan
8
proses pendidikan sampai akhir. Sehingga penting bagi guru senantiasa berupaya
meningkatkan dan mengembangkan ilmu yang menjadi bidang studinya.
Pendapat di atas membuat kita paham bahwa guru memiliki kewajiban
untuk mengamalkan ilmunya sebagai pengajar. Pengamalan ilmu tersebut
terimplemntasikan pada tugas mengajar yang meliputi mengajar pengetahuan
(daya pikir), keterampilan (daya fisik), dan sikap (daya Kalbu) seseorang. Dengan
tugasnya guru akan membangun individu seutuhnya yaitu berilmu dan beriman.
Maka dari itu, tugas mengajar guru harus dijalankan secara profesional. Bentuk
profesional dalam melaksanakan tugas tergambar dari stadarisasi yang harus
dimiliki oleh guru dalam bentuk kompetensi profesi.
Berbicara tentang Standar Kompetensi profesi guru, Mulyasa (2009)
menyatakan bahwa standar kompetensi profesi harus menjadi patokan bagi dunia
pendidikan untuk manjaga kualitas serta mutu guru agar dapat menunjukkan dan
mengimplementasikan sikap profesionalisme dalam menjalankan tanggungjawab
serta tugasnya sebagai pengajar.
Uno (2007) juga mengungkapkan bahwa guru merupakan suatu
kompetensi profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus
sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang
pendidikan. Untuk itu seorang guru perlu mengetahui dan dapat menerapkan
beberapa prinsip mengajar agar dia dapat melakukan tugasnya serta bertanggung
jawab secara profesional.
Hal senada disampaikan oleh Yamin (2007) bahwa pengertian kompetensi
profesi dunia pendidik bermakna bahwa profesi yang disandang oleh tenaga
9
kependidikan atau guru, adalah sesuatu pekerjaan yang membutuhkan
pengetahuan, keterampilan, kemampuan, keahlian, dan ketelatenan untuk
menciptakan anak didik yang berperilaku baik, sehingga disebut guru profesional.
Begitu pentingnya standar kompetensi profesi ini disebabkan kesungguhan
dunia pendidikan memperoleh guru yang profesional. Dengan kompetensi profesi
ini akan dapat menghasilkan proses dan hasil pendidikan yang berkualitas dalam
rangka mewujudkan manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif.
Harapan dan keinginan selalu berbicara pada dataran ideal, tetapi realitas
pendidikan yang dihadapi saat ini berbicara lain. Berita dari dunia pendidikan
yang menggetarkan para pengguna pendidikan karena muncul beberapa masalah
yang berkutat pada kompetensi serta tingkat kesejahteraan guru di Indonesia, hal
ini dapat dilihat dari beberapa temuan fenomena problematika guru yang terjadi
dilapangan yaitu pertama, hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di
Indonesia tidak memiliki kompetensi yang layak untuk mengajar. Dari sini
kemudian diklarifikasi lagi, guru yang tidak layak mengajar berjumlah 916.505,
yang terdiri dari 609.217 guru SD/MI, 167.643 guru SMP/MTS, 75.684 guru
SMU/MA, dan 63.962 guru SMK.bahkan presentasi guru yang mengajar tidak
sesuai dengan kualifkasinya ada 15% dari ijazah yang dimilikinya dari 1234927
guru SD hanya sekitar 8,30% yng berkailifikas S1 dan 0,05% berkualifikasi S2.
Untuk tingkat smp dari 466748 guru hanya 42,03% yang berkualifikasi S1, dan
yng berkualitas S2 0,31%. Ditingkat SMA dari 230.114 guru yang berkualfikasi
S1 72,75% dan yang berkualifikasi S2 0,33%. Untuk SMK dari 147.559 guru
10
yang berkualifikasi S1 64,16% dan S2 0,33% (Mahasri dalam Ishroqi, 2008 vol
IV No 2).
Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian
yang dipunyainya atau tidak sesuai dengan bidangnya (Awe, dalam kompas 9
desember 2005).
Ketiga, fakta lain menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh
dari memadai. Berdasarkan statistik, 60% guru SD, 40 % guru SMP, 43% guru
SMU, dan 34% guru SMK dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang
masing-masing. Selain itu, 17,2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar
bukan bidang studinya. SDM guru kitapun berada pada urutan 109 dari 179
negara berdasarkan Human Development Index (Dharma:
http://suarakita.com/artikel).
Dari data di atas menujukkan pada kita bahwa pertama, hampir separuh
dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak memiliki kompetensi yang layak
untuk mengajar. Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan
keahlian yang dipunyainya atau tidak sesuai dengan bidangnya. Ketiga, fakta lain
menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai, SDM guru
kitapun berada pada urutan 109 dari 179 negara.
Hal senada di atas dipertegas oleh Yamin (2006) bahwa rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia bukan diakibatkan oleh rendahnya input pendidikan,
melainkan akibat dari proses pendidikan yang tidak maksimal dan rendahnya
kualitas guru. hal ini dapat dibuktikan masih banyaknya peserta didik yang tidak
lulus UN dengan standar nilai 4,26.
11
Selain itu, Yamin (2006) berpendapat masih adanya probelematika internal
guru pada sisi kesejahteraan yang belum teratasi secara menyeluruh. Diekpos
dalam surat kabar terkemuka di Indonesia Kompas pada tanggal 20 november
2004 yang menuliskan antara lain “menurunya kualitas guru, rendahnya
kesejahteraan yang diterima guru di Indonesia masih menjadi masalah yang belum
teratasi.
Diungkap juga oleh Yamin (2006), Kompas tanggal 2 november 2006
(hal;12) memuat pernyataan direktur jenderal peningkatan mutu tenaga pendidik
dan tenaga kependidikan yaitu Fasli jamil, Pada tahun 2007 pemerintah membayar
tunjangan guru Rp. 100.000,- perorang yang semula direncanakan Rp. 500.000,-
perorang. Namun karena terbatasnya anggaran maka pembayaran dilakukan
secara bertahap. Padahal banyak kita tahu, dalam kehidupan sehari-hari profesi
guru tidak mendapat sebuah kelayakan yang pantas dalam hal materi, seperti : gaji
yang kecil, fasilitas belajar yang kurang memadai, bisa dikatakan guru memiliki
kehidupan yang pas-pasan yang terkadang tidak mampu mencukupi kebutuhan
hidup, sehingga jika dibandingkan, terlihat guru di Indonesia memiliki perbedaan
dengan guru yang ada di negara lain, dalam hal penghargaan dan fasilitas
pengembangan diri guru yang terpadu. Padahal hal itu akan berpengaruh pada
semangat kerja (motivasi mengajar).
Hal senada juga disampaikan oleh glenn Langford (dalam Yamin, 2006)
bahwa bentuk kesejahteraan berupa upah yang seimbang akan mampu
memberikan motivasi seseorang untuk bekerja maksimal. Bentuk penghargaan
yang paling tinggi dengan memberikan upah yang layak.
12
Fenomena guru di atas jika dikaitkan dengan pendapat Suparlan (2005)
bahwa ada dua aspek utama yang terkait dengan guru atau pendidik agar dapat
dikatakan professional dalam profesinya: (1) kualifikasi akademik dan
kompetensinya, dan (2) tingkat kesejahteraannya. Kedua aspek tersebut ibarat
dua sisi mata uang, tidak akan dapat dipisahkan. Guru akan terpenuhi syaratnya
sebagai profesi jika memiliki kedua aspek tersebut sekaligus. Tidak
terpenuhinya salah satu dari kedua aspek tersebut akan mengurangi tingkat
profesionalitas seorang guru.
Terlebih lagi, tuntutan yang datangnya dari sistem pendidikan di
Indonesia, kita tahu bahwa semakin maju zaman, maka dunia pendidikan dituntut
untuk selalu menjawab kebutuhan zaman. Hal ini membuat tantangan dalam dunia
mengajar selalu berkembang, apalagi pada setelah implemantasi otonomi daerah
khusus dalam penyelenggaraan pendidikan mulai dikenal dengan model
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dimana semua kebutuhan sekolah mulai
dari perencanaan kerja sampai kurikulum disesuaikan dengan daerah masing-
masing. Hal ini membuat sekolah harus mampu menciptakan sebuah sumber daya
manusia (guru) yang mampu bersaing dan membuat standart mutu kurikulum
yang baik pada intinya dengan adanya MBS mendorong komponen sekolah
melakukan perubahan kearah yang lebih bermutu dan berkualitas, untuk itu
perlunya dukungan guru-guru yang profesional untuk mencapai target tersebut.
Telah diberlakukanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
merupakan penyempurnaan kurikulum 2004 berbasis Kurikulum Berstandar
Kompetensi (KBK) juga menuntut guru untuk meningkatkan kualitas diri. Hal ini
13
dapat dilihat dari pelaksanaan konsep KTSP yang berorientasi pada proses
sehingga guru harus memiliki pengalaman serta keterampilan diri yang lebih
dalam mengajar. Muslich (2008) mengatakan bahwa yang membuat berbeda
dengan kurikulum sebelumnya, yaitu KTSP dikembangkan dengan menggunakan
beberapa prinsip, yaitu berpusat pada potensi perkembangan peserta didik dan
lingkungan, menyeluruh dan berkesinambungan, serta tanggap terhadap ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum ini berorientasi pada proses bukan
hanya memberi tahu siswa, tetapi membimbing siswa mencari tahu. KTSP
merupakan kurikulum mandiri dan beragam, sekolah menciptakan kurikulum
yang beragam sesuai dengan daya dukung sekolah dan tempat sekolah berada,
padahal kita tahu bahwa tidak semua sekolah memiliki daya dukung yang sama,
sehingga dengan kondisi yang ada guru-guru yang ada disebuah sekolah di tuntut
memiliki skill dan kualitas yang tinggi untuk menciptakan kurikulum berbasis
KTSP yang baik.
Diungkap juga oleh Yamin (2006) bahwa KTSP 2006 tidak hanya
berorientasi pada materi, akan tetapi pada proses. lebih lanjut dikatakan bahwa
pada pelaksanaanya dibutuhkan guru-guru yang berkualitas. Karena Guru-guru
yang tidak berkualitas akan termarginalkan dengan sendirinya.
Gambaran probelematika internal dan sosial, serta tuntutan
perkembangan sistem kependidikan yang bergerak cepat membuat masalah
menjadi kompleks sekaligus menjadi tantangan besar bagi profesi guru. Bisa kita
bayangkan jika guru yang tidak memiliki kualifikasi serta kompetensi yang
memadai, tetapi dituntut untuk menjadi profesional dalam menjalankan tugas,
14
pastilah akan terjadi masalah pada guru itu sendiri. Sehingga langkah tepat untuk
mengatasi masalah tersebut adalah dengan memberikan penghargaan dalam
bentuk peningkatan mutu keprofesian dan menaikan tingkat kesejahteraan guru,
agar masalah yang muncul bisa ditekan dan perlahan-lahan akan mengangkat
derajat guru di Indonesia.
Pentingnya kualifikasi akademik, kompetensi, dan kesejahteraan diri untuk
membawa pada titik aktualisasi diri yang maksimal bagi guru ketika
melaksanakan tugas mengajarnya. Dari fenomena diatas muncul pertanyaan,
bagaimana peran pemerintahan dan instansi pendidikan mengatasi problematika
internal, sosial, serta sistem kependidikan di Indonesia agar tidak menjadi
hambatan bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia?.
Peran pemerintah dalam menindaklanjuti usaha peningkatan mutu
kompetensi, kualifikasi, disertai bertambahnya nilai kesejahteraan guru ditandai
dengan keluarnya Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
yang kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP)
nomor 74 tahun 2008 yang terdiri 9 Bab 68 Pasal dan diperkuat dengan
Permendiknas nomor 10 tahun 2009 yang pada salah satu bab dan pasal,
menjelaskan tentang sertifikasi profesi guru. Peraturan pemerintah (PP) no. 74
tahun 2008 tentang guru yang ditandangani oleh Presiden Republik Indonesia per
tanggal 01 Desember 2008, diterbitkan sebagai amanat dan tindak lanjut dari
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kerangka dari
Peraturan Pemerintah ini terdiri 9 Bab 68 Pasal (Sujanto, 2009).
15
Dalam Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru, dijelaskan
bahwa, guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem
pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional,
yaitunberkembangnya potensi didik agar yang beriman dan bertaqwa kepada
tuhan yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Dalam Bab
IV pasal 14 dijelaskan bahwa berhak memperoleh penghasilan dan jaminan
kesejahteraan, penghargaan, promosi, kesempatan untuk meningkat kompetensi
(Yamin,2006).
Jelas sudah bahwa menurut undang-undang diatas guru juga memiliki hak
untuk mendapatkan kesempatan meningkatkan kompetensi serta jaminan
kesejahteraan. Salah satu implementasi atas hak yang diberikan pemerintah pada
guru, yaitu ikut serta dalam program sertifikasi profesi dengan kualifikasi serta
standart menurut PP no. 74 tahun 2008.
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang guru , bab II
pasal 4 ayat 1, menjelaskan bahwa Sertifikasi pendidikan bagi guru didapat dari
program oleh pendidikan profesi yang diselenggaran perguruan tinggi yang
memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik
yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Masyarakat,dan ditetapkan oleh
Pemerintah. Program pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya diikuti oleh peserta didik yang telah memiliki Kualifikasi Akademik
S-1 atau D-IV dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(Sujanto,2009).
16
Dalam kegiatan sertifikasi ini ada kompetensi yang harus dikembangkan
oleh guru. 4 kompetensi tersebut didapat dalam BAB II pasal 3, yang berbunyi
bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, serta perilaku
yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan. Adapun 4 kompetensi tersebut meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional yang harus dikembangkan secara holistic (Sujanto,2009).
Diperjelas lagi dalam Permendiknas nomor 10 tahun 2009. pasal 1 ayat 1,
bahwa Sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat
pendidik kepada guru yang bertugas sebagai guru kelas, guru mata pelajaran, guru
bimbingan dan konseling atau konselor, dan guru yang diangkat dalam jabatan
pengawasan satuan pendidikan. Dengan adanya implementasi program sertifikasi
membuat kalangan pendidik atau guru sangat antusias dan termotivasi mengikuti
program ini. (Yamin, 2006).
Sertifikasi guru merupakan upaya peningkatan mutu guru yang disertai
peningkatan kesejahteraan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu
pembelajaran dan pendidikan di tanah air secara berkesinambungan. Bentuk
kesejahteraan guru adalah tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji dan
diberikan apabila seorang guru telah memperoleh sertifikat pendidik
(Muslich,2007).
Uraian di atas telah menjelaskan bahwa pemerintah saat ini telah
memberikan perhatian yang lebih terhadap proses peningkatan mutu tenaga
kependidikan di Indonesia, dengan cara mengadakan program sertifikasi profesi di
17
seluruh Indonesia bagi guru yang masuk dalam kualifikasi program sertifikasi
profesi.. Dengan adanya program sertifikasi profesi guru diharapkan dapat
meningkatkan kualitas individu guru secara kompeten, mengasah profesionalisme
kerja, serta mampu meningkat kesejahteraan kehidupan guru. yang bermuara pada
terdorongnya semangat kerja yang terwujud dalam meningkatknya motivasi
mengajar pada guru.
Berbicara konsep motivasi yang dikaitkan dengan tugas guru, berarti
bertanya tentang seberapa jauh guru menggunakan ilmunya serta melaksanakan
tanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan yang diharapkan. Dalam psikologi
unsur penggarak manusia dalam mencapai tujuan dipengaruhi oleh motif internal
yang menyebakan timbulnya keinginan orang untuk melakukan sesuatu. Reaksi
aktif dari motif ini disebut motivasi (Suryabrata, 1984)
Winkel (1996) mendifinisikan bahwa motivasi adalah kekuatan-kekuatan
yang kompleks, dorongan-dorongan, kebutuhan-kebutuhan, pertentangan,
ketegangan atau mekanisme-mekanisme lain yang memulai dan menjaga
kegiatan-kegiatan yang diinginkan ke arah pencapaian tujuan personal. Usaha
yang tampak dari seseorang dalam bentuk perilaku inilah yang menjadi wujud dari
motivasi.
Najati (dalam Shaleh & Wahab, 2004) mengungkapkan bahwa motivasi
memiliki 3 komponen pokok, yaitu menggerakkan, mengarahkan, dan menopang.
Ketiga komponen tersebut merupakan penjabaran dari fungsi motivasi bagi
seseorang dalam mencapai tujuannya, sehingga adanya fungsi ini akan membuat
motivasi seseorang memiliki kadar atau ukuran, seperti rendah, sedang, atau
18
tinggi. Secara sifat, motivasi merupakan suatu hal yang tampak abstrak,
kehadirannya bisa dirasakan dan bisa dilihat, tetapi tidak berbentuk.
Dari hal di atas dapat kita famahi bahwa motivasi muncul atas suatu efek
motif diri seseorang. motivasi merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh
seseorang mencapai tujuan sebagai bentuk dari keinginan atau dorongan,
harapan, dan kebutuhan internal diri. Motivasi bersifat universal dan tidak
terarah, dikarena setiap orang memiliki dorongan yang berbeda, kebutuhan yang
berbeda sehingga motivasi yang muncul bisa bercampur-aduk.
Ketika membahas motivasi dalam perspektif Islam memunculkan hal
yang menarik. konsep motivasi menjadi lebih jelas dan terarah. motivasi
dimaknai dalam Islam sebagai ghiroh seorang muslim dengan unsur motifnya
sebagai niat ketauhidan. hal tersebut bisa kita lihat dalam surat al-Ruum 30:30),
Allah Swt berfirman:
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
19
Ayat di atas mengisyaratkan pada umat Islam bahwa sebagai mahkluk
yang diciptakan Allah Swt, diberikan suatu arahan fitrah ketauhidan yaitu
keimanan pada Allah Swt. Artinya sebagai seorang yang Bergama Islam akan
selalu memfokuskan tujuan hidupnya hanya mencapai ridho Allah Swt. Setiap
langkah hidupkan terbalut dengan nilai keimanan.
Diperjelas oleh Lindzy (dalam Wahab&Shaleh, 2004) manusia memiliki
dorongan yang berhubungan dengan aspek spiritual dalam dirinya, seperti
dorongan untuk beragama. Dorongan beragama dalam Islam diartikan sebagai
dorongan atas keimanan, yang berarti seorang muslim akan selalu percaya dan
terdorong untuk melakukan sesuatu pekerjaan atau tugas karena niat ibadah
kepada Allah Swt sebagai bentuk pertaruhan dirinya pada Allah Swt.
adDuweisy (2007) mengatakan bahwa motivasi mengajar guru beragama
Islam adalah kesadaran dari dalam diri guru pada hekekat mengajar bahwa
merupakan amal kebaikan yang pahalanya tidak terputus sesuadah mati. Hal itu
berdampak pada setiap langkah tugasnya diniatkan atas nama ibadah pada Allah
Swt.
Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa konsep motivasi yang muncul
dalam persepektif Islam memiliki arahan yang jelas. Motivasi dalam Islam
memunculkan sosok guru yang memiliki kesadaran pada hekekat mengajar bahwa
merupakan amal kebaikan yang pahalanya tidak terputus sesudah mati. Hal itu
berdampak pada setiap langkah tugasnya diniatkan atas nama ibadah pada Allah
Swt. .Hal itu akan berdampak positif pada komitmen diri bahwa tanggung jawab
yang dijalani sebagai profesi guru harus diemban dengan mengembangkan sifat
20
yang mampu diteladani, serta mau meningkatkan kualitas kompetensi dirinya
secara berkesinambungan.
Pengembangan sifat tauladan ini, telah diungkap oleh alAbrasyi (1995)
bahwa guru beragama Islam harus mempunyai sifat-sifat tertentu dalam
mengembangkan motivasi mengajarnya, diantaranya :
a. Zuhud tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari
keridhaan Allah semata.
b. Kebersihan guru, seorang guru harus bersih tubuhnya jauh dari dosa dan
kesalahan.
c. Ikhlas dalam pekerjaan.
d. Suka pemaaf.
e. Seorang guru merupakan seorang bapak sebelum ia menjadi seorang guru.
f. Harus mengetahui tabiat murid, dan harus mengetahui mata pelajaran.
Selain itu, Sudjana (2005) mengungkapkan ada beberapa aspek motivasi
dalam mengajar yang harus dikembangkan oleh guru dalam menjalankan tugas
mengajarnya sebagai bentuk kompetensi profesi, yaitu :
a. Kompetensi bidang kognitif artinya kemampuan intelektual, seperti
penguasaan mata pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan
mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang bimbingan dan
peyuluhan, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara
menilai hasil belajar siswa, pengetahuan tentang kemasyarakatan serta penge-
tahuan umum lainnya.
21
b. Kompetensi bidang sikap artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap
berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya. Misalnya sikap meng-
hargai pekerjaannya, mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap mata
pelajaran yang dibinanya, sikap toleransi terhadap sesama teman profesinya, me-
miliki kemauan yang keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya.
c. Kompetensi performance atau perilaku artinya kemampuan guru dalam
berbagai keterampilan/berperilaku, seperti keterampilan mengajar , membimbing,
menilai, menggunakan alat bantu peng-ajaran, bergaul atau berkomunikasi dengan
siswa, keterampilan menyusun persiapan/perencanaan mengajar, keterampilan
melaksanakan administrasi kelas.
Termaktub juga pada Peraturan pemerintah No. 74 Tahun 2008, Bab II
pasal 3, yang menyatakan bahwa terdapat 4 kompetensi yang harus dikembangkan
oleh guru dalam mengemban tugas profesinya. Adapun aspek kompetensi,
meliputi: a) Kompetensi pedagogik, b) Kompetensi kepribadian, c) Kompetensi
Sosial, d) Kompetensi Profesional (Sarjinto, 2009).
Dari pendapat di atas dapat dilihat ada beberapa sifat yang hendaknya
dikembangkan oleh para guru beragama Islam yang juga disertai pengembangan
kompetensi guru, yaitu: a) kompetensi kognitif, b) kompetensi sikap, dan c)
kompetensi Performance. Dengan adanya pengembangan sifat tauladan, serta
kompetensi profesi pada diri guru, maka secara langsung akan berpengaruh pada
motivasi diri untuk lebih bertanggungjawab terhadap tugas mengajarnya.
Telah jelas bahwa adanya upaya pemerintah yang telah memberikan
perhatian yang lebih terhadap proses peningkatan mutu kependidikan guru di
22
Indonesia, dengan cara mengadakan program sertifikasi profesi di seluruh
Indonesia. Guru yang paham akan maksud dan tujuan dari program sertifikasi
profesi, seharusnya akan lebih menunjukkan motivasinya dalam melaksanakan
tugas mengajarnya, terlebih lagi bagi guru yang berkeyakinan Islam malah akan
lebih terpacu lagi dalam menjaga ghiroh mengajarnya.
Melihat fenomena diatas peneliti berpendapat bahwa pelaksanaan program
sertifikasi yang telah berjalan selama ini mampu meningkatkan motivasi mengajar
pada guru khususnya yang beragama Islam yang memiliki status bersertifikasi
profesi dan mengajar disekolah negeri. Dikarena telah memasuki masa 5 tahun
program sertifikasi profesi berjalannya, secara kualitatif besarnya antusiasme para
pendidik untuk mengikuti program sertifikasi. khususnya yang sekolah negeri
karena sebagian besar guru yang berada disekolah negeri sudah bersertifikasi
profesi, tentunya telah dapat menunjukkan dan memberikan efek motivasi
mengajar yang baik pada guru, terlebih yang beragama Islam.
Muncul dugaan sementara peneliti bahwa guru beragama Islam disekolah
negeri yang telah mengikuti program sertifikasi dan lulus, akan memiliki motivasi
mengajar yang lebih baik dari pada pendidik Islam yang tidak bersertifikasi
profesi. Untuk membuktikan pendapat tersebut, peneliti akan mencari jawaban
atas pertanyaan yang muncul sebagai bentuk rumusan masalah, yaitu apakah ada
perbedaan motivasi mengajar pada guru beragama Islam yang bersertifikasi
profesi dan guru beragama Islam yang tidak bersertifikasi profesi?. Dari rumusan
masalah diatas, peneliti menindaklanjutinya dengan melakukan penelitian yang
berjudul perbedaan motivasi mengajar pada guru beragama Islam yang
23
bersertifikasi profesi dan guru beragama Islam yang tidak bersertifikasi profesi di
SMU Negeri rayon 41 Kabupaten Sukoharjo.
B. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui perbedaan motivasi mengajar pada guru beragama
Islam yang bersertifikasi profesi dan guru beragama Islam yang tidak
bersertifikasi profesi?
2. Untuk mengetahui tingkat motivasi mengajar guru beragama Islam
yang bersertifikasi profesi dan guru beragama Islam yang tidak
bersertifikasi profesi.
C. Manfaat Penelitian
1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
evaluatif pada Lembaga pendidikan Universitas Muhammdiyah
Surakarta (UMS) sebagai salah satu perguruan tinggi yang oleh dinas
pendidikan ditunjuk untuk menyelenggaran PLPG (Pendidikan dan
Latihan Profesi Guru) dalam efek motivasi mengajar pada guru yang
telah mengikuti program sertifikasi profesi di UMS.
2. Bagi guru sekolah negeri, diharapkan hasil penelitian ini dapat
memberikan inspirasi diri untuk selalu menjaga motivasi diri sebagai
guru, agar selalu terpacu untuk selalu meningkatkan motivasi dalam
menjalankan tugas mengajarnya.
24
3. Bagi instansi pendidikan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
informasi dalam mengambil kebijakan dalam usaha-usaha pendidikan
meningkatkan motivasi guru dalam mengajar.
Selengkapnya.....

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KEPEMIMPINAN VISIONER DENGAN ETOS KERJA
oleh:Ruri Faisal Rahman.F100010198
ABSTRAKSI
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap kepemimpinan visioner dengan ETOS KERJA pada karyawan. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara persepsi terhadap kepempimpinan visioner dengan komitmen organisasi.
Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan Lippo Bank Cabang Yogyakarta yang berjumlah 68 orang dengan ciri-ciri : 1) karyawan tetap, 2) bekerja minimal dua tahun, 3) tingkat pendidikan minimal SMU. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purpossive non random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala persepsi terhadap kepemimpinan visioner dan skala komitmen organisasi.
Berdasarkan hasil perhitungan teknik analisis product moment dari Pearson diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,521; p = 0,000 (p < 0,01) artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi terhadap kepemimpinan visioner dengan komitmen organisasi. Sumbangan efektif persepsi terhadap kepemimpinan visioner terhadap ETOS KERJA sebesar 27,1% .Berdasarkan hasil analisis stepwise model akhir diketahui bahwa aspek persepsi terhadap kepemimpinan visioner yang memberi sumbangan efektif terhadap ETOS KERJA adalah aspek pengetahuan sebesar 27,979%. Berdasarkan hasil analisis diketahui variabel persepsi terhadap kepemimpinan visioner mempunyai rerata empirik (RE) sebesar 123,000 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 105 yang berarti persepsi terhadap kepemimpinan visioner pada subjek tergolong tinggi. Variabel ETOS KERJA diketahui rerata empirik (RE) sebesar 98,926 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 100 yang berarti ETOS KERJA pada subjek penelitian tergolong sedang. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Setiap organisasi yang selalu ingin maju, akan melibatkan anggota untuk meningkatkan mutu kinerjanya, diantaranya setiap organisasi harus memiliki etos kerja Etos menurut Geertz (1986) diartikan sebagai sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Sedangkan kerja, menurut Taufik Abdullah (1986), secara lebih khusus dapat diartikan sebagai usaha komersial yang menjadi suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu yang imperatif dari diri, maupun sesuatu yang terkait pada identitas diri yang telak bersifat sakral. Identitas diri yang terkandung di dalam hal ini, adalah sesuatu yang telah diberikan oleh tuntutan religius (agama). Manakala dikaitkan dengan situasi kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja yang tinggi akan dijadikan sebagai prasyarat yang mutlak, yang harus ditumbuhkan dalam kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan sikap kepada manusianya untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguh-sungguh, sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-asalan, tidak berorientasi terhadap mutu atau kualitas yang semestinya. Nitisemito (1996) mengatakan bahwa indikasi turun/ rendahnya semangat dan kegairahan kerja yang diakibatkan karena etos kerja misalnya:.turun/ rendahnya produktivitas, tingkat absensi yang naik/ rendah, labour turnover (tingkat perputaran buruh) yang tinggi,. tingkat kerusuhan yang naik, kegelisahan dimana-mana, tuntutan yang sering terjadi dan pemogokan. Etos kerja akan mengganggu pelaksanaan kerja karyawan. Hal ini dapat dapat terlihat dalam sejumlah pola tabiat yang dapat dikenali dengan baik termasuk diantaranya adalah; pembolosan, keterlambatan, perubahan kerja yang banyak, perdebatan dan bahkan kekerasan fisik. Guna menghindari kerugian baik bagi suatu perusahaan maupun pada individu yang etos kerjanya rendah, maka sudah seharusnya diperhatikan hal-hal yang dapat memicu munculnya eteos kerja buruk tersebut, diantaranya adalah kepemimpinan. Secara umum berbagai teori, metode dan pendekatan Psikologi dapat dimanfaatkan di berbagai bidang dalam perusahaan termasuk pula dalam hal kepemimpinan dan etos kerja. Menurut Papu (2002) pada salah satu hasil riset yang dilakukan terhadap para manager HRD menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden menyebutkan Psikologi Industri dan Organisasi memberikan peran penting pada area-area seperti pengembangan manajemen SDM (kepemimpinan, rekrutmen, seleksi dan penempatan, pelatihan dan pengembangan), motivasi kerja, moral dan kepuasan kerja. 30% lagi memandang hubungan industrial sebagai area kontribusi dan yang lainnya menyebutkan peran penting PIO pada disain struktur organisasi dan desain pekerjaan. Hasil riset tersebut di atas mungkin hanya menggambarkan sebagian besar area dimana Psikologi dapat berperan. Satu hal yang belum disebutkan di atas misalnya peran para psikolog dalam menangani individu-individu yang mengalami masalah-masalah psikologis melalui employees assistant program (EAP) atau pun klinik-klinik yang dimiliki oleh perusahaan. Penanganan individu yang mengalami masalah psikologis sangat besar pengaruhnya terhadap produktivitas dan kinerja perusahaan. Hal tersebut sangatlah wajar mengingat bahwa perusahaan digerakan oleh individu-individu yang saling berinteraksi di dalamnya. Sekilas mengenai PT Bank Mega perusahaan ini merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perbankan. Sebagai akibat adanya perubahan kondisi ekonomi di Indonesia, PT. Bank Mega mengalami penurunan kinerja saham dan kinerja keuangan, meskipun tidak harus mengikuti program rekapitalisasi perbankan pada tahun 2000. Penurunan kinerja yang dijalankan PT Bank Mega mengakibatkan bank tersebut melakukan restrukturisasi baik pada organisasi, jaringan, sistem dan prosedur operasional maupun sumber daya manusianya. Pada program restrukturisasi ini, PT Bank Mega mulai melakukan pengurangan jumlah karyawan secara bertahap sehingga sesuai dengan kapasitas sumber daya manusia yang dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan tidak memperpanjang kontrak tenaga tidak tetap, mulai memberlakukan pensiun dini secara sukarela, dan kemudian melakukan penyesuaian jumlah karyawan pada setiap bagian terutama pada karyawan di kantor pusat PT Mega Jakarta. Adanya perubahan organisasi ini tentunya akan membawa dampak bagi seluruh karyawan. Perubahan organisasi perusahan juga mengakibatkan adanya perubahan status suatu perusahaan, yang nantinya akan memberikan dampak yang luas kepada perusahaan tersebut. Dampak dari perubahan tersebut adalah perubahan mendasar baik mengenai bentuk maupun struktur perusahaan (Roussseau & Tijoriwala, 1999). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya aalah satu keberhasilan dalam pengembangan perusahaan adalah memiliki karyawan yang etos kerjanya tinggi. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Tasmara, (1999) yang menyatakan etos kerja merupakan suatu kekuatan tak terlihat yang mempengaruhi pemikiran, perasaan, pembicaraan serta tindakan manusia yang bekerja di dalam perusahaan. Jadi dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dalam perusahaan, termasuk di dalamnya cara berfikir, bersikap dan bertingkah laku dipengaruhi oleh etos kerja yang ada di dalam perusahaan. Etos kerja pada karyawan Bank Mega menarik untuk diteliti fenomenanya. Hal ini karena kondisi etos kerja karyawan tersebut tidak stabil dan kurang optimal sehingga menghambat produktivitas kerja perusahaan. Menurunnya etos kerja karyawan di Bank Mega menurut salah seorang manager pemasaran di bank tersebut dikarenakan adanya perubahaan dalam struktur kepemimpinan, beberapa indikator yang ada yaitu menurunnya target income perusahaan dan terjadi turn over yang cukup tinggi pada karyawan kontrak khususnya, dari devisi marketing. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi etos kerja, salah satunya yaitu kepemimpinan. Kepemimpinan nyata sekali sebagai suatu motor penting bagi sumber-sumber dan akibat-akibat suatu organisasi. Persepsi karyawan terhadap kepemimpinan dipengaruhi oleh apa dan bagaimana kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai dan pengalaman masa lalu yang dimiliki karyawan mempengaruhi dirinya saat suatu kepemimpinan diterapkan, di sini kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan visioner. Menurut Suwandi (dalam Suranta, 2002) keberadaan pemimpin dalam perusahaan adalah sangat penting karena ia memiliki peranan yang sangat strategis dalam mencapai tujuan perusahaan. Kepemimpinan merupakan tulang punggung pengembangan organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit untuk mencapai tujuan organisasi. Etos kerja ditujukan ke arah yang sukses dan memungkinkan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik atau lebih banyak. Istilah ini diterapkan pula dalam bidang industri dengan pengertian bahwa etos kerja merupakan bagian dari manajemen untuk dapat meningkatkan baik kualitas dan kuantitas kerja, maupun hasil kerja. Di dalam etos, ada semacam semangat untuk menyempurnakan segala sesuatu dan menghindari segala kerusakan sehingga setiap pekerjaannya diarahkan untuk mengurangi bahkan menghilangkan sama sekali cacat dari hasil pekerjaannya (no single defect). Oleh karena itu etos kerja sering dijadikan obyek penelitian dengan tujuan untuk mempertinggi produktivitas maupun prestasi kerja (Prihananti, 2000). Jadi dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dalam perusahaan, termasuk di dalamnya cara berfikir, bersikap dan bertingkah laku dipengaruhi oleh etos kerja yang ada di dalam perusahaan. Tasmara (2002) mempertegas uraian di atas bahwa etos kerja sebagai totalitas kepribadian diri individu dapat digunakan cara individu untuk mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna terhadap sesuatu yang mendorong individu untuk bertindak dan meraih hasil yang optimal (high performance). Sashkin (Sulistyanto, 2000) mengemukakan salah satu kepemimpinan yang efektif adalah Visionary Leadership (VL), yaitu pendekatan kepemimpinan yang bersifat komprehensif karena memberikan kerangka yang integratif dalam memahami faktor yang penting bagi pemimpin dan menguraikan interaksi beberapa aspek secara sinergis. Pendekatan ini mengidentifikasi karakteristik dan perilaku individu yang penting bagi pemimpin dan mengkaitkannya dengan bidang kritis seperti efektivitas manajemen, hubungan pimpinan dengan bawahan, dan membangun budaya organisasi. VL tidak hanya tepat digunakan oleh perusahaan privat, tetapi pendekatan ini juga relevan bagi organisasi militer dan pemerintahan karena dalam banyak penelitian dapat dibuktikan bahwa terdapat hubungan antara pimpinan yang memiliki skor tinggi pada VL dengan prestasi organisasi, kreativitas tim, perkembangan budaya organisasi. Menurut Komariah dan Triatna (2006) kepemimpinan visioner adalah kemampuan pemimpin dalam mencipta, merumuskan, mengomunikasikan/ dan mengimplementasikan pemikiran- mensosialisasikan/mentransfomasikan, pemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau sebagai hasil interaksi sosial di antara anggota organisasi dan stakeholders yang diyakini sebagai cita-cita organisasi di masa depan yang harus diraih atau diwujudkan melalui komitmen semua personel. McLaughlin (2001) mendefinisikan pemimpin yang visioner (Visionary leaders) adalah mereka yang mampu bekerja dengan intuisi dan imajinasi, penghayatan. Mereka menghadirkan tantangan sebagai upaya memberikan yang terbaik untuk organisasi dan menjadikannya sebagai sesuatu yang menggugah untuk mencapai tujuan organisasi. Mereka bekerja dengan kekuatan penuh dan tercerahkan dengan tujuan-tujuan yang lebih tinggi. Pandangannya jauh ke depan. Mereka adalah para social innovator, agen perubah, memandang sesuatu dengan utuh (big picture) dan selalu berfikir strategis. Pentingnya seorang pemimpin memiliki kemampuan menggambarkan dengan jelas tujuan-tujuan yang akan diraihnya di masa depan adalah syarat utama bagi seorang pemimpin yang visioner. Pada era industrialisasi ini semakin banyak perusahaan yang hanya menitikberatkan masalah mutu dalam produksinya. Begitu juga dengan persaingan yang ketat di pasar internasional telah memacu perusahaan untuk lebih mengutamakan masalah mutu tersebut bagi barang-barang yang diproduksi dari pada etos kerja karyawan. Akibatnya banyak dijumpai bahwa sebagian besar karyawan yang ada di pabrik-pabrik mengalami masalah atau “bermasalah dalam perusahaan“. Karyawan dalam bekerja kurang menunjukkan kesungguhannya, hanya asal bekerja atau bekerja seenaknya dan cenderung pasif, tidak taat pada peraturan perusahaan, mangkir atau membolos kerja, tidak bertanggung jawab atas pekerjaannya, kurang bisa bekerjasama bahkan keluar dari pekerjaan tersebut Etos kerja diharapkan dapat ditingkatkan dengan kepemimpinan visioner, karena pemimpin visioner memiliki kemampuan untuk memimpin menjalankan misi organisasinya melalui serangkaian kebijakan dan tindakan yang progressif menapaki tahapan-tahapan pencapaian tujuannya, adaptif terhadap segala perubahan dan tantangan yang dihadapi, serta efisien dan efektif dalam pengelolaan segala sumberdaya yang dimilikinya. Kenyataannya untuk memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tinggi bukanlah hal yang mudah. Hal tersebut berkaitan dengan sikap mental negatif yang dimiliki karyawan. Menurur McGregor (Saydam, 1996) pada dasarnya setiap manusia suka akan kebebasan dan tidak mau diperintah, kurang suka memikul tanggung jawab, tidak mau bekerja sama, suka mementingkan diri sendiri, mau bekerja yang ringan dengan penghasilan yang besar dan sulit untuk menerima perusahaan. Pada masa era reformasi sekarang mencari seorang pemimpin yang tepat memang tidak gampang. Hal tersebut disebabkan kebanyakan suplay tenaga profesional yang tersedia cenderung kurang siap untuk menjadi pemimpin yang matang. Kebanyakan para profesional kalau pun punya pendidikan sangat tinggi sayangnya tidak didukung oleh pengalaman yang cukup. Atau banyak pengalaman namun kurang didukung oleh pendidikan dan wawasan yang luas. Ketimpangan- ketimpangan tersebut bagi seorang pemimpin perusahaan memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap kinerja dari perusahaan. Hasil penelitian tentang produktivitas dan kinerja yang dilakukan Hikam (dalam Masyuri, 2002) pada pekerja di sektor aneka industri di Aceh, Samarinda dan Semarang menunjukkan hasil yang menarik. Hampir semua responden yang diteliti, yakni 85% menyatakan bangga atas pekerjaan yang mereka miliki, hanya 4,7% yang menyatakan tidak bangga, selebihnya tidak menjawab atau tidak tahu. Akan tetapi kebanggaan mereka tidak didapatkan pada prestasi yang mereka capai, melainkan karena mereka bekerja dan dengan statusnya itu mereka lebih dihormati masyarakat. Kebanggaan terhadap pekerjaan yang bukan berdasarkan pada prestasi kerja tentu saja mencerminkan terbatasnya kreativitas pekerja, yang pada gilirannya jelas akan mempengaruhi kinerja dan produktivitas para pekerja. Hasil penelitian tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa pada dasarnya masih banyak karyawan yang mempunyai kinerja maupun etos kerja yang rendah karena karyawan hanya bekerja bekerja tanpa memperhatikan hasil maupun prestasi yang ingin dicapai. . Banyak pemimpin instant hasil kolusi dan nepotisme di perusahaan- perusahaan Indonesia yang sangat minim kesiapan namun tetap saja dipakai demi kepentingan politik perusahaan. Akibatnya, seperti banyak terlihat di negara ini, banyak pemimpin yang malah membawa perusahaannya ke arah keruntuhan dan kebangkrutan dengan menelan banyak korban material bahkan jiwa. Meskipun demikian, tetap saja mereka memperkaya diri (tanpa merasa bersalah) dengan aset- aset perusahaan bahkan pinjaman bank yang seharusnya dipakai untuk menyehatkan perusahaan. Masalah-masalah akan timbul dalam lingkungan perusahaan apabila hubungan kerjasama serta pola kepemimpinan terhadap karyawan tidak harmonis, sehingga menyebabkan, karyawan bekerja tidak optimal, timbulnya kasus-kasus indisipliner kerja dan pada keadaan lebih lanjut akan menyebabkan tingginya angka keluar karyawan dari pekerjaannya. Hal-hal semacam ini akan membawa pengaruh yang sangat buruk terhadap etos kerja karyawan. Sesuai uraian di atas, timbul pertanyaan penelitian, “Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap kepemimpinan visioner dengan etos kerja ?” Pertanyaan tersebut perlu dikaji secara empiris. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “hubungan antara persepsi terhadap kepemimpinan visioner dengan etos kerja”. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai penulis adalah : 1. Mengetahui hubungan antara persepsi terhadap kepemimpinan visioner dengan etos kerja 2. Mengetahui peran persepsi terhadap kepemimpinan visioner dengan etos kerja 3. Mengetahui tingkat atau kondisi persepsi terhadap kepemimpinan visioner dan etos kerja 4. Mengetahui aspek kepemimpinan visioner yang paling dominan terhadap etos kerja. C. Manfaat Penelitian Manfaat yang akan diperoleh dari hasil penelitian ini adalah : 1. Bagi pimpinan perusahaan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi tentang hubungan persepsi terhadap kepemimpinan visioner dengan etos kerja pertimbangan dalam menentukan kebijaksanaan perusahaan, khususnya dalam menciptakan etos kerja yang baik. 2. Memberikan informasi untuk menambah pengetahuan karyawan yang berkaitan dengan persepsi terhadap kepemimpinan visioner dengan etos kerja, dan sebagai upaya peningkatan etos kerja pada semua karyawan. 3. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya bidang psikologi industri dan organisasi khususnya tentang hubungan antara persepsi terhadap kepemimpinan visioner dengan etos kerja. Selengkapnya.....