RATIH MARDIANI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut WHO tahun 2005, penyakit kanker merupakan penyebab
kematian nomor 2 di dunia setelah penyakit kardiovaskuler dan diperkirakan
setiap tahun 12 juta orang di seluruh dunia menderita kanker dan 7,6 juta
diantaranya meninggal dunia (Anonima, 2006). Pada tahun 2008 kanker
menempati urutan ke-9 dari 10 besar penyakit utama penyebab kematian di
Indonesia (Anonimb, 2008). Urutan 5 besar kanker di Indonesia pada tahun 2008
adalah kanker leher rahim, kanker payudara, kanker kelenjar getah bening, kanker
kulit dan kanker nasofaring (Anonimc, 2008).
Kanker serviks adalah penyebab kematian nomor 1 yang sering terjadi
pada perempuan di Indonesia, setiap harinya terdapat 40-45 perempuan
terdiagnosis kanker serviks dan 20-25 diantaranya meninggal dunia (Anonim,
2010). Di dunia kanker serviks menempati urutan ke-2 dari kanker yang sering
terjadi pada perempuan. Diperkirakan tiap tahun terdapat 490.000 perempuan
terdiagnosa dan 270.000 meninggal dunia akibat kanker serviks (Khan, 2009).
Angka kejadian kanker serviks di negara yang sedang berkembang 6 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan negara maju (Kitchener and Symonds, 2009).
Angka kejadian kanker serviks semakin hari semakin meningkat. Dampak
yang diakibatkan kanker serviks sangat banyak karena kanker serviks paling
sering terjadi pada usia wanita produktif yaitu sekitar 30-50 tahun. Dampak yang
1
2
timbul antara lain masalah fisik dan psikis, sosial dan ekonomi, perawatan,
pendidikan anak dan suasana keluarga, untuk itu diperlukan pemilihan terapi yang
tepat untuk menurunkan angka kematian, kesakitan, memperpanjang umur
harapan hidup serta meningkatkan kualitas hidup pasien (Anonim, 2010).
Terapi untuk penanganan kanker serviks pada dasarnya sama dengan
pengobatan kanker pada umumnya antara lain dengan pembedahan, radiasi, terapi
sitostatika atau kombinasi metode-metode tersebut (Kathleen, 2005). Terapi
menggunakan obat untuk pasien kanker disebut terapi sitostatika atau kemoterapi.
Obat-obat sitostatika seringkali diberikan dalam bentuk kombinasi. Terapi
menggunakan obat-obat sitostatika dapat menimbulkan berbagai efek samping
(Tambunan, 1993). Efek samping yang paling sering terjadi pada pasien dengan
terapi sitostatika adalah mual dan muntah (Michael, 1998). Mual dan muntah
yang disebabkan oleh kemoterapi kanker terjadi pada 70%-80% pasien dan dapat
menyebabkan angka morbiditas yang signifikan (Navari, 2007).
Mual dan muntah yang terjadi pada pasien kanker serviks disebabkan
karena sitostatika pilihan utama yang digunakan untuk terapi kanker serviks
adalah obat-obat golongan emetogenik tingkat tinggi antara lain cisplatin dan
kombinasi cisplatin-5FU (Greer, et al, 2008). Meskipun pada sebagian besar
pasien yang mengalami mual dan muntah dapat dikontrol dengan obat antiemetika
yang sesuai namun muntah masih menjadi masalah pada beberapa pasien kanker
(Tonato, et al, 2004).
Mual dan muntah dapat mengganggu, melemahkan dan menurunkan
kualitas hidup pasien (Michael, 1998). Ketidakmampuan penanganan mual dan
3
muntah bisa berakibat lanjut seperti ketidakseimbangan elektrolit, dehidrasi,
anoreksia maupun malnutrisi, sehingga penatalaksanaan dan kontrol penanganan
mual dan muntah yang optimal akan membantu dan meningkatkan hasil
pengobatan dan kesembuhan pasien (Nurrochmad, 2004).
Penelitian mengenai pemberian antiemetik khususnya untuk pasien kanker
yang memperoleh sitostatika sangat penting dilakukan karena tidak semua rumah
sakit memberikan terapi yang paripurna kepada pasien kanker. Tujuan utama
evaluasi pola penggunaan antiemetika di pusat-pusat layanan kesehatan adalah
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kanker. Hasil penelitian di salah satu
rumah sakit di Yogyakarta pada tahun 2003 menunjukkan bahwa pemilihan obat
antiemetik yang diberikan pada pasien kanker yang mendapat sitostatika dengan
tingkat emetogenik ringan, sedang dan berat belum sesuai dengan guidelines
Pharmacist of Australia (Perwitasari, 2006).
Penelitian dilakukan di RSUD. Dr. Moewardi Surakarta karena merupakan
rumah sakit rujukan untuk wilayah eks Karesidenen Surakarta dan sekitarnya juga
Jawa Timur bagian barat dan Jawa Tengah bagian timur (Anonim, 2004). Pada
tahun 2009 angka kejadian kanker serviks menempati urutan pertama dari seluruh
penyakit kanker di RSUD. Dr. Moewardi Surakarta dengan jumlah pasien kanker
serviks sebesar 319 orang.
Hal tersebut yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian
yang bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan antiemetik pada pasien kanker
serviks dengan terapi sitostatika di Instalasi Rawat Inap RSUD. Dr. Moewardi
Surakarta tahun 2009.
4
B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apakah
penatalaksanaan mual dan muntah pada pasien kanker serviks dengan terapi
sitostatika di RSUD. Dr. Moewardi Surakarta pada tahun 2009 sesuai dengan
protokol kemoterapi RSUD. Dr. Moewardi Surakarta ?
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluai kesesuaian penggunaan
antiemetika pada pasien kanker serviks dengan terapi sitostatika di Instalasi Rawat
Inap RSUD. Dr. Moewardi Surakarta pada tahun 2009 yang disesuaikan dengan
protokol kemoterapi RSUD. Dr. Moewardi Surakarta.
D. Tinjauan Pustaka
1. Definisi
a. Kanker
Kanker adalah suatu penyakit sel dengan ciri gangguan atau kegagalan
mekanisme pengatur multiplikasi dan fungsi homeostasis lainnya pada
organisme multiseluler (Nafrialdi dan Sulistia, 2007). Kanker timbul jika sel
dengan berbagai faktor pemicu keluar dari batas tempat pertumbuhan
normalnya dan mulai membelah dengan tidak teratur (Boerner, et al, 2003).
b. Kanker serviks
Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah kanker pada ujung bawah
rahim yang menonjol ke vagina (Mardiana, 2004). Serviks merupakan bagian
5
terendah dari rahim, biasa disebut serviks uteri. Serviks terhubung dengan
uterus ke vagina. Bagian serviks yang dekat dengan uterus disebut endoserviks,
sedangkan yang dekat dengan vagina disebut eksoserviks. Tempat dimana
kedua bagian tersebut bertemu disebut zona transformasi. Sebagian besar
kanker serviks berawal pada zona transformasi (Anonima, 2008).
2. Patologi
Ada 2 tipe primer kanker serviks, yaitu karsinoma sel skuamosa dan
adenokarsinoma. Kira-kira 80-90% kanker serviks bertipe karsinoma sel
skuamosa. Kanker ini berasal dari sel skuamosa pada permukaan eksoserviks dan
sebagian besar berawal ketika eksoserviks bertemu dengan endoserviks. Kurang
lebih 10-20% kanker serviks bertipe adenokarsinoma. Adenokarsinoma menjadi
hal yang umum pada wanita yang lahir pada 20-30 tahun terakhir.
Adenokarsinoma serviks berkembang dari produksi lendir pada kelenjar sel
endoserviks. Pada waktu yang akan datang kedua tipe kanker tersebut (karsinoma
sel skuamosa dan adenokarsinoma) akan menjadi karsinoma adenoskuamos atau
karsinoma kombinasi, meskipun angka kejadiannya masih sangat jarang
(Anonima, 2008).
3. Etiologi dan faktor resiko
Seperti kanker yang lain pada umumnya, penyebab kanker serviks belum
diketahui secara pasti, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yang bisa
menjadi faktor resiko, antara lain:
6
a. Aktivitas seksual, invasi kanker serviks dapat juga disebabkan karena
penyakit menular seksual.
b. HPV (Human Papiloma Virus), merupakan kofaktor yang sangat penting
pada perkembangan kanker serviks. Di dunia diperkirakan kurang lebih
90% - 100% dari semua perkembangan kanker serviks disebabkan oleh
infeksi HPV. Dari berbagai jenis subtipe dari HPV, subtipe 16, 18, 31, 33,
dan 35 merupakan subtipe yang paling sering dijumpai pada kanker serviks.
c. Hubungan seksual pada usia muda, hal tersebut disebabkan karena pada awal
masa reproduksi daerah transformasi pada serviks lebih rentan terhadap
agen onkogenik, seperti HPV.
d. Merokok, merupakan faktor resiko yang signifikan pada kanker serviks.
Mekanismenya yaitu melalui absorbsi substansi berbahaya dari rokok
melalui paru-paru dan dibawa ke dalam aliran darah ke seluruh tubuh.
Beberapa peneliti meyakini bahwa substansi tersebut merusak DNA sel
serviks dan dapat menyebabkan pertumbuhan sel kanker.
e. Kontrasepsi oral, merupakan salah satu faktor yang meningkatkan invasi
kanker serviks. Semakin lama seorang wanita mengkonsumsi obat
kontrasepsi oral maka semakin tinggi resiko terkena kanker serviks.
f. Sistem imun, misalnya pada pasien yang terinfeksi oleh Human
Immunodeffisiensi Virus (HIV) mempunyai resiko tinggi terkena kanker
serviks (Dennis, et al, 2001).
7
g. Status sosial ekonomi, kanker serviks banyak dijumpai pada golongan sosial
ekonomi rendah, faktor ini berhubungan dengan gizi dan imunitas
h. Jumlah kehamilan dan paritas yang tinggi, beberapa penelitian menyatakan
hal tersebut mungkin dapat disebabkan karena adanya perubahan hormon
dan melemahnya sistem imun tubuh pada wanita yang sedang hamil
sehingga lebih mudah terinfeksi virus HPV dan pertumbuhan kanker.
i. Jumlah pasangan seksual yang meningkat, berhubungan dengan transmisi
penyakit penyakit menular seksual (Tambunan, 1993).
j. Genetika, kanker serviks dapat diturunkan melalui hubungan keluarga. Jika
seorang wanita mempunyai ibu atau kakak perempuan yang terdiagnosa
kanker serviks maka kemungkinan wanita tersebut untuk terkena kanker
serviks meningkat menjadi 2-3 kali (Anonima, 2008).
4. Diagnosa
Metode yang dilakukan untuk mendeteksi adanya kanker seviks antara lain tes
pulasan Pap, kolposkopi, biopsi. Pulasan Pap digunakan sebagai uji penapisan
untuk mendeteksi perubahan neoplastik. Pulasan yang abnormal ditindaklanjuti
dengan biopsi untuk mendapatkan jaringan yang digunakan untuk pemeriksaan
sitologi, kolposkopi digunakan untuk menentukan daerah yang abnormal
(Kathleen, 2005). Tes pap smear merupakan cara yang paling sering digunakan
untuk mendeteksi kanker servik. Di negara yang para wanitanya tidak dapat
melakukan tes pap smear secara rutin maka angka kematian akibat kanker serviks
lebih tinggi (Anonima, 2008).
8
5. Tanda-tanda dan gejala
Gejala yang sering ditemukan pada karsinoma serviks invasif adalah
perdarahan dan sekret vagina yang abnormal. Sekitar 80 – 90% pasien mengalami
perdarahan abnormal. Perdarahan itu dapat berupa perdarahan pasca koitus,
menstruasi yang abnormal atau munculnya bercak-bercak antar haid. Beberapa
pasien dapat mengalami perdarahan pasca menopause (Hacker and George, 2001).
Bersamaan dengan tumbuhnya tumor, muncul gejala nyeri punggung bagian
bawah atau nyeri tungkai akibat penekanan saraf lumbosakralis, frekuensi
berkemih yang sering dan mendesak, hematuria dan pendarahan rektum
(Kathleen, 2005).
6. Stadium klinis
Stadium klinis adalah proses untuk mengetahui seberapa jauh penyebaran
kanker. Penentuan stadium klinik kanker serviks yang sering digunakan yaitu
sistem FIGO (International Federation of Gynecology and Obstetric). Sistem
FIGO berbeda dengan sistem penentuan stadium klinis untuk kanker lain. Sistem
stadium klinis untuk kanker lain mengikutsertakan penyebaran kanker pada
kelenjar getah bening, sedangkan sistem FIGO tidak. Penentuan stadium klinik
oleh FIGO terhadap kanker serviks didasarkan pada pemeriksaan fisik dan
pengujian noninvasif (Anonima, 2008).
Proses penentuan stadium klinik penting untuk dilakukan karena penetapan
stadium kanker adalah faktor kunci dalam memilih terapi yang tepat. (Anonima,
9
2008). Sistem FIGO mengklasifikasikan penyakit mulai dari stadium I sampai IV,
klasifikasi kanker serviks berdasarkan FIGO dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Stadium Klinis Kanker Serviks Menurut International
Federation of Gynecology and Obstetric (FIGO)
Stadium
Patologi
FIGO
0 Karsinoma in situ (kanker pranvasif)
Kanker serviks yang terbatas hanya pada serviks (penyebaran ke corpus
1
diabaikan)
IA Invasi kanker didiagnosa dengan mikroskopi
I A1 Invasi minimal, semua lesi yang dapat dilihat dengan mikroskop
Kedalaman invasi stroma 3,00 mm atau kurang dan 7,00 mm atau
I A2
kurang pada penyebaran yang mendatar
Kedalaman invasi stroma lebih dari 3,00 mm dan tidak lebih dari 5,00
IB
dan 7,00 mm atau kurang pada penyebaran yang mendatar
Secara klinik lesi dapat dilihat 4,00 cm atau kurang dengan pembesaran
I B1
maksimal
Secara klinik lesi dapat dilihat 4,00 atau lebih dengan pembesaran
I B2
maksimal
Karsinoma menyerang di luar serviks tetapi belum meluas ke dinding
II
pelvis dan 1⁄3 distal vagina
IIA Tanpa ada keterlibatan parametrium yang nyata
IIB Melibatkan parametrium nyata
Tumor meluas ke dinding pelvis dan/atau meliputi 1⁄3 distal vagina
III
dan/atau menyebabkan hydronephrosis atau tidak berfungsinya ginjal
III A Tumor meluas ke 1⁄3 distal vagina, tidak menyebar ke dinding pelvis
Tumor menyebar ke dinding pelvis dan/atau menyebabkan
III B
hydroneprosis atau tidak berfungsinya ginjal
Tumor menyerang mukosa dari kandung kemih atau rectum dan/atau
VI A sudah keluar dari pelvis. Edema bulosa pada kandung kemih saja tidak
boleh dimasukkan pada stadium T4
IV B Menyebar ke organ yang lain
(Greer,et al, 2008)
7. Terapi kanker serviks
Penyebaran utama invasi karsinoma serviks yaitu dengan perluasan secara
langsung dan penyebaran melalui kelenjar limfa. Terapi kanker serviks harus
mempunyai sasaran yang tepat tidak hanya pada letak tumor, tetapi juga jaringan
disekeliling tumor dan kelenjar limfa. Terapi dilakukan dengan histerektomi
10
radikal, limfadenoktomi pelvis, radiasi dengan kemoterapi yang sesuai atau
kombinasi dari semuanya (Decherney, 2007).
Secara umum dikenal 3 terapi yang biasa dilakukan untuk penanganan kanker,
yaitu :
a. Terapi pembedahan
Pembedahan digunakan baik dalam diagnosis maupun penentuan stadium
tumor. Berdasarkan pengalaman, pembedahan radikal memberikan
kemungkinan penyembuhan yang optimal dan tetap menjadi pilihan pada
beberapa jenis kanker (Davey, 2006).
b. Radiasi / Radioterapi
Radioterapi memegang peranan yang penting dalam pengobatan berbagai
kanker. Radiasi pengion menginduksi kerusakan DNA, yang memicu apoptosis
(kematian sel terprogram). Dosis radiasi dibagi (difraksi) untuk memungkinkan
pemulihan jaringan normal sehingga mengurangi efek samping (Davey, 2006).
Radiasi dapat diberikan sebelum pembedahan sebagai upaya untuk
menyusutkan lesi serviks yang sangat besar dan menjadikannya dapat diatasi
dengan prosedur pembedahan yang lebih terbatas (Hacker and George, 2001).
c. Terapi Sitostatika
Terapi sitostatika bekerja dengan mekanisme sebagai berikut, merusak DNA
dari sel-sel yang membelah dengan cepat, yang dideteksi oleh jalur P53/Rb,
sehingga memicu apoptosis, merusak apparatus spindle, mencegah kejadian
pembelahan sel dan menghambat sintesis DNA. Terapi tersebut dapat
11
memperpanjang hidup tapi tidak menyembuhkan. Beberapa jenis kemoterapi
yang tersedia adalah :
1. Antagonis folat, analog purin dan pirimidin : obat-obat ini menghambat
sintesis DNA (metotreksat, 5-fluorourasil dan hidroksiurea).
2. Obat pengalkilasi (alkylating agent), bekerja dengan merusak DNA. Obat
yang termasuk golongan ini adalah siklofosfamid, melfalan dan platina.
3. Obat yang dapat berinteraksi dengan topoisomerase I dan topoisomerase II
mengadakan interkalasi dengan DNA untai ganda dan membentuk
kompleks dengan topoisomerase II yang mudah membelah, yaitu enzim
inti sel penting yang yang menyebabkan pembelahan DNA untai ganda.
4. Alkaloid dan taksan menghambat fungsi mikrotubulus dan mengganggu
mitosis. Contohnya adalah alkaloid vinka dan taksan (Davey, 2006).
Terapi sitostatika untuk kanker serviks dapat berupa sitostatika sebagai agen
tunggal maupun sitostatika kombinasi, di bawah ini merupakan regimen
sitostatika yang digunakan untuk kanker serviks yang telah bermetastasis yaitu,
1. Kombinasi terapi pilihan pertama: cisplatin/paclitaxel (kategori 1),
cisplatin/topotecan (kategori 1), cisplatin/gemcitabine (kategori 2B),
carboplatin/paclitaxel (Greer, et al, 2008).
2. Terapi agen tunggal pilihan pertama: cisplatin, carboplatin, paclitaxel,
topotecan (kategori 2B) (Greer, et al, 2008). Diantara obat kemoterapi
yang digunakan pada kanker serviks, cisplatin menunjukkan aktivitas yang
paling konsisten sebagai agen tunggal. Cisplatin adalah agen tunggal untuk
kanker serviks yang dievaluasi paling ekstensif. Dosis 100 mg/m2
12
menunjukkan respon yang lebih besar daripada dosis 50 mg/m2 (31% vs
21%), tapi dosis yang lebih besar berhubungan dengan meningkatnya
resiko toksisitas. Taksan dilaporkan mempunyai aktivitas pada kanker
serviks. Pada penelitian dari paclitaxel (taxol) dengan dosis 170 mg/m2
selama 24 jam menunjukkan respon objektif rata-rata 17% dan pada
penelitian paclitaxel lain dengan dosis 250 mg/m2 selama 3 jam
menunjukkan respon rata-rata 27% (Dennis, et al, 2001).
3. Terapi pilihan kedua: semua agen yang masuk dalam kategori 2B,
docetaxel, ifosfamid, vinorelbin, irinotecan, mitomycin, 5-FU, epirubicin
(Greer, 2008). Ifosfamid menghasilkan respon rata-rata antara 33% - 50%
pada berbagai dosis. Dosis 1,5 g/m2 selama 30 menit untuk 5 hari
menghasilkan respon 40% dan 20%. Kampotensin, irinotecan {(CPT-
11(Captosar)} dan topotecan (Hycamptin). Hasil dari respon objektif rata-
rata adalah 21% dan 19% (Dennis, et al, 2001).
8. Efek samping terapi sitostatika
Terapi sitostatika menyebabkan mielosupresi sehingga menimbulkan resiko
infeksi (neutropenia) dan perdarahan (trombositopenia). Kerusakan membran
mukosa menyebabkan nyeri pada mulut, diare dan stimulasi zona pemicu
kemotaksis menimbulkan mual dan muntah. Semua jaringan yang membelah
dengan cepat, seperti folikel rambut (alopesia) dan epitel saluran germinal
(infertilitas), sangat rentan terhadap efek kemoterapi dan efek lanjut seperti
keganasan sekunder semakin banyak ditemukan. Semua kemoterapi bersifat
13
teratogenik. Beberapa obat menyebabkan toksisitas yang spesifik terhadap organ,
seperti ginjal (cisplatin) dan saraf (vinkristin) (Davey, 2006).
9. Mual dan muntah
Mual adalah sensasi subjektif, sedangkan muntah adalah reflek fisik akibat
dari gerakan pengeluaran komponen lambung. Muntah tidak selalu didahului
dengan mual dan melibatkan proses psikologi yang kompleks. Ketika muntah
didahului dengan rasa mual, rasanya semakin meningkat secara cepat sampai
ambang muntah tercapai dan menstimulasi muntah (Walker, 2003). Kedua kondisi
tersebut mungkin terjadi secara temporer tanpa diikuti tanda atau gejala tertentu
dan mungkin merupakan bagian dari presentasi klinis yang lebih kompleks. Mual
dan muntah berhubungan dengan berbagai presentasi klinis, seperti gangguan
gastrointestinal dengan atau tanpa disertai dengan penyakit kardiovaskular,
infeksi neurologi atau gangguan proses metabolisme. Mual dan muntah dapat juga
menggambarkan keadaan seperti hamil, mengikuti prosedur operasi atau
pemberian obat-obatan tertentu seperti penggunaan kemoterapi kanker (DiPiro
and Thomas, 2005).
Mual dan muntah yang diakibatkan oleh sitostatika dipengaruhi oleh jenis
sitostatika yang diberikan, dosis dan rute pemberian, selain itu faktor individu
juga turut berperan pada terjadinya mual dan muntah, antara lain, umur, gender
dan konsumsi alkohol (Dennis, et al, 2001). Kejadian mual dan muntah yang
disebabkan oleh sitostatika dipengaruhi oleh tingkat emetogenik masing-masing
14
sitostatika (Walker, 2003), pada Tabel 2 tertera kategori agen sitostatika
berdasarkan potensi emetogeniknya menurut NCCN tahun 2007.
Tabel 2. Kategori Sitostatika Berdasarkan Tingkat Emetogeniknya Menurut NCCN
Tahun 2007
Level Obat
Bleomycin
Busulfan
Chlorambucil
Melphalan
Methotrexate ( ≤ 50mg/m2)
Level 1 Vinblastine
(Frekuensi < 10%) Vinkristine Vinorelbine Pentostatin Interferon alfa Rituzimab Asparaginase Cytarabine Doxorubicin HCL Etoposide Fluorouracil Level 2 Methotrexate (Frekuensi 10%-30%) Paclitaxel Topotecan Mitomicin Docetaxel Gemcitabin Cyclophosphamide (1,5mg/m2) Donorubicin Methotrexat (250-1000 mg/m2) Level 3 Carboplatin Carmustine (< 250 mg/m2) (Frekuensi 30%-90%) Cytarabine (≥ 1 g/m2) Dactynomycin Doxorubicin HCL Melphalan (> 50 mg/m2)
Carmustine (>250 mg/m2)
Cisplatin
Cyclophosphamide (>1500 mg/m2)
Level 4
Dacarbazine
(Frekuensi > 90%)
Lomustin
Streptozocin
Mechlorethamin
(Kris, et al, 2006)
15
Terapi sitostatika pada kanker serviks biasanya diberikan dalam bentuk
kombinasi. Penentuan tingkat emetogenisitas untuk regimen terapi sitostatika
kombinasi menurut American Society of Health-System Pharmacist (1999)
sebagai berikut :
a. Tingkat emetogenisitas tertinggi dari regimen kemoterapi ditentukan
terlebih dahulu.
b. Penambahan obat kemoterapi level 1 tidak mempengaruhi emetogenisitas
regimen kemoterapi
c. Penambahan 1 atau lebih obat kemoterapi level 2 akan meningkatkan
emetogenisitas regimen kemoterapi 1 level lebih tinggi dari obat dengan
emetogenisitas tertinggi.
d. Penambahan obat kemoterapi level 3 dan 4 akan meningkatkan
emetogenisitas regimen kemoterapi 1 level lebih tinggi tiap obat.
(DiPiro and Thomas, 2005)
Dengan peningkatan penggunaan dari sitostatika sebagai terapi utama
maupun terapi tambahan, maka dibutuhkan pengontrolan mual dan muntah
sebagai salah satu pertimbangan penting pada pengobatan kanker (Dennis, et al,
2001). Mual dan muntah yang tidak diterapi dengan tepat dapat mengganggu,
melemahkan dan menurunkan kualitas hidup pasien (Michael, 1998).
a. Patofisiologi mual dan muntah
Mual dan muntah yang disebabkan kemoterapi diakibatkan oleh stimulasi dari
reseptor pada CNS dan/atau gastrointestinal. Area reseptor ini mengirim pesan
pada pusat muntah pada medulla, yang kemudian berkoordinasi dengan
16
Chemoreceptors trigger zone (CTZ) yang berlokasi di medulla dan berperan
sebagai chemosensor. Ikatan antara rangsangan dengan pusat muntah tersebut
mengakibatkan rangsangan pada pusat salivasi, pusat pernapasan, pharyngeal, GI
dan otot perut yang kemudian menyebabkan muntah (Dennis, et al, 2001).
Beberapa reseptor neurotransmitter terletak di pusat muntah, CTZ dan
gastrointestinal. Contoh dari reseptor-reseptor tersebut antara lain reseptor
kolinergik dan histamine, dopaminergik, opiate, serotonin, neurokinin dan
benzodiazepine. Obat kemoterapi, metabolitnya atau komponen emetik lain secara
teoritis menyebabkan proses muntah melalui salah satu atau lebih dari reseptor
tersebut. Antiemetika bekerja secara efektif dengan mengeblok atau bekerja
secara antagonis dari reseptor emetogenik (DiPiro and Thomas, 2005).
Tiga jenis muntah yang disebabkan oleh obat sitostatika, adalah sebagai
berikut:
a. Mual dan muntah akut, terjadi 1-2 jam setelah pemberian obat dan selalu
dikontrol selama 24 jam. Faktor yang berpotensi menyebabkan mual,
muntah bermacam-macam diantaranya obat, dosis, rute pemberian dan
pasien.
b. Muntah yang dapat diantisipasi adalah mual/muntah yang dimulai sebelum
pemberian kemoterapi dan hal ini merupakan masalah pada pasien yang
sebelumnya kurang diterapi dengan baik atau pasien yang menerima obat
dengan potensi emetogenik yang tinggi. Lingkungan rumah sakit atau
klinik atau terapi lain yang dapat menyebabkan muntah.
17
c. Muntah lanjutan adalah mual, muntah yang terjadi 24 jam atau lebih
setelah pemberian kemoterapi, umumnya tejadi akibat pemberian cisplatin
(Michael, 1998).
10. Antiemetika
Obat antiemetika yang digunakan untuk penanganan mual dan muntah yang
disebabkan oleh kemoterapi didasarkan pada tingkat emetogenik dari regimen
kemoterapi dan penggunaan kombinasi obat antiemetika berdasarkan target
reseptor yang bervariasi. Beberapa golongan obat antiemetika diklasifikasikan
menurut antagonis reseptor neurotransmiter yang berpengaruh pada patofisiologi
mual dan muntah (Walker, 2003).
Penelitian ini menggunakan standart terapi penanganan mual dan muntah dari
protokol kemoterapi RSUD. Dr. Moewardi Surakarta. Menurut protokol
kemoterapi RSUD. Dr. Moewardi Surakarta pemberian antiemetika untuk terapi
sitostatika digolongkan menurut kombinasi obat sitostatika yang digunakan.
Beberapa antiemetika yang digunakan antara lain golongan antagonis serotonin,
golongan benzodiazepine, kortikosteroid dan diphenhidramin (Anonim, 2009).
Beberapa obat antiemetika yang digunakan untuk mual dan muntah yang
disebabkan obat-obat sitostatika antara lain:
1. Golongan antagonis serotonin
Ondansetron, granisetron dan dolasetron adalah antagonis reseptor 5-HT3
yang paling selektif. Antagonis reseptor 5-HT3 merupakan standart terapi pada
penatalaksanaan mual dan muntah akibat kemoterapi, radiasi dan pasca operasi.
18
Antiemetika golongan antagonis reseptor 5-HT3 bekerja dengan menghambat
reseptor presinaptik serotonin pada sensor saraf vagus pada serabut dinding
usus (DiPiro and Thomas,2005). Efek samping ondansetron, granisetron dan
dolasetron meliputi sakit kepala, konstipasi dan elevasi kadar enzim hepatik.
Keefektifan agen-agen ini dalam mengontrol mual muntah pada semua agen
kemoterapi mencapai 70% (Dennis, et al, 2001). Regimen dosis untuk
antiemetik golongan antagonis serotonin dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Dosis Antiemetik Golongan Antagonis Serotonin
Dosis
Agen sitostatika
oral intravena
Dolasetron 100 mg 100 mg atau 1,8 mg/kg
Granisetron 2 mg 1 mg atau 0,01 mg/kg
Ondansetron 24 mg 8 mg atau 0,15 mg/kg
Palonosetron - 0,25 mg
(Kris, et al, 2006)
Menurut protokol kemoterapi RSUD. Dr. Moewardi Surakarta dosis lazim
untuk ondansetron secara intravena yaitu 8 mg (1 ampul) (Anonim, 2009).
2. Metoklopramid
Metoklopramid digunakan untuk mual dan muntah dari berbagai penyebab
(sitotoksik emetogenik, terapi radiasi, pembedahan, kehamilan dan ulkus
lambung). Aktivitas antiemetiknya berhubungan dengan efek gastrokinetik
dan aksi antagonis dopamin sentral. Obat menginhibisi efek sentral dan perifer
substansi emetik yaitu apomorphin. Efek samping metoklopramid terutama
pada CNS (gelisah, lesu, mengantuk dan kelelahan) atau gastrointestinal (mual
dan diare). Efikasi metoklopramid adalah obat pilihan kedua setelah antagonis
serotonin (Berkow and Fletcher, 1999).
19
3. Lorazepam
Meskipun lorazepam dan golongan benzodiazepine lain poten sebagai obat
antiansietas yang dapat bermanfaat jika ditambahkan pada terapi antiemetik,
tetapi agen tersebut tidak boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk
kemoterapi yang menyebabkan muntah (Dennis, et al, 2001). Dosis lazim
untuk lorazepam/diazepam yang digunakan menurut protokol kemoterapi
RSUD. Dr. Moewardi Surakarta yaitu sebesar 2 mg/tablet (Anonima, 2008).
4. Kortikosteroid
Golongan kortikosteroid yang memiliki efikasi sebagi antiemetik antara
lain prednison, metilprednisolon dan deksametason. Deksametason dapat
secara baik menangani mual dan muntah yang disebabkan oleh kemoterapi
dan pasca operasi baik sebagai agen tunggal atau kombinasi dengan antagonis
reseptor 5-HT3. Pada kemoterapi yang menyebabkan mual dan muntah
deksametason menunjukkan efikasi yang baik untuk pencegahan mual dan
muntah akut akibat cisplatin dan mual muntah lanjutan yang disebabkan oleh
penggunaan kemoterapi dengan tingkat emetogenik sedang (DiPiro and
Thomas, 2005). Dosis lazim untuk deksametason yang digunakan menurut
protokol kemoterapi RSUD. Dr. Moewardi Surakarta yaitu sebesar 5
mg/ampul (iv) (Anonim, 2008).
5. Phenothiazine (misalnya, prochlorperazine, fluphenazine)
Phenothiazine beraksi secara selektif mendepresi CTZ dan beraksi pada
pusat muntah. Efek samping yang ditimbulkan antara lain mengantuk,
hipotensi dan reaksi distonia (Berkow and Fletcher, 1999).
20
6. Haloperidol dan Droperidol
Haloperidol dan droperidol mempunyai aksi antiemetik melalui
perintangan dopaminergik. Pada penelitian yang membandingkan haloperidol
dan metoklopramid pada pasien yang menerima cisplatin, menunjukkan
bahwa kedua agen efektif. (Berkow and Fletcher, 1999).
7. Dronabinol dan Cannabinoids
Delta-9-tetrahydrocannabinol (THC), digunakan untuk terapi mual dan
muntah yang disebabkan oleh kemoterapi kanker dan pada pasien yang tidak
berespon terhadap terapi antiemetik konvensional. THC merupakan komponen
psikoaktif utama dari marijuana. Mekanisme aksi antiemetiknya masih belum
diketahui, tetapi cannabinoid berikatan dengan reseptor opioid di otak depan
dan mungkin secara langsung mencegah mual dan muntah yang disebabkan
oleh obat antikanker tertentu. Pemakaian THC yang mudah disalahgunakan
dan dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologis (Berkow and
Fletcher, 1999).
8. Antagonis selektif reseptor neurokinin-1 (NK-1)
Reseptor NK-1 menunjukkan sebagai kelas baru sebagai antiemetik yang
digunakan sebagai terapi mual dan muntah baik itu tipe akut atau tertunda
(Nurrochmad, 2004). Aprepitant mempunyai potensi interaksi dengan
berbagai macam obat karena aprepitant adalah substrat, inhibitor moderat dan
penginduksi sitokrom isoenzym CYP3A4 dan CYP2C9 (DiPiro and Thomas,
2005). Di Indonesia peredaran aprepitant sangat langka karena aprepitant
merupakan obat yang harganya relatif mahal.
21
Standart dosis untuk agen antiemetik golongan reseptor antagonis non-5-
HT3 untuk pencegahan dan penatalaksanaan kemoterapi yang menyebabkan
muntah dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 . Standart Dosis Antiemetik Non-Antagonis Reseptor 5-HT3
Antiemetik
Dosis/hari Rute
Golongan Obat
Prochlorperazin 10-40 mg sehari setiap 6-8 jam po, iv, im
25 mg sehari sertiap 6-8 jam pr
Phenotiazin
Thiethylperazin 10 mg sehari setiap 8 jam po, im, iv, pr
Perphenazin 4-5 mg sehari setiap 6 jam po, iv, im
Butyrophenon Haloperidol 1-3 mg sehari setiap 2-8 jam po, im, iv
Droperidol 5-15 mg sehari setiap 2 jam iv
Cannabinoids Marinol 5-10 mg/m2 setiap 3-4 jam po
Deksametason 20 mg sebelum kemoterapi po, iv
4-8 mg setiap 12 jam (lanjutan)
Kortikosteroid
Metilprednisolon 0,5-1mg/kg sebelum kemoterapi po, im, po
atau 1xsehari setiap 12 jam IV
(total maksimum 4mg/kg/24 jam)
Subtitusi Metoklopramid 1-3 mg/kg setiap 2 jam iv
benzamid 0,5 mg/kg setiap 2-6 jam po
Benzodiazepin Lorazepam 1-2 mg sebelum kemoterapi iv, sl
e 1 mg setiap 6-12 jam po
Lain-lain ACTH 1 mg setiap 12 jam im
Scopolamin 1 patch setiap 72 jam td
Antagonis 125 mg sehari, kemudian 80 mg
po
reseptor NK-1 pada hari kedua dan ketiga
(Koda-Kimble, 2007)
Penatalaksanaan dan kontrol optimal pasien kanker selama mendapat obat
kemoterapi penting dilakukan karena konsekuensi yang terjadi jika mual dan
muntah tidak segera diatasi antara lain, secara fisik dapat menyebabkan dehidrasi,
gagal ginjal, ketidakseimbangan elektrolit, malnutrisi, dan berat badan turun.
Secara psikologis menyebabkan penurunan kualitas hidup, meningkatkat level
stress, memperpanjang masa rawat inap pasien dan tegang otot (Michael, 1998).
Penatalaksanaan dan kontrol optimal pasien kanker selama mendapat obat
22
kemoterapi terutama berkaitan dengan penanganan mual dan muntah akan
membantu dan meningkatkan hasil pengobatan dan kesembuhan pasien
(Nurrochmad, 2004).
11. Kerasionalan obat
Penggunaan obat dikatakan rasional jika tepat secara medik dan memenuhi
persyaratnan-persyaratan tertentu. Masing-masing persyaratan mempunyai
konsekuensi yang berbeda-beda, kesalahan dalam menegakkan diagnosis akan
menyebabkan kesalahan dalam menentukan jenis pengobatan. Secara praktis
penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Tepat indikasi yaitu penilaian obat yang didasarkan pada indikasi adanya
suatu gejala atau diagnosa penyakit yang akurat
b. Tepat pasien yaitu pemilihan obat yang disesuaikan dengan kondisi
fisiologi dan patologi pasien dengan melihat ada tidaknya kontraindikasi
c. Tepat obat yaitu keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah
diagnosis ditegakkan dengan benar, sehingga obat yang dipilih harus yang
memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit.
d. Tepat dosis yaitu dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh
terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan khususnya
untuk obat dengan rentang terapi yang sempit sangat beresiko, sebaliknya
dosis yang terlalu kecil tidak menjamin tercapainya efek terapi yang
diharapkan.
(Anonimb, 2006)
Selengkapnya.....
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIEMETIKA PADA PASIEN KANKER SERVIKS DENGAN TERAPI SITOSTATIKA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD. Dr. MOEWARDI SURAKARTA
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIEMETIKA PADA PASIEN KANKER NASOFARING DENGAN KEMOTERAPI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2009
oleh: PRIYANTI RAHAYU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit
kardiovaskuler (Nafrialdi dan Sulistia, 2007). Penyakit kanker yang banyak
dialami penduduk Indonesia saat ini adalah kanker mulut rahim (17 %), kanker
payudara (11 %), kanker kulit (7 %), kanker nasofaring (5 %), sisanya kanker hati,
paru, dan leukemia (Anonim, 2003). Kanker nasofaring termasuk tumor ganas
dengan frekuensi tertinggi, sedang di daerah kepala dan leher menduduki
peringkat pertama (Iskandar dkk., 1989). Kanker nasofaring menduduki urutan ke
empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit, tetapi
menduduki peringkat pertama dibidang telinga hidung dan tenggorokan di
Indonesia (Susworo, 2004).
Selengkapnya.....
FORMULASI TABLET KUNYAH EKSTRAK BIJI JINTEN HITAM (Nigella sativa.L) SEBAGAI ANTI INFLAMASI DENGAN KOMBINASI BAHAN PENGISI XILIT
oleh: MEDA ANDROMEDA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Biji jinten hitam (Nigella sativa L.) adalah salah satu tanaman yang
berkhasiat sebagai obat anti inflamasi yang masuk dalam spesies tumbuhan famili
Ranunculales. Kandungan dari biji jinten hitam antara lain minyak atsiri,
timokuinon, timol, kuinon, melantin (saponin), nigelin (zat pahit), nigelon,
minyak lemak, dan zat samak (Soedibyo, 1998). Hasil percobaan farmakologis
menunjukkan bahwa pada tanaman jinten hitam terdapat bahan aktif yaitu timol
dan kuinon sebagai anti inflamasi (Marsik et al, 2005).
Penggunaan biji jinten hitam pada umumnya digunakan dengan cara
diminum langsung dalam bentuk serbuk atau dapat dicampur dengan minyak
zaitun (Hendrik, 2009). Cara ini kurang efektif sehingga perlu pengembangan
bentuk tradisional ke bentuk modern agar lebih praktis, seperti dibuat sediaan
tablet kunyah yang mengandung ekstrak biji jinten hitam. Ekstrak yang
diformulasi menjadi tablet kunyah lebih mudah dilepaskan sebagai bahan aktif
pada jaringan tubuh dan diserap oleh tubuh. Tujuan tablet kunyah adalah untuk
memberikan suatu bentuk pengobatan yang dapat diberikan dengan mudah kepada
anak-anak atau orang tua yang sukar menelan obat (Banker and Anderson, 1986),
serta dapat menutupi rasa tidak enak atau pahit dari obat (Voigt, 1984).
Tablet kunyah dibuat dengan menggunakan bahan pengisi, pengikat,
pelicin maupun pemanis. Bahan pengisi yang digunakan pada penelitian ini
adalah xilitol-laktosa dengan berbagai variasi konsentrasi. Selain berfungsi
sebagai bahan pengisi, xylitol juga dapat digunakan sebagai bahan pemanis, untuk
menutupi rasa pahit atau tidak enak dari biji jinten hitam. Xilitol mempunyai rasa
manis dan meninggalkan sensasi dingin di mulut, serta tidak menyebabkan karies
pada gigi tetapi memiliki sifat yang higroskopis (Bond, 2005).
Kelebihan yang lain xylitol mempunyai rasa semanis gula sukrosa, tapi
kandungan kalorinya lebih rendah dan lebih lambat diserap oleh tubuh sehingga
lebih aman untuk penderita diabetes (Pierini, 2008). Xilitol mempunyai harga
yang relatif mahal, untuk itu perlu dikombinasikan dengan bahan pengisi lain
yang lebih murah yaitu laktosa. Laktosa merupakan bahan pengisi yang sering
dipakai karena murah, tidak berbau, rasa sedikit manis, stabil secara fisik maupun
kimia, tidak bereaksi dengan hampir semua obat. (Anonim, 2004).
Dalam penelitian ini dibuat lima formula tablet kunyah ekstrak biji jinten
hitam (Nigella sativa L.) dengan kombinasi bahan pengisi xilitol-laktosa.
Berdasarkan paparan diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
pengaruh variasi kombinasi xilitol-laktosa yang digunakan terhadap sifat fisik dan
respon rasa tablet kunyah ekstrak biji jinten hitam yang dihasilkan.
B. Perumusan Masalah
1. Apakah ekstrak kental biji jinten hitam (Nigella sativa L.) dengan kombinasi
bahan pengisi xilitol-laktosa dapat diformulasi menjadi sediaan tablet
kunyah ?
2. Bagaimana pengaruh kombinasi bahan pengisi xilitol-laktosa terhadap sifat
fisik dan rasa dari tablet kunyah ekstrak biji jinten hitam (Nigella sativa L.)?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan tablet kunyah ekstrak biji jinten hitam (Nigella sativa L.)
dengan kombinasi bahan pengisi xilitol-laktosa.
2. Mengetahui pengaruh perbandingan kombinasi bahan pengisi xilitol-laktosa
terhadap sifat fisik dan respon rasa tablet kunyah ekstrak biji jinten hitam
(Nigella sativa L.).
D. Tinjauan Pustaka
1. Uraian Tanaman
a. Nama daerah
Jawa : Jinten Ireng (Jawa)
Sumatera :Jinten Item (Melayu) (Anonim,1983)
b. Kedudukan Tanaman Jinten Hitam dalam Sistematika Tumbuhan
adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Bangsa : Ranunculales
Suku : Ranunculales
Marga : Nigella
Jenis : Nigella sativa Linn (Anonim, 1983)
c. Deskripsi Tanaman
Perawakan :terna setahun berbatang tegak
Batang :berusuk dan berbulu kasar, rapat atau
jarang-jarang dan disertai dengan adanya
bulu-bulu yang berkelenjar.
Daun :lanset berbentuk garis, panjang 1,5 cm
sampai 2 cm, ujung meruncing terdapat tiga
tulang daun yang berbulu. Daun bagian
bawah bertangkai dan bagian atas duduk.
Daun pembalut bunga kecil.
Bunga :kelopak bunga 5, bundar telur, ujungnya
agak meruncing sampai agak tumpul,
pangkal mengecil membentuk sudut pendek
dan besar
Mahkota :mahkota pada umumnya 8, agak
memanjang, lebih kecil dari kelopak bunga,
berbulu jarang dan pendek, bibir bunga dua,
nset, ujung bibir bunga bagian bawah
tumpul.
Benangsari :banyak, gundul, kepalasari jorong dan
sedikit tajam, berwarna kuning.
Buah :bulat telur atau agak bulat
Biji :hitam, jorong bersudut tiga tak beraturan
dan sedikit berbentuk kerucut, panjang 3
mm, berkelenjar (Anonimb, 1979).
d. Ekologi dan Penyebaran
Jinten hitam tumbuh dari daerah Levant kearah timur Samudera Indonesia
sebagai gulma semusim (Anonim,1979).
e. Kandungan Kimia
Jinten hitam mengandung minyak atsiri, minyak lemak, saponin molatin,
timokuinon, timol, zat pahit nigelin, timokinon, nigelon (Anonim,1983).
f. Khasiat Biji Jinten Hitam
Sebagai anti inflamasi, antioksidan, anti diabetes mellitus, dan
memperkuat sistem imunitas tubuh (Hendrik, 2009).
2. Tinjauan Tentang Ekstrak
a. Pengertian ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang diperoleh diperlukan sedemikian hingga memenuhi bahan baku
yang telah ditetapkan (Anonim,1995).
Penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif yang semula
berada dalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam cairan
penyari. Pada umumnya penyarian akan bertambah baik bila serbuk simplisia
yang bersentuhan dengan penyari semakin banyak (Anonim,1986).
b. Metode Pembuatan Ekstrak
Metode pembuatan ekstrak yang umum digunakan antara lain maserasi,
perkolasi, soxlhetasi (Ansel et al,1995) :
1) Maserasi
Istilah Maceration berasal dari bahasa latin macerare, yang artinya
“merendam”. Merupakan proses paling tepat dimana obat yang sudah halus
memungkinkan untuk direndam dalam menstrum sampai meresap dan
melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Ansel
et al,1995). Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari
(Anonim,1986). Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara
pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana (Anonim,1986).
Maserasi ganda dilakukan dengan cara simplisia dimaserasikan dua kali
dengan bahan pelarut yang sama, artinya mula-mula dengan setengah bagiannya,
kemudian dengan sisanya. Bahan simplisia mula-mula diekstraksi dengan sedikit
bahan pelarut (20%) dan akhirnya dengan seluruh jumlah sisanya (Voigt, 1984).
2) Perkolasi
Istilah perkolasi berasal dari bahan latin per yang artinya melalui dan
colare yang artinya merembes, perkolasi merupakan satu proses dimana obat yang
sudah halus, diekstraksi dengan pelarut yang cocok dengan cara dilewatkan
perlahan-perlahan pada suatu kolom (Ansel et al, 1995).
3) Soxlhetasi
Soxlhetasi merupakan salah satu metode ekstraksi cara panas dengan
menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat
khusus sehingga terjadi ekstraksi yang kontinu dengan jumlah pelarut relative
konstan dengan adanya pendingin baik (Anonim, 2000).
c. Cairan Penyari
Cairan penyari yang baik harus memenuhi criteria yaitu murah dan mudah
diperoleh, stabil secara fisik dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan
tidak mudah terbakar, selektif, yaitu hanya menarik zat yang berkhasiat
(Anonim,1986). Sebagai cairan penyari digunakan air, eter, atau campuran etanol
dan air (Anonima, 1979).
3. Tablet Kunyah
Tablet kunyah dikatakan sebagai tablet spesial yang digigit hingga hancur
dan ditelan. Sediaan ini memiliki rasa aromatik yang menyenangkan, tidak
mengandung bahaan penghancur dan lebih disukai oleh pasien yang mempunyai
kesulitan dalam menelan obat (Voigt, 1984). Tablet kunyah dirancang dengan
kekerasan yang lebih rendah dari tablet konvensional untuk menjamin kemudahan
dalam mengunyah tablet (Agoes, 2008).
Tujuan dari tablet kunyah adalah untuk memberikan suatu bentuk
pengobatan yang dapat diberikan dengan mudah kepada anak-anak atau orang tua
yang mungkin sukar menelan obat utuh (Banker and Anderson, 1986).
Karakteristik tablet kunyah apabila dikunyah akan membentuk massa yang halus,
mempunyai rasa yang enak dan tidak meninggalkan rasa pahit atau tidak enak
(Ansel et al, 1995). Tablet kunyah dibuat dengan cara dikempa, umumnya
menggunakan mannitol, sorbitol atau sukrosa sebagai bahan pengikat dan bahan
pengisi, mengandung bahan pewarna dan bahan pengaroma untuk meningkatkan
penampilan dan rasa (Ansel et al, 1995).
Menurut Agoes (2008) eksipien yang biasa digunakan untuk formulasi
tablet disgunakan pula untuk tablet kunyah karena mampu menghasilkan sifat
tablet kunyah yang dibutuhkan ditinjau dari kemanisan dan chewability.
a. Bahan Pengisi ( diluent / filler )
Bahan pengisi diperlukan bila dosis obat tidak cukup untuk membuat bulk
dan untuk memperbaiki daya kohesi yang dapat dikempa langsung atau untuk
memacu aliran. Selain itu bahan pengisi ditambahkan kedalam formulasi supaya
membentuk ukuran tablet yang diinginkan (Ansel et al, 1995).
Menurut Banker and Anderson (1986) bahan pengisi harus memenuhi
persyaratan yaitu : tidak toksik, tersedia dalam jumlah yang cukup, harganya
cukup murah, tidak terkontraindikasi dengan komponen yang lain, harus inert
secara fisiologi, stabil dalam fisik dan kimia, baik dalam kombinasi dengan obat
atau komponen tablet yang lain, bebas dari mikroba mudah bercampur dengan
warna, tidak boleh mengganggu bioavailabilitas obat.
Bahan pengisi yang biasa digunakan antara lain : sukrosa, laktosa, kalsium
karbonat, dekstrosa, manitol sorbitol dan bahan lain yang cocok (Banker and
Anderson, 1986).
b. Bahan Pengikat ( Binder )
Bahan pengikat adalah bahan yang mempunyai sifat adesif yang digunakan untuk
mengikat serbuk menjadi granul selanjutnya bila dikempa akan menghasilkan
tablet kompak. Zat pengikat yang ditambahkan dalam bentuk larutan
(Anonim,1995). Bahan pengikat diperlukan dalam pembuatan tablet dengan
maksud untuk meningkatkan kohesifitas antara partikel serbuk sehingga
memberikan kekompakan dan daya tahan tablet (Voigt, 1984).
Penggunaan bahan pengikat yang terlalu banyak akan membuat massa granul
terlalu basah dan granul terlalu keras namun jika terlalu sedikit akan membuat
daya rekat yang lemah, sehingga granul menjadi lembek dan tablet menjadi rapuh
(Aulton, 2003). Bahan pengikat yang biasa digunakan adalh muchilago amili 5 –
10%, solution gelatin 2 – 10%, polivinil pirolidon 5 – 20%, metal selulosa
(solution) 2 – 10%, etil selulosa (solutio) 5 – 10%, poliakrilamid 2 – 8% ( Sheth et
al,1980 ).
c. Bahan Pelicin (Lubricant)
Umumnya fungsi dari bahan pelicin adalah untuk mengurangi gesekan diantara
granul dan dinding ruang cetak selama penabletan (Ansel, 1995). Beberapa bahan
pelican yang biasa digunakan antara lain talk, magnesium stearat, kalsium stearat,
asam stearat, natrium stearat (Banker and Anderson, 1986).
3. Metode Pembuatan Tablet
Terdapat 3 metode dalam pembuatan tablet kompresi yaitu: metode
granulasi basah, metode granulasi kering, dan metode cetak langsung (Ansel et
al,1995).
a. Metode Granulasi Basah
Metode granulasi basah ini merupakan salah satu metode yang paling sering
digunakan dalam memproduksi tablet kompresi. Langkah-langkah yang
diperlukan dalam pembuatan tablet dengan metode granulasi basah ini dapat
dibagi sebagai berikut, yaitu menimbang dan mencampur bahan-bahan yang
diperlukan dalam formulasi, pembuatan granulasi basah, pengayakan adonan
lembab menjadi pellet atau granul, kemudian dilakukan pengeringan, pengayakan
kering, pencampuran bahan pelican, dan pembuatan tablet dengan kompresi
(Ansel et al,1995).
Keuntungan granulasi basah menurut Sheth dkk (1980) :
1) Meningkatkan kohesifitas dan kompaktibilitas serbuk sehingga diharapkan
tablet ynag dibuat dengan mengempa sejumlah granul pada tekanan kompresi
tertentu akan menghasilkan bentuk tablet yang bagus, keras dan tidak rapuh.
2) Zat aktif yang kompaktibilitasnya rendah dalam dosis tinggi harus dibuat
dengan metode granulasi basah, karena jika digunakan metode cetak langsung
memerlukan banyak eksipien sehingga berat tablet terlalu besar.
3) Sistem granulasi basah dapat mencegah segregasi komponen penyusun tablet
yang telah homogen sebelum proses pencampuran.
4) Zat aktif yang larut dalam air dalam dosis kecil, maka distribusi dan
keseragaman zat aktif akan lebih baik dicampurkan dengan larutan bahan
pengikat.
5) Zat-zat yang bersifat hidrofob, sistem granulasi basah dapt memperbaiki
kecepatan pelarutan zat aktif dengan perantara cairan pelarut yang cocok
dengan bahan pengikat.
b. Metode Granulasi Kering
Metode ini telah digunakan bertahun-tahun dan merupakan bentuk yang
berharga terutama pada keadaan dimana dosis efektif terlalu tinggi untuk kempa
langsung dan bahan-bahan yang digunakan peka terhadap pemanasan,
kelembaban atau keduanya (Banker and Anderson, 1986).
Metode ini khususnya unutk bahan-bahan yang tidak dapat diolah dengan
metode granulasi basah, karena kepekaannya yang tidak dapat diolah dengan
metode granulasi basah, karena kepekaanya terhadap uap air atau karena untuk
mengeringkannya diperlukan temperatur yang dinaikkan (Ansel et al,1995).
c. Metode Cetak Langsung
Metode ini digunakan untuk bahan yang mempunyai sifat mudah mengalir
sebagaimana sifat-sifat kohesinya yang memungkinkan untuk langsung
dikompresi dalam tablet tanpa memerlukan granulasi basah atau kering (Sheth
dkk, 1980).
Keuntungan utama dari metode ini adalah bahwa bahan obat yang peka
terhadap lembab dan panas, yang stabilitasnya terganggu akibat operasi granulasi,
dapat dibuat menjadi tablet. Akan tetapi dengan meningkatnya tuntutan akan
kualitas tablet, maka metode ini tidak diutamakan (Voigt, 1984).
4. Pemeriksaan Sifat Granul
a. Waktu Alir
Pemeriksaan waktu alir bertujuan untuk mengetahui bahwa serbuk yang
digunakan mempunyai waktu alir yang baik. Waktu alir yang baik akan
menghasilkan tablet yang memenuhi persyaratan terutama keseragaman bobotnya.
Apabila 100 g serbuk dengan waktu alir lebih dari 10 detik akan mengalami
kesulitan pada waktu penabletan (Sheth dkk, 1980).
b. Sudut Diam
Sudut diam yaitu sudut tepat yang terjadi antara timbunan partikel betuk
kerucut dengan bidang horisontal. Bila sudut diam lebih kecil dari 30° biasanya
menunjukkan bahwa bahan dapat mengalir bebas, bila sudutnya lebih besar atau
sama dengan 40° biasanya mengalirnya kurang baik (Voigt, 1984).
c. Indeks Pengetapan
Pengukuran sifat alir dengan metode pengetapan yaitu dengan melakukan
penghentian (tapping) terhadap sejumlah serbuk dengan menggunakan alat
volumeter (mechanical tapping device). Pengetapan dilakukan dengan mengamati
perubahan volume sebelum pengetapan (Vo) dan volume setelah pengetapan
konstan (Vt).
Nilai indeks pengetapan dapat dihitung dengan rumus:
Vo − Vt
Indeks pengetapan = x100% ............... ( 1 )
100
Serbuk dapat dikatakan memiliki sifat air baik jika indeks pemampatannya
kurang dari 20% (Fashihi and kanfer, 1986).
d. Distribusi Ukuran Partikel
Ayakan disusun bertingkat, serbuk diletakkan diatas ayakan kemudian diayak.
Banyaknya serbuk yang tertinggal di tiap ayakan ditimbang dan dihitung persen
bobot tertinggal, biasanya dalam millimeter atau mikrometer (Ansel et al, 1995).
5. Pemeriksaan Kualitas Tablet
a. Keseragaman Bobot
Ditimbang 20 tablet, dihitung bobot rata-rata tiap tablet. Jika ditimbang satu
per satu, tidak boleh lebih dari 2 tablet yang masing-masing bobotnya
menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih besar dari harga yang ditetapkan kolom
A dan tidak satu tablet pun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya
lebih besar dari harga yang ditetapkan kolom B. Jika tidak mencukupi 20 tablet
dapat digunakan 10 tablet, tidak satu tablet pun yang bobotnya menyimpang lebih
besar dari bobot rata-ratanya yang ditetapkan kolom A dan tidak satu tablet pun
yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata-rata yang ditetapkan
kolom B ditunjukkan tabel 1 (Anonima, 1979).
Tabel 1. Persyaratan Penyimpangan Bobot Tablet
Penyimpangan bobot rata-rata dalam %
Bobot rata-rata
A B
25 mg atau kurang 15 % 30 %
26 mg sampai dengan 150 mg 10 % 20 %
151 mg sampai dengan 300 mg 7,5 % 15 %
lebih dari 300 mg 5 % 10%
b. Kekerasan
Kekerasan tablet merupakan parameter yang menggambarkan ketahanan
tablet dalam melawan tekanan mekanik seperti guncangan dan terjadinya
keretakan tablet selama pengemasan, transportasi dan pemakaian. Kekerasan
tablet yang diperkenankan adalah 4 sampai 8 kg, tablet kunyah mempunyai nilai
kekerasan kira-kira 3 kg (Parrot, 1970). Alat yang biasa digunakan adalah
Hardness tester (Mosanto Stokes) dan Hardness tester (Stong-cabb) (Banker
and Anderson, 1986).
c. Kerapuhan
Kerapuhan adalah kecenderungan dari partikel untuk hancur menjadi partikel
yang berukuran lebih kecil pada saat terjadi goncangan pada pengemasan. Sifat
tablet yang berhubungan dengan kerapuhan diukur dengan menggunakan fribiality
tester. Nilai kerapuhan tablet kunyah antara 3% - 4% (Agoes, 2008).
6. Monografi Bahan Tambahan
a. Aerosil
Silisium dioksida terdispersi tinggi (aerosil) memiliki permukaan spesifik dan
terbukti sebagai bahan pengatur aliran yang menjadi keuntungan utamanya, dapat
mengurangi lengketnya partikel satu sama lain, dengan demikian gesekan antar
partikel sangat kurang. Aerosil mengikat lembab melalui gugus silanol (dapat
menarik air 40 % dari massanya) dan meskipun demikian sebagai serbuk masih
dapat mempertahankan daya alirnya (Voigt, 1984). Penggunaan sebagai bahan
pengering.
b. Xilitol
Xilitol berbentuk serbuk putih kristal, higroskopis, partikel berdiameter 0,4 –
0,6 mm. Tidak berbau, memiliki rasa yang manis dan memberikan sensasi dingin.
Xilitol mudah larut dalam air dan piridine dan sukar larut dalam gliserin (Bond,
2005). Xilitol mempunyai rasa yang lebih manis dari sorbitol, kalori 40% lebih
rendah disbanding kalori sukrosa. Xilitol dapat mencegah plak dan lubang pada
gigi sebesar 80% (Pierini, 2008)
c. Laktosa
Laktosa merupakan gula yang diperoleh dari susu. Dalam bentuk anhidrat
atau mengandung satu molekul air hidrat. Berupa serbuk atau massa hablur, keras,
putih atau putih krem. Tidak berbau dan rasa sedikit manis. Stabil di udara, tetapi
mudah menyerap bau. Mudah dan pelan-pelan larut dalam air mendidih, sangat
sukar larut dalam etanol, tidak larut dalam kloroform dan dalam eter (Anonim,
1995). Merupakan bahan pengisi tablet yang baik karena mudah melarut dalam
air, rasa yang menyenangkan, tidak higroskopis, tidak bereaksi dengan zat lain,
dan memiliki kompaktibilitas yang bagus (Alderborn, 2003). Laktosa juga
memiliki harga yang murah (Anonim, 2004).
d. Magnesium stearat
Magnesium stearat mengandung tidak kurang dari 6,5% dan tidak lebih
dari 8,5% MgO dihitung terhadap zat yang dikeringkan. Pemerian serbuk halus,
putih, licin dan mudah melekat dikulit, bau lemah khas. Kelarutan praktis tidak
larut dalam air, dalam etanol (95%) p dan dalam eter p (Anonim, 1995).
Magnesium stearat digunakan sebagai lubricant dengan konsentrasi antara 0,25%
- 5% b/b (Allen and Luner, 2005).
e.Talk
Talk adalah magnesium silikat hidrat alam, kadang-kadang mengandung
sedikit aluminium silikat. Pemberian serbuk sangat halus, putih atau putih kelabu.
Berkilat, mudah melekat pada kulit dan bebas dari butiran. Tidak larut dalam
hampir semua pelarut. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik (Anonima, 1979).
Talk berfungsi sebagai anticaking agent, glidant, diluent, dan lubricant (Kible,
2005).
f. Amilum
Amilum yang digunakan adalah amilum manihot atau disebut juga pati
singkong. Pati singkong adalah pati yang diperoleh dari umbi akar Manihot
utilisima Pohl (Familia Euphorbiaceae). Pemberiannya berupa serbuk sangat
halus, putih, praktis, tidak larut dalam air dingin dan dalam etanol (Anonim,
1995). Konsentrasi bahan pengikat dalam bentuk larutan maupun serbuk adalah
sebesar 2 – 10% dari bobot tablet (Alderborn, 2003).
Selengkapnya.....
EFEK EKSTRAK ETANOL DAGING BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) TERHADAP PENURUNAN KADAR ASAM URAT PADA MENCIT PUTIH JANTAN YANG
0leh: ULUL AZMI
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Asam urat adalah penyakit gangguan metabolik yang disebabkan
penumpukan asam urat (uric acid) dalam jaringan tubuh (Anonim, 2009). Asam
urat merupakan produk akhir metabolisme purin yang dapat mengendap dalam
jaringan dan peradangan yang dikenal dengan nama gout atau encok. Gout atau
pirai merupakan penyakit metabolik yang terjadi akibat tingginya kadar asam urat
dalam darah (Simon et al., 2001). Asam urat biasanya menyerang pria berumur
lebih dari 40 tahun dan perempuan pascamenopouse. Salah satu pemicu utama
timbulnya penyakit asam urat adalah perubahan gaya hidup seseorang yang
disertai dengan pola makan yang salah (Sudewo, 2004). Akibat lebih lanjut dari
meningkatnya asam urat adalah pembentukan tofi (kapur) di sekitar sendi,
kelainan ginjal serta pembentukan batu urat (Winarto, 2003).
Penelitian dan pengembangan tanaman obat telah berkembang pesat,
terutama pada segi farmakologi maupun fitokimianya. Penelitian ini digunakan
untuk mencari tanaman yang berpotensi sebagai tanaman obat. Salah satu tanaman
yang dikembangkan adalah mahkota dewa. Berdasarkan pengalaman empiris,
buah mahkota dewa sangat manjur untuk menyembuhkan asam urat. Selain itu,
tanaman tersebut juga digunakan untuk mengobati berbagai penyakit yakni lever,
kanker dan tekanan darah tinggi (Harmanto, 2001). Daun dan kulit buah mahkota
1
2
dewa segar atau yang telah dikeringkan juga dapat digunakan sebagai antitumor,
disentri dan sakit kulit (Gotama, 1999).
Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
tanaman mahkota dewa mempunyai potensi sebagai antiinflamasi (Siswanto,
2005), antihistamin (Siswono, 2001) dan memiliki efek penghambatan pada sel
kanker leukemia THP-1 (Kurnia, dkk., 2005). Daging buah mahkota dewa juga
mempunyai efek hipoglikemik (Primsa, 2002). Hasil uji keamanan menunjukkan
perasan daging buah segar mahkota dewa tidak mempengaruhi fungsi ginjal pada
tikus putih jantan dan betina pada pemakaian jangka panjang (Hendra, 2003).
Perasan daging buah mahkota dewa tela h terbukti efektif menurunkan kadar asam
urat pada ayam jantan jenis Lohman Brown dengan dosis 13,16g/kgBB
(Hasturani, 2003).
Berdasarkan penelitian Arini (2003), diketahui bahwa daging buah
mahkota dewa mengandung flavonoid. Ekstrak etanol 70% daging buah mahkota
dewa mempunyai kadar relatif flavonoid yang paling besar (45,734 μg/mg).
Keefektifan mahkota dewa untuk mengobati asam urat diduga didasarkan pada
kandungan flavonoidnya. Kemampuan senyawa tersebut dalam menurunkan asam
urat adalah dengan mekanisme hambatan terhadap aktivitas xantin oksidase pada
basa purin sehingga akan menurunkan produksi asam urat. Dari harga IC 50
flavonoid menyatakan bahwa 50% penghambatan xantin oksidase sama dengan
50% penurunan produksi asam urat. Jenis flavonoid yang berperan dalam
mekanisme penghambatan enzim xantin oxidase adalah flavon dan flavonol (Cos
et.al., 1998). Flavonoid dalam tanaman mahkota dewa dapat berbentuk aglikon
3
maupun glikosida. Kepolaran senyawa flavonoid adalah dari non polar sampai
dengan polar sehingga dapat disari dalam penyari yang non polar sampai dengan
polar (Markham, 1988).
Allopurinol digunakan untuk mengobati asam urat sejak bertahun-
tahun yang lalu, akan tetapi allopurinol dapat menimbulkan efek samping yaitu
kerusakan gastrointestinal, reaksi alergi dan toksisitas pada hati (Mo et.al., 2007).
Selama ini penggunaan mahkota dewa sebagai obat asam urat hanya berdasarkan
pada pembuktian empiris dan pengalaman pengguna. Berdasarkan penggunaan
secara empiris dan dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka
ekstrak etanol daging buah mahkota dewa berpotensi untuk dikembangkan
menjadi fitofarmaka. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang ekstrak etanol
daging buah mahkota dewa untuk membuktikan keefektifannya sebagai penurun
kadar asam urat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bukti
ilmiah bahwa tanaman mahkota dewa dapat dijadikan sebagai obat untuk
menurunkan kadar asam urat.
B . PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah, maka perumusan masalah yang
didapat dalam penelitian ini adalah ”bagaimanakah keefektifan dan potensi
ekstrak etanol daging buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl)
dalam menurunkan kadar asam urat jika dibandingkan dengan allopurinol dosis
10mg/kgBB pada mencit putih jantan yang diinduksi potassium oxonate dosis
250mg/kgBB?
4
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan efek ekstrak
etanol daging buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) terhadap
penurunan kadar asam urat pada serum darah mencit putih jantan yang diinduksi
Potassium Oxonate dosis 250mg/kgBB.
D. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tanaman Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl)
a. Sistematika dalam Taksonomi dan Nama Lain Tanaman Mahkota
Dewa
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Thymelaeales
Suku : Thymelaceae
Marga : Phaleria
Jenis : Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl
(Backer and Van den Brink, 1965)
Nama lain mahkota dewa adalah P. papuana Warb. Var.
Wichnannii (Val.) Back. Di daerah Melayu dikenal sebagai Simalakama
sedangkan di Jawa dikenal sebagai makutadewa, makutomewo, makutoratu
dan makuto rojo (Dalimartha, 2005).
5
b. Kandungan Kimia dan Khasiat Tanaman Mahkota Dewa
Daun mahkota dewa mengandung alkaloid, saponin dan polifenol
(lignan). Kulit buah mengandung alkaloid, saponin, polifenol dan flavonoid
(Dalimartha, 2005). Cangkang biji dan daging buah mengandung flavonoid,
fenol, tanin, saponin dan sterol atau terpen dan suatu golongan polifenol
dengan struktur lignan yang bersifat sitotoksik (Lisdawati, 2002).
Beberapa penelitian ditemukan aktivitas buah mahkota dewa, yakni
ekstrak etanol buah mahkota dewa memiliki efek penghambatan pada sel
kanker leukimia THP-1 dengan nilai IC50 adalah 36,47 ppm (Kurnia, dkk.,
2005). Perasan daging buah mahkota dewa juga telah dibuktikan mempunyai
efek menurunkan asam urat pada ayam jantan jenis Lohman Brown pada dosis
tengah 13,16g/kg BB (Hasturani, 2003). Tanaman mahkota dewa juga
mempunyai potensi sebagai antiinflamasi (Siswanto, 2005), antihistamin
(Siswono, 2001) dan daging buah mahkota dewa juga mempunyai efek
hipoglikemik (Primsa, 2002). Berdasarkan penelitian Arini (2003), ekstrak
etanol 70% daging buah mahkota dewa mempunyai kadar relatif flavonoid
yang paling besar yakni 45,734 μg/mg.
2. Asam Urat
a. Etiologi Asam Urat
Asam urat merupakan hasil metabolisme purin di dalam tubuh yang
mengalir di peredaran darah. Kadar asam urat yang meningkat di dalam darah
akan menyebabkan pengendapan di persendian dan membentuk kristal kecil
6
(endapan yang mengeras), sehingga menimbulkan rasa nyeri yang hebat
(Sudewo, 2004).
Asam urat ( ric acid) adalah suatu senyawa alkaloid turunan purin
u
(xantin). Derivat utama purin dan pirimidin dari asam nukleat baik
prokariotik maupun eukariotik adalah purin, adenin, gua nin dan derivat
sitosin, timin serta urasil. Derivat purin hipoxantin dan xantin merupakan
senyawa antara dalam metabolisme adenin serta guanin, dan manusia
mengekskresikan derivat purin yang teroksidasi yaitu asam urat sebagai
produk akhir katabolisme pur in (Rodwell, 1995). Basa purin yaitu guanidin
dikonversi menjadi guanin, menjadi xantin kemudian menjadi asam urat.
Adenosin dikonversi menjadi inosin, hipoxantin selanjutnya menjadi asam
urat. Pada manusia, produk purin dikonversikan menjadi asam urat melalui
xantin dalam reaksi yang dikatalisis oleh xantin oksidase. Enzim ini sangat
efektif dalam hati, usus dan ginjal. Tanpa kehadirannya asam urat tidak dapat
dibentuk (Martin, 1987).
Pada manusia, sintesis nukeotida purin dan pirimidin dilakukan secara
de novo (yakni zat antara amfibolik) (Rodwell et al., 1995). Manusia
mengubah sebagian besar purin, adenosin dan guanin menjadi asam urat.
Adenosin mengalami deaminasi oleh enzim adenosin deaminase menjadi
inosin. Enzim nukleosida purin fosforilase mengkatal sis ikatan N-glikosidat
i
inosin dan guanosin dan melepaskan senyawa ribosa 1-fosfat dan basa purin.
Selanjutnya hipoxantin dan guanin yang dikatalisis oleh enzim xantin
oksidase dan guanase membentuk xantin yang teroksidasi menjadi asam urat
(gambar 1)(Rodwell et al., 1995).
7
Gambar 1. Pembentukan asam urat dari nukleotida purin melalui basa
purin hipoxantin, xantin dan guanin (Rodwell et al., 1995)
Peningkatan kadar asam urat darah (hiperurisemia) selain terdapat
pada pirai, juga pada penyakit-penyakit dengan komplikasi penguraian asam
nukleat. Enzim urat-oksidase (urikase) mengkatalisis penguraian oksidatif
asam urat menjadi allantoin (Schunack et al., 1990).
Xantin oksidase merupakan suatu enzim flavoprotein yang
mengandung molibdenum dan besi, mengoks idasi hipoxantin menjadi xantin
dan selanjutnya menjadi asam urat. Asam urat bentuk keto terdapat dalam
keadaan seimbang dengan bentuk enol, yang akan kehilangan sebuah proton
pada pH fisiologis untuk membentuk urat. Pada manusia urat merupakan hasil
akhir pemecahan purin dan diekskresikan melalui urin (Stryer, 2000).
8
Hiperurisemia dapat menyebabkan terjadinya pirai, yaitu suatu
penyakit yang menyerang sendi-sendi dan ginjal. Peradangan sendi dipicu
oleh pengendapan kristal natrium urat. Natrium urat merupakan bentuk
terbanyak pada pH netral dan bersifat lebih mudah larut daripada asam urat
(Stryer, 2000). Pirai berkaitan dengan gangguan metabolisme purin turunan
yang berlangsung kronik dengan disertai peningkatan asam urat dalam
organisme serta pengendapan dan penyimpanan asam urat dalam jaringan
mesenkhim (Mutschler, 1986).
Pada sebagian kecil pasien pirai, terdapat defisiensi enzim hipoxantin -
guanin fosforibosil transferase (HGPRT), yaitu enzim yang mengkatalisis
reaksi penyelamatan inosinat (IMP) dan guanilat (GMP). Defisiensi HGPRT
menyebabkan berkurangnya sintesis GMP dan IMP melalui jalur
penyelamatan. Peningkatan kadar 5-fosforibosil-1-pirofosfat (PRPP) yang
disebabkan secara nyata mempercepat biosintesis purin melalui jalur de novo
(Stryer, 2000).
Penyebab-penyebab hiperurisemia antara lain :
1. Peningkatan produksi asam urat
Peningkatan produksi asam urat terutama bersumber dari makanan tinggi
purin Konsumsi purin yang berlebihan dapat meningkatkan produksi
asam urat. Kondisi lain penyebab hiperurise mia adalah meningkatnya
proses penghancuran DNA tubuh, antara lain : kanker darah, pengobatan
kanker (kemoterapi) dan kerusakan otot.
2. Penurunan pembuangan asam urat
Lebih dari 90% penderita hiperurisemia menetap mengalami gangguan
pada proses pembuangan asam urat di ginjal. Penurunan pengeluaran
9
asam urat pada tubulus ginjal terutama disebabkan oleh kondisi asam
darah meningkat (ketoasidosis diabetes mellitus, kelaparan, keracunan
alkohol). Selain itu, penggunaan beberapa obat (seperti pirazinamid)
dapat berpengaruh dalam menghambat pembuangan asam urat.
3. Kombinasi keduanya (Harris et al., 1999)
Gejala arthritis akut disebabkan oleh reaksi inflamasi jaringan
terhadap pembentukan kristal monosodium urat monohidrat (Mansjoer dkk.,
1999). Kadar rata-rata asam ur at di dalam darah atau serum tergantung pada
usia dan jenis kelamin. Kadar asam urat pada jenis kelompok laki-laki akan
meningkat secara bertahap setelah masa pubertas, sedangkan pada wanita
kadar urat tidak meningkat sampai setelah menopause karena estrogen
meningkatkan ekskresi asam urat melalui ginjal. Pasca menopause kadar urat
serum meningkat seperti pada pria. Nilai normal urat serum pada laki-laki
adalah 5,1 ± 1,0 mg/dl sedangkan pada wanita adalah 4,0 ± 1,0 mg/dl. Nilai-
nilai ini meningkat sampai 9-10 mg/dl pada seseorang dengan gout (Price and
Wilson, 2005).
b. Manifestasi Asam Urat
Terdapat 4 tahap perjalanan klinis dari penyakit gout yang tidak
diobati, yaitu:
1) Hiperurisemia asimtomatik
Pada tahap ini pasien tidak menunjukkan gejala-gejala selain dari
peningkatan asam urat serum. Hanya 20% dari pasien hiperurisemia
asimtomatik yang berlanjut menjadi serangan gout.
10
2) Artritis gout akut
Pada tahap ini terjadi pembengkakan dan nyeri yang luar biasa, biasanya
pada sendi ibu jari kaki dan sendi metarsofalangeal.
3) Tahap setelah serangan gout akut
Pada tahap ini tidak ditemui gejala -gejala klinis tertentu. Masa ini dapat
berlangsung selama beberapa bulan sampai tahun. Kebanyakan orang
mengalami serangan gout berulang dalam waktu kurang dari 1 tahun jika
tidak diobati.
4) Tahap gout kronik
Pada tahap ini terjadi penimbunan asam urat yang terus bertambah dalam
beberapa tahun jika pengobatan tidak dimulai. Peradangan kronik akibat
kristal kristal asam urat mengakibatkan nyeri, sakit dan kaku juga
-
pembesaran dan penonjolan sendi yang bengkak (Price and Wilson,
2005).
c. Patogenesis Asam Urat
Asam urat diproduksi dan diekskresikan melalui urin. Semua faktor
yang menyebabkan produksi berlebih atau ekskresi yang tidak memadai akan
meningkatkan konsentrasi asam urat dalam p lasma. Resiko terjadinya gout
akut akan meningkat seiring dengan peningkatan asam urat plasma (Mansjoer
dkk ., 1999).
Asam urat diproduksi secara normal setiap harinya 600-800 mg. Asam
urat tidak akan terakumulasi selama produksi dan eliminasinya seimbang.
Asam urat akan dieliminasi melalui 2 jalur yaitu sekitar dua pertiganya akan
diekskresikan lewat urin, sedangkan sisanya diekskresikan melalui usus
(Dipiro et al., 2005).
11
Asam urat di dalam tubuh tidak menimbulkan rasa sakit, yang
menimbulkan rasa sakit adalah kristal monosodium urat yang terendapkan.
Pengendapannya dipengaruhi oleh suhu dan tekanan. Terbentuk tofi
(penimbunan asam urat) pada daerah -daerah telinga, siku, lutut, dorsum
pedis, dekat tendo achilles pada metarsofalangeal dan sebagainya. Tofi ini
merupakan manifestasi lanjut dari gout yang yang timbul 5 tahun setelah
-10
serangan arthritis akut yang pertama (Mansjoer dkk., 1999).
d. Diagnosis Asam Urat
Penegakkan diagnosis asam urat dilakukan dengan pemeriksaan kadar
asam urat dalam darah. Namun nilai ini tidak bernilai diagnostik, sedangkan
ditemukannya kristal intrasel pada neutrofil cairan sinovial yang teraspirasi
dari sendi yang mengalami inflamasi bernilai diagnostik dan radiologi pada
asam urat yang sudah terjadi akan memberikan gambaran ero korteks si
(seringkali lokasinya jauh dari batas sendi) (Davey, 2005).
Pada pemeriksaan laboratorium akan didapatkan kadar asam urat yang
tinggi dalam darah. Di samping pemeriksaan tersebut, pemeriksaan tofi juga
penting untuk menegakkan diagnostik. Diagnostik dapat dipastikan bila
ditemukan gambaran kristal asam urat (berbentuk lidi) (Mansjoer dkk, 2005).
e. Pengobatan Asam Urat
Pengobatan asam urat bertujuan untuk membatasi serangan akut,
mencegah kekambuhan serangan dari arthritis gout dan mencegah komplikasi
yang berhubungan dengan pengendapan kristal urat di jaringan (Dipiro et al.,
2005). Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mengurangi endapan urat
dalam jaringan dan menurunkan frekuensi serta keparahan serangan adalah
12
dengan diet rendah purin, memperbanyak minum, menghindari konsumsi
alkohol dan menghindari obat-obatan yang dapat mengakibatkan
hiperurisemia, seperti diuretik tiazid, aspirin dosis rendah dan asam nikotianat
yang menghambat ekskresi asam urat dari ginjal (Mansjoer dkk., 1999).
Obat-obat yang diberikan pada serangan akut antara lain :
1. Kolkisin
Kolkisin merupakan obat pilihan utama dalam pengobatan serangan artritis
gout maupun pencegahannya dengan dosis lebih rendah. Kolkisin bekerja
pada peradangan terhadap kristal urat dengan menghambat kemotaksis sel
radang. Efek samping yang sering dijumpai adalah sakit perut, diare, mual,
atau muntah-muntah (Mansjoer,dkk., 1999).
Kolkisin adalah obat yang menghambat aktivitas fagositik leukosit
sehingga memberikan perubahan yang dramatis dan cepat meredakan
gejala pada sendi (Price and Wilson, 2005). Akan tetapi, kolkisin tidak
boleh diberikan pada pasien yang fungsi ginjalnya mengalami penurunan
(Dipiro et al., 2005).
2. Non Steroid Anti Inflammatory Drug (NSAID)
Beberapa obat analgetik antipiretik memiliki persamaan efek terapi
berdasarkan penghambatan biosintesis prostaglandin (Wilmana, 2005).
Obat-obat golongan ini digunakan untuk mengatasi rasa nyeri akut
termasuk proses inflamasi (Price and Wilson, 2005).
Semua jenis NSAID dapat diberikan untuk pengobatan gout akut. Yang
paling sering digunakan adalah Indometasin (Mansjoer,dkk., 1999).
13
3. Urikosurik
Urikosurik digunakan untuk gout akut yang frekuensi nyerinya meningkat.
Obat ini bekerja dengan menghambat reabsorbsi tubular dari penyaringan
urat dan mencegah pembentukan tofi, contohnya Probenesid dan
Sulfinpirazon.
4. Allopurinol
Allopurinol digunakan untuk produksi asam urat yang berlebih, pasien
yang tidak mempunyai respon terhadap obat urikosurik dan pasien gout
disertai batu ginjal. Obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim
xantin oksidase (Tierney et al., 2003).
Diet Asam ribonukleat dari sel
Purin
Jalur normal Hipoxantin
Xantin oksidase Ginjal
Allopurinol Xantin
Xantin oksidase probenesid
Urikosurik
+++++
Asam Urat Urin
Kristalisasi dalam jaringan
Kolkisin
Fagositosis kristal leukosit
NSAID
Peradangan dan kerusakan jaringan
Keterangan : ------- : menghambat
+++++ : meningkatkan
Gambar 2. Patofisiologi asam urat dan kerja obat -obatnya (Price dan
Wilson, 2005)
14
3. Allopurinol
Allopurinol merupakan suatu analog hipoxantin, dengan atom N dan C
pada posisi 7 dan 8 saling bertukar, digunakan secara luas untuk mengatasi
penyakit pirai. Mekanismenya adalah pada awalnya bertindak sebagai substrat
kemudian sebagai inhibitor xantin oksidase. Oksidase tersebut akan
menghidrolisasi allopurinol menjadi aloxantin (oksipurinol). Sintesis urat dari
hipoxantin dan xantin segera menurun setelah pemberian allopurinol. Itu
sebabnya konsentrasi hipoxantin dan xantin serum meningkat, sedangkan
kadar asam urat menurun (Stryer, 2000). Allopurinol bekerja dengan cara
menghambat enzim xantin oksidase, mempunyai durasi kerja yang panjang
sehingga cukup diberikan 1 x sehari (Katzung, 2002).
Bila allopurinol memberikan efek-efek samping yang tidak dapat
diterima, barulah digunakan urikosurik (probenesid dan sulfinpirazon) yang
memperbanyak ekskresi urat. Obat-obat tersebut menormalkan kadar urat
darah tetapi kadar urat dalam kemih tetap tinggi (Tjay dan Raharja, 2002).
Mekanisme allopurinol dalam pembentukan asam urat dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3. Mekanisme allopurinol terhadap enzim xantin oksidase pada
pembentukan asam urat (Tjay dan Raharja, 2002)
15
4. Potassium Oxonate
Potassium oxonate merupakan garam potassium atau kalium dari asam
oxonate. Potassium oxonate mempunyai berat molekul 195,18 dengan rumus
molekul C4H 2KN3O 4. Rumus bangun potassium oxonate dapat dilihat pada
Gambar 4. Potassium oxonate sering digunakan untuk menginduksi
hiperurisemia pada hewan percobaan, biasanya diberikan dengan cara injeksi
intraperitoneal. Potassium oxonate berpotensi menghambat enzim uikase.
Enzim tersebut dapat mengurai asam urat menjadi allantoin yang dapat larut
dalam air. Jika enzim tersebut dihambat maka akan terjadi penumpukan asam
urat dalam tubuh hewan uji. Mekanisme potassium oxonate dalam
meningkatkan kadar asam urat dapat dilihat pada Gambar 5.
Maaf Tidak dicamtumkan gambarnya
Gambar 4. Struktur Potassium Oxonate (Anonim, 2008)
urikase
Asam urat + H2O + O2 Allantoin + CO2 + H2O2
potassium oxonate
Keterangan : = menghambat
= terurai
Gambar 5. Mekanisme potassium oxonate dalam meningk atkan kadar asam
urat (Mazzali et al., 2001)
E. LANDASAN TEORI
Penelitian Hasturani (2003) menunjukkan bahwa perasan daging buah
mahkota dewa dosis 13,16g/kgBB mampu menurunkan kadar asam urat ayam
16
jantan jenis Lohman Brown umur 2-4 bulan yang dibuat hiperur isemia.
Allopurinol telah digunakan sejak lama untuk mengobati asam urat, akan tetapi
allopurinol sering menimbulkan efek samping yaitu kerusakan gastrointestinal,
reaksi alergi dan toksisitas pada hati (Mo et.al., 2007).
Daging buah mahkota dewa diketahui mengandung flavonoid. Ekstrak
etanol daging buah mahkota dewa mempunyai kadar relatif flavonoid yang paling
besar (45,734 μg/mg) dan penyarian dengan etanol 70% efektif untuk
mendapatkan kadar flavonoid optimum (Arini, dkk., 2003). Mekanisme flavonoid
dalam menurunkan kadar asam urat adalah dengan menghambat kerja enzim
xantin oksidase sehingga pembentukan asam urat dapat dihambat. Jenis-jenis
flavonoid yang dapat menghambat kerja enzim xantine oksidase adalah quecertin,
myricetin, kaemferol, luteolin, apigenin dan chrysin (Cos et.al., 1998).
Penelitian ini menggunakan hewan uji jenis mamalia yakni mencit putih
jantan. Mamalia tidak memiliki enzim xantin oksidase, akan tetapi memiliki
enzim urikase yang dapat menguraikan asam urat menjadi senyawa yang lebih
larut dalam air yaitu allantoin . Enzim urikase yang dihambat oleh potassium
oxonate akan menyebabkan asam urat menumpuk dalam tubuh dan tidak ikut
tereliminasi.
F. HIPOTESIS
Ekstrak etanol daging buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.)
Boerl) diduga mempunyai efek dan potensi yang sama dengan allopurinol dalam
menurunkan kadar asam urat mencit putih jantan yang dibuat hiperurisemia
dengan induksi potassium oxonate dosis 250mg/kgBB.
Selengkapnya.....
FORMULASI TABLET KUNYAH EKSTRAK BIJI JINTEN
HITAM (Nigella sativa L.) SEBAGAI ANTI INFLAMASI
DENGAN KOMBINASI BAHAN PENGISI
MANITOL-LAKTOSA SKRIPSI
DIAN IKA NOVTIANI K100060016 (UMS)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Biji jinten hitam atau habatussauda “Bahasa Arab” merupakan salah satu
tanaman obat berkhasiat di Indonesia yang saat ini marak dikembangkan sebagai
obat. Dalam sebuah haditz disebutkan, Rosullullah SAW bersabda: “Hendaklah
kamu menggunakan habatussauda (Nigella sativa L.) atau biji jinten hitam, karena
sesungguhnya padanya terdapat penyembuhan bagi segala penyakit kecuali
mati.”(HR.Abi Salamah dari Abi Hurairah r.a) (Hendrik, 2009).
Manfaat biji jinten hitam yang masuk dalam famili Ranunculaceae
diantaranya berkhasiat sebagai anti inflamasi (Hendrik, 2009). Zat yang
berkhasiat sebagai anti inflamasi dalam ekstraknya adalah timol (Marsik et al.,
2005) dan timokuinon, ditimokuinon, timohidrokuinon (Hendrik, 2009). Menurut
Houghton and Zarka (1995), bahwa mekanisme anti inflamasi dari ekstrak biji
jinten hitam berhubungan dengan penghambatan pada pembentukan zat (sintesis)
eikosanoid dan menurut Marsik et al., (2005) bahwa timol merupakan agen yang
paling aktif terhadap penghambatan COX-1 dengan IC (50) sebesar 0,2μM.
Tanda-tanda inflamasi antara lain rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (nyeri),
perubahan fungsi, dan tumor (pembengkakan) (Price and Wilson, 2005).
Karakteristik tablet kunyah mempunyai bentuk yang halus setelah hancur,
rasa yang enak, dan tidak meninggalkan rasa yang pahit (Ansel, 2005). Tujuan
dari tablet kunyah digunakan untuk pasien yang sulit menelan tablet atau untuk
anak-anak yang tidak bisa menelan tablet dengan air (Alderborn, 2003). Rasa
yang dihasilkan dari tablet kunyah harus memiliki rasa yang lebih ditonjolkan
serta menyenangkan di mulut dan lebih cepat memberikan khasiat dari tablet
biasa.
Penggunaan bahan pengisi yang memiliki rasa manis digunakan untuk
memberikan rasa manis dari tablet kunyah dan memperbaiki rasa dari ekstrak biji
jinten hitam yang pahit dari kandungan zat nigelin. Manitol mempunyai rasa
manis 70% dari manisnya gula dengan rasa dingin dan di mulut terasa dinginnya,
merupakan bahan yang tidak higroskopis (Ansel et al., 1995). Manitol merupakan
gula paling mahal yang digunakan sebagai pengisi tablet, rasanya enak di mulut
dan manitol banyak digunakan dalam tablet kunyah (Lachman et al., 1989).
Laktosa merupakan gula yang diperoleh dari susu (Anonim, 1995), paling banyak
digunakan karena lebih ekonomis dan tidak bereaksi dengan hampir semua obat,
menunjukkan laju pelepasan obat yang baik dan granulnya cepat kering (Lachman
et al., 1989). Diperlukan kombinasi manitol-laktosa karena manitol merupakan
gula mahal, sedangkan laktosa lebih ekonomis sehingga dapat mengurangi biaya
produksi dan diharapkan menghasilkan tablet kunyah yang baik.
Berdasarkan paparan di atas, maka perlu dilakukan penelitian pembuatan
tablet kunyah menggunakan kombinasi bahan pengisi manitol-laktosa untuk
mengetahui pengaruh pemeriksaan sifat fisik dan tanggapan rasa dari tablet
kunyah ekstrak biji jinten yang dihasilkan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahannya adalah:
1. Apakah ekstrak kental biji jinten hitam (Nigella sativa L.) dapat
diformulasikan menjadi sediaan tablet kunyah dengan kombinasi bahan
pengisi manitol-laktosa?
2. Bagaimana pengaruh variasi kombinasi bahan pengisi manitol-laktosa pada
pembuatan tablet kunyah ekstrak biji jinten hitam terhadap sifat fisik dan rasa
dari tablet kunyah ekstrak biji jinten hitam (Nigella sativa L.)?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan tablet kunyah dengan kombinasi bahan pengisi manitol-laktosa.
dari ekstrak kental biji jinten hitam (Nigella sativa L.).
2. Mengetahui pengaruh variasi kombinasi bahan pengisi manitol-laktosa pada
pembuatan tablet kunyah ekstrak biji jinten hitam terhadap sifat fisik dan rasa
dari tablet kunyah ekstrak biji jinten hitam (Nigella sativa L.).
D. Tinjauan Pustaka
1. Uraian Tanaman
a. Nama Simplisia
Nigella sativae semen, Melanthii semen; biji jinten hitam (Soedibyo,
1998). Nama daerah: jinten ireng (jawa) dan jinten item (sumatera; melayu)
(Anonim, 1983).
b. Klasifikasi Tanaman
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Bangsa : Ranunculales
Suku : Ranunculaceae
Marga : Nigella
Jenis : Nigella sativa L. (Anonim, 1983)
c. Deskripsi Tanaman
Tanaman terna setahun berbatang tegak. Batang biasanya berusuk dan
berbulu kasar, rapat atau jarang-jarang dan disertai dengan adanya bulu-bulu yang
berkenjar. Bentuk daun lanset berbentuk garis, panjang 1,5 cm sampai 2 cm,
ujung meruncing, terdapat 3 tulang daun yang berbulu. Daun bagian bertangkai
dan bagian atas duduk. Daun pembalut bunga kecil. Kelopak bunga 5, bundar
telur, ujungnya agak meruncing sampai agak tumpul. Mahkota bunga pada
umumnya 8, agak memanjang, lebih kecil dari kelopak bunga, berbulu jarang dan
pendek. Biji hitam, jorong bersudut 3 tak beraturan dan sedikit berbentuk kerucut,
panjang 3 mm, berkelenjar (Anonimb, 1979).
d. Kandungan Kimia
Biji jinten hitam mengandung timol (Marsik et al., 2005), timokuinon,
ditimokuinon, timohidrokuinon (Hendrik, 2009), selain itu minyak atsiri, melantin
(saponin), nigelin (zat pahit), nigelon, timokinon, minyak lemak dan zat samak
(Soedibyo, 1998).
e. Khasiat
Menurut penelitian Marsik et al., (2005) biji jinten hitam berkhasiat
sebagai anti inflamasi, selain itu diabetes militus, peningkat sistem imun, anti
kanker, asma (Hendrik, 2009), diuretik dan karminativ (Soedibyo, 1998). Biji
jinten hitam dalam ramuan digunakan sebagai pelangsing badan, stimulant,
mengeluarkan keringat dan sebagai peluruh haid (Mursito, 2000).
2. Tinjauan Tentang Ekstrak
a. Pengertian Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang diperoleh diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Anonim, 1995).
Penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif yang semula
berada di dalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam
cairan penyari. Pada umumnya penyarian akan bertambah baik bila serbuk
simplisia yang bersentuhan dengan penyari semakin baik (Anonim, 1986).
b. Metode Pembuatan Ekstrak
Metode pembuatan ekstrak yang umum digunakan antara lain: maserasi,
perkolasi dan soxhletasi. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor
seperti: sifat dari bahan mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam
metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna
(Ansel et al., 1995).
1) Maserasi
Istilah Maceration berasal dari bahasa latin macerare, yang artinya
“merendam”. Merupakan proses paling tepat dimana obat yang sudah halus
memungkinkan untuk direndam dalam menstrum sampai meresap dan
melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut
(Ansel et al., 1995).
2) Perkolasi
Perkolasi merupakan suatu proses dimana obat yang sudah halus,
diekstraksi dengan pelarut yang cocok dengan cara dilewatkan perlahan-lahan
pada suatu kolom (Ansel et al., 1995).
3) Soxhletasi
Soxhletasi merupakan salah satu metode ekstraksi cara panas dengan
menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat
khusus sehingga terjadi eksraksi yang kontinu dengan jumlah pelarut relatif
konstan dengan adanya pendingin baik (Anonim, 2000).
c. Cairan Penyari
Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria yaitu murah dan mudah
diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap
dan tidak mudah terbakar, selektif, yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang
dikehendaki, dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat (Anonim, 1986). Cairan
penyari yang digunakan adalah air, eter, etanol-air atau eter (Anonima, 1979).
3. Tinjauan Tentang Tablet Kunyah
a. Bahan Tambahan Pada Tablet
Bahan tambahan pada tablet meliputi:
1) Bahan pengisi (diluent / filler)
Bahan pengisi ditambahkan untuk memperbaiki daya kohesi sehingga
dapat dikempa langsung atau untuk memacu aliran. Bahan pengisi yang biasa
digunakan antara lain laktosa, sukrosa, dekstrosa, manitol, sorbitol, dan bahan lain
yang cocok (Banker and Anderson, 1986).
2) Bahan pelicin (lubricant)
Bahan pelicin digunakan untuk memacu aliran serbuk atau granul dengan
jalan mengurangi gesekan di antara partikel-partikel. Bahan-bahan yang biasa
yang digunakan antara lain talk, magnesium stearat, asam stearat, kalsium stearat,
natrium stearat (Banker and Anderson, 1986).
3) Bahan Pengikat (binder)
Bahan pengikat dimaksudkan untuk memberikan kekompakkan dan daya
tahan tablet. Sebagai bahan pengikat yang khas antara lain gula dan jenis pati,
gelatin, turunan selulosa, gom arab, tragakan (Voigt, 1984). Bahan pengikat yang
biasa digunakan adalah mucilago amili 5–10%, solution gelatin 2–10%, polivinil
pirolidon 5–20%, metil selulosa (solutio) 2–10%, etil selulosa (solutio) 5–10%,
poliakrilamid 2–8% (Sheth et al., 1980). Bahan pengikat dapat ditambahkan
dalam bentuk kering tetapi lebih efektif jika ditambahkan dalam bentuk larutan
(Anonim, 1995).
b. Tablet Kunyah
Tablet kunyah merupakan tablet spesial yang digigit hingga hancur dan
ditelan (Voigt, 1984). Sediaan ini memiliki rasa aromatik yang menyenangkan,
tidak mengandung bahan penghancur dan lebih disukai oleh pasien yang
mempunyai kesulitan dalam menelan. Tablet kunyah juga merupakan alternatif
yang baik untuk anak-anak yang tidak bisa menelan tablet dengan air
(Alderborn, 2003).
Tablet kunyah dimaksudkan untuk dikunyah, memberikan residu dengan
rasa pahit atau tidak enak (Anonim, 1995). Tujuan dari tablet kunyah adalah untuk
memberikan suatu bentuk pengobatan yang dapat diberikan dengan mudah kepada
anak-anak atau orang tua yang mungkin sukar menelan obat utuh
(Banker and Anderson, 1986). Untuk mendapatkan tablet kunyah yang dapat
diterima konsumen dan memenuhi persyaratan, diperlukan bahan pengisi
sekaligus pemanis. Tablet kunyah pada umumnya menggunakan manitol, sorbitol,
laktosa, dekstrosa, glukosa atau sukrosa sebagai bahan pengikat dan bahan
pengisi. Bahan tersebut bisa sekaligus sebagai bahan pemanis (Anonim, 1995).
Tablet kunyah merupakan bentuk sediaan farmasi yang praktis untuk
dikembangkan dalam formula ekstrak obat tradisional. Keunggulan dari produk
tablet kunyah yang mengandung ekstrak adalah kandungan bahan alami akan
lebih mudah diserap tubuh dan mudah dilepaskan sehingga bekerja aktif pada
jaringan tubuh yang diobati.
c. Metode Pembuatan Tablet
Pembuatan tablet terdapat 3 macam metode, yaitu metode granulasi basah,
metode granulasi kering dan cetak langsung (Ansel et al., 1995).
1) Metode granulasi basah (Wet granulation)
Granul dibentuk dengan jalan mengikat serbuk dengan suatu perekat
sebagai pengganti pengompakan. Teknik ini membutuhkan larutan, suspensi atau
bubur yang mengandung pengikat yang biasanya ditambahkan pada campuran
serbuk, namun demikian, bahan pengikat itu dapat dimasukkan kering kedalam
campuran serbuk dan cairan dapat dimasukkan sendiri (Banker and Anderson,
1986).
Keuntungan granulasi basah adalah:
a) Meningkatkan kohesifitas dalam kompaktibilitas serbuk sehingga diharapkan
tablet yang dibuat dengan mengempa sejumlah granul pada tekanan kompresi
tertentu akan menghasilkan bentuk tablet yang bagus, keras, dan tidak rapuh.
b) Zat aktif yang kompaktibilitasnya rendah dalam dosis yang tinggi harus dibuat
dengan metode granulasi basah, karena jika digunakan metode cetak langsung
memerlukan banyak eksipien sehingga berat tablet terlalu besar.
c) Zat aktif yang larut air dalam dosis kecil, maka distribusi dan keseragaman zat
aktif akan lebih baik kalu dicampurkan dengan larutan bahan pengikat.
d) Sistem granulasi basah dapat mencegah segregasi komponen penyusun tablet
yang telah homogen sebelum proses pencampuran.
e) Zat-zat yang bersifat hidrofob, sistem granulasi basah dapat memperbaiki
kecepatan pelarutan zat aktif dengan perantara cairan pelarut yang cocok pada
bahan pengikat (Sheth et al., 1980).
2) Metode granulasi kering (Dry granulation)
Proses granulasi kering sesuai untuk bahan obat yang tidak tahan
pemanasan dan kelembaban (Anonim, 1995). Pada metode granulasi kering,
granul dibentuk oleh kelembaban atau penambahan bahan pengikat kedalam
campuran serbuk obat tetapi dengan cara memadatkan massa yang jumlahnya
besar dari campuran serbuk dan setelah itu memecahkannya dan menjadikan
pecahan-pecahan kedalam granul yang lebih kecil (Ansel et al., 1995).
Keuntungan granulasi kering adalah perawatan dan proses yang digunakan
lebih sedikit dibandingkan granulasi basah karena lebih sedikit menggunakan
larutan bahan pengikat, peralatn pencampur yang berat, biaya dan waktu
pengeringan (Sheth et al., 1980).
3) Metode kempa langsung
Metode ini digunakan untuk bahan yang mempunyai sifat mudah mengalir
sebagaimana sifat-sifat kohesinya yang memungkinkan untuk langsung
dikompresi dalam tablet tanpa memerlukan granulasi basah atau kering
(Sheth et al., 1980). Keuntungan yang utama dari tabletisasi langsung adalah
bahan obat yang peka lembab dan panas, yang stabilitasnya terganggu akibat
operasi granulasi, dapat dibuat menjadi tablet (Voigt, 1984).
d. Bahan Tambahan Pada Tablet Kunyah
1) Manitol
Manitol mengandung tidak kurang dari 96,0% dan tidak lebih dari 101,5%
C6H14O6, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Berupa serbuk hablur atau
granul mengalir bebas, putih, tidak berbau, rasa manis. Mudah larut dalam air,
larut dalam larutan basa, sukar larut dalam piridina, sangat sukar larut dalam
etanol, praktis tidak larut dalam eter (Anonim, 1995). Manisnya manitol 0,5-0,7
manisnya sukrosa (Mendes et al., 1989). Manitol adalah senyawa alkohol heksa
hidrat yang berbentuk kristal putih, memiliki sifat-sifat yang diinginkan sebagai
bahan tambahan pada formulasi tablet kunyah. Manisnya manitol kira-kira 70%
dari manisnya gula dengan rasa dingin dimulut, memiliki kelarutan cukup dalam
air dan merupakan salah satu bagian pengisi yang biasa digunakan dalam tablet
kunyah, karena mempunyai higroskopisitas yang rendah (Ansel et al., 1995).
Manitol biasa digunakan dalam formulasi sediaan farmasi dan produk
makanan. Dalam formulasi sediaan farmasi, manitol digunakan sebagai diluent
(10-90% b/b) dalam formulasi tablet, dimana menjadi nilai tertentu karena tidak
higroskopis dan boleh digunakan bersama bahan adiktif yang mempunyai
kelembaban sensitif. Manitol digunakan pada kompresi tablet langsung dimana
granul dan semprot pengering tersedia atau pada granulasi basah. Granulasi yang
mengandung manitol mempunyai keuntungan yaitu mudah dikeringkan
(Armstrong, 2006). Keuntungan lain dari penggunaan manitol antara lain:
pemanis rendah berkalori dengan hanya 1,6 kalori per gram yang dapat berguna
untuk pasien diabetes militus, tidak higroskopis, mempunyai rasa manis, sejuk,
menyenangkan, dan tidak memberikan pembentukan karies gigi (Anonim, 2009).
Manitol merupakan gula mahal (Banker and Anderson, 1986).
2) Laktosa
Laktosa merupakan gula yang diperoleh dari susu. Dalam bentuk anhidrat
atau mengandung satu molekul air hidrat. Berupa serbuk atau massa hablur, keras,
putih atau putih krem. Tidak berbau dan rasa sedikit manis. Stabil di udara, tetapi
mudah menyerap bau. Mudah dan pelan-pelan larut dalam air mendidih, sangat
sukar larut dalam etanol, tidak larut dalam kloroform dan dalam eter
(Anonim, 1995). Manisnya laktosa 0,2 manisnya sukrosa (Mendes et al., 1989).
Laktosa merupakan bahan pengisi yang paling banyak dipakai karena tidak
bereaksi dengan hampir semua bahan obat, menunjukan laju pelepasan obat yang
baik, granulnya cepat kering dan waktu hancurnya tidak terlalu peka terhadap
perubahan pada kekerasan tablet, dan juga laktosa mempunyai harga yang relatif
murah (Lachman et al., 1989).
3) Amilum manihot
Pati singkong adalah pati yang diperoleh dari umbi akar Manihot
utilissima Pohl. (Familia Euphorbiaceae). Merupakan serbuk sangat halus, putih.
Praktis tidak larut dalam air dingin dan dalam etanol (Anonim, 1995).
4) Magnesium stearat
Magnesium stearat merupakan senyawa magnesium dengan campuran
asam organik padat yang diperoleh dari lemak, terutama terdiri dari magnesium
stearat dan magnesium palmitat dalam berbagai perbandingan. Mengandung
setara dengan tidak kurang dari 6,8% dan tidak lebih dari 8,3% MgO. Berupa
serbuk halus, putih dan voluminus, bau lemah khas, mudah melekat di kulit, bebas
dari butiran. Tidak larut dalam air, dalam etanol, dan dalam eter (Anonim, 1995).
5) Talk
Talk adalah magnesium silikat hidrat alam, kadang-kadang mengandung
sedikit aluminium silikat. Berupa serbuk hablur sangat halus, putih atau putih
kelabu. Berkilat, mudah melekat pada kulit dan bebas dari butiran. Tidak larut
dalam hampir semua pelarut (Anonim, 1995). Talk berfungsi sebagai anticaking
agent, glidant, diluent, dan lubricant (Kibbe, 2006).
e. Parameter Fisik Granul
1) Distribusi Ukuran Partikel
Penentuan ukuran partikel dapat dikerjakan dengan metode pengayakan,
yaitu dengan melewati serbuk dengan goncangan mekanis menembus suatu
susunan ayakan yang diketahui ukurannya dan berurutan dari ukuran yang besar
ke ukuran yang kecil (Ansel et al., 1995).
2) Waktu alir
Waktu alir merupakan waktu yang diperlukan bila sejumlah granul
dituangkan pada suatu alat kemudian dialirkan. Mudah atau tidaknya aliran granul
dapat dipengaruhi oleh bentuk granul, bobot jenis, keadaan permukaan dan
kelembabannya. Kecepatan aliran granul sangat penting karena berpengaruh pada
keseragaman bobot tablet (Sheth et al., 1980).
3) Sudut diam
Sudut diam merupakan sudut maksimal yang mungkin terjadi antara
permukaan suatu tumpukan serbuk dan bidang horizontal. Besar kecilnya sangat
dipengaruhi oleh besar kecilnya gaya tarik dan gaya gesek antar partikel. Bila
sudut diam lebih kecil dari 30oC biasanya menunjukkan bahwa bahan dapat
mengalir bebas, bila sudutnya lebih besar atau sama dengan 400C biasanya
mengalirnya kurang baik (Banker and Anderson, 1986).
4) Pengetapan
Pengukuran sifat alir dengan metode pengetapan yaitu dengan melakukan
penghentakan (tapping) terhadap sejumlah serbuk dengan menggunakan alat
volumeter (mechanical tapping device). Pengetapan dilakukan dengan mengamati
perubahan volume sebelum pengetapan (Vo) dan volume setelah pengetapan
setelah konstan (Vt). Serbuk dapat dikatakan memiliki sifat air baik jika indeks
pemampatannya kurang dari 20% (Fashihi and Kanfer, 1986).
f. Parameter Fisik Tablet Kunyah
1) Keseragaman bobot tablet
Keseragaman bobot tablet ditentukan berdasarkan banyaknya
penyimpangan bobot pada tiap tablet terhadap bobot rata-rata dari semua tablet
sesuai syarat yang ditentukan dalam Farmakope Indonesia edisi III
(Anonima, 1979).
2) Kekerasan tablet
Kekerasan tablet merupakan parameter yang menggambarkan ketahanan
tablet dalam melawan takanan mekanik seperti guncangan dan terjadinya
keretakan tablet selama pengemasan dan transportasi.Tablet yang baik
mempunyai kekuatan antara 4-8 kg (Parrott, 1970). Tablet harus cukup keras
untuk tahan pecah waktu penanganan atau pembuatan, pengemasan dan
transportasi, tablet juga harus cukup untuk melarut sehinnga dapat hancur saat
digunakan atau dipatahkan diantara jari-jari bila memang tablet ini perlu dibagi
pada saat pemakaiannya (Ansel et al., 1995). Alat yang biasa digunakan adalah
hardness tester (Monsanto Stokes) dan hardness tester (Strong–Cobb)
(Banker and Anderson, 1986).
3) Kerapuhan
Kerapuhan dinyatakan sebagai massa seluruh partikel yang dilepaskan dari
tablet akibat adanya beban penguji mekanik. Kerapuhan dinyatakan dalam prosen
yang mengacu pada massa tablet awal sebelum pengujian dilakukan
(Voigt, 1984). Sifat tablet yang berhubungan dengan kerapuhan diukur dengan
menggunakan friabilitor. Nilai kerapuhan lebih besar dari 1% dianggap kurang
baik (Banker and Anderson, 1986).
4) Uji Penerimaan Rasa
Uji penerimaan rasa merupakan pengujian yang panelisnya
mengemukakan respon berupa rasa terhadap sampel yang diuji. Pada pengujian
ini panelis diminta untuk mengemukakan pendapatnya secara spontan tanpa
membandingkan dengan sampel standar.
5) Uji Kesukaan (Hedonik test)
Uji kesukaan merupakan pengujian yang panelisnya menemukakan respon
berupa senang tidaknya terhadap sifat bahan yang diuji. Pada pengujian ini panelis
diminta untuk mengemukakan pendapatnya secara spontan tanpa membandingkan
dengan sampel standar.
Selengkapnya.....