LIBRARY CAFÉ: Antara Idealisme Dan Bisnis

Share |

PENDAHULUAN
Angin semilir menghembus ruang semi terbuka di Komunitas Literer Bandung berlabel Zoe Café and Library yang siang itu sekitar pukul 11.00 dikunjungi lebih kurang lima belas (15) orang. Musik instrumentalia dari Kenny G mengalun lembut menemani pengunjung yang mengisi hari dengan membaca, mengerjakan tugas, ngobrol atau juga “ngenet” memanfaatkan fasilitas wifi yang disediakan. Tampak dua orang pelajar perempuan berseragam SMA duduk berdampingan disebuah kursi panjang kayu berwarna hitam. Keduanya asyik membaca komik yang berada di tangan masing-masing sambil sesekali menyeruput minuman yang mereka pesan dari kafé di tempat itu. Tidak jauh dari mereka duduk tiga pria berpenampilan mahasiswa dengan celana jeans dan kaos oblong, tampak serius menatap laptop dihadapan mereka. Sesekali mereka bercakap-cakap dan seorang dari mereka mengetikan sesuatu di laptop itu dan yang lainnya menuliskan kalimat-kalimat di atas kertas. Tak lama kemudian pelayan datang mengantar makanan dan minuman yang mereka pesan. Percakapan tetap berlangsung sambil menikmati pesanan tersebut.(STUDI KASUS KOMUNITAS LITERER BANDUNG)*
Ninis Agustini Damayani**

.
* Disampaikan pada acara Seminar Nasional dengan tema “Peluang Bisnis dalam Perpustakaan” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Perpustakaan dan Informasi Universitas Diponegoro, Semarang 5 Juni2010.
** Dosen Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas
Padjadjaran.
Di pojok lain beberapa mahasiswi tampak asyik dengan kegiatan masing-masing, ada yang membaca novel, komik, majalah, atau berinternet, ada pula yang sibuk menulis. Meski berbeda kesibukan tetapi semua menjalankan aktifitas yang berorientasi edukasi sambil menikmati minuman dan makanan yang ditawarkan oleh perpustakaan yang menghadirkan kafe tersebut.

Tak jauh dari Zoe, kurang lebih 100 meter, ada tempat lain yang tak kalah menarik , yaitu Komunitas Literer Bandung yang berlabel Potluck Coffee Bar and Library. Potluck memanjakan pengunjung yang mereka namakan potluck people dengan makanan dan minuman serta musik jazz disamping buku fiksi dan majalah terutama terbitan luar negri yang sukar diperoleh disini. Kursi-kursi kayu berwarna coklat dipilih untuk mengisi ruang berbentuk L dengan kaca-kaca besar. Ditengah ruang terdapat kafe yang menyediakan berbagai minuman dan makanan. Menu ditulis di papan yang terpampang di belakang bar, sehingga potluck people dapat melihat dengan jelas. Selain itu potluck juga menyediakan ruang-ruang bersofa yang disekat dengan rak-rak yang dipenuhi koleksi. Potluck people yang sebagian besar mahasiswa, tidak hanya datang untuk membaca dan menikmati menu kafe yang lezat, tetapi mereka juga memanfaatkan fasilitas hotspot yang tersedia, mengerjakan tugas atau bertemu teman untuk berbagai urusan seperti berdiskusi, sekedar ngobrol dll. Seperti sore itu sekitar pukul 16.00 alunan suara grup musik jazz dari perancis Cafedelimar menemani potluck people menghabiskan waktu berkegiatan di tempat itu.
Jika kedua tempat tadi berlokasi di kota Bandung bagian tengah, maka di Bandung bagian utara, tepatnya di kawasan hegarmanah juga ada Komunitas Literer Bandung berlabel Rumah Buku. Rumah Buku dibangun oleh pemilik sekaligus penggagasnya sebagi pusat referensi, menawarkan ruang untuk berkegiatan membaca, berdiskusi, menonton film dll. Ada kurang lebih 3000 koleksi buku yang fokus pada subyek tertentu seperti; antropologi, budaya, sastra, filsafat, arsitektur dan seni yang ditawarkan. Selain itu Rumah buku juga menawarkan koleksi film dan musik dalam bentuk CD, bahkan ada ruang khusus yang dapat digunakan untuk menonton film. Sambil membaca, belajar, mengerjakan tugas, diskusi, nonton film, mendengarkan musik dan lain-lain, anggota yang merasa lapar dan haus, dapat memesan makanan dan minuman seperti sandwich, nasi goreng, nasi hijau, ice chocolate, hot lemon tea dan lain-lain dari kafe yang disediakan di tempat tersebut. Suasana rumah dibangun untuk membuat pengunjung merasa santai dan nyaman berkegiatan di Rumah Buku.
Ketiga tempat ini merupakan sebagian dari perpustakaan kafe yang ada di kota Bandung yang tergabung dalam Komunitas Liteter Bandung yaitu komunitas yang melakukan pergerakan literasi dengan cara yang khas. Memanfaatkan koleksi perpustakaan sambil makan, minum, mendengarkan musik, bahkan ngobrol atau diskusi merupakan fenomena yang berkembang di Indonesia terutama kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta dan Yogyakarta. Perlu kita ingat bahwa, memanfaatkan perpustakaan dengan cara seperti ini bertentangan dengan pakem yang berlaku di dunia perpustakaan, dimana terdapat aturan yang melarang pemustaka (pengguna perpustakaan) untuk makan, minum, ngobrol, mendengarkan musik di dalam perpustakaan. Sehingga fenomena Perpustakaan Kafe atau Library Cafe ini menimbukan setumpuk keingintahuan tentang apa dan mengapa?. Apakah ini sebuah idealisme untuk membangun literasi informasi mayarakat di Indonesia tercinta ini?, atau sebuah bisnis saja ?.

Library Cafe : Sebuah Idealisme
Membangun bangsa yang cerdas merupakan cita-cita mulia/idealisme yang menjadi dasar bagi kegiatan literasi informasi Melalui kegiatan literasi informasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi masyarakat pembelajar sepanjang hayat dan berkehidupan cerdas. Sesungguhnya telah banyak kegiatan yang dicanangkan pemerintah untuk mendukung pembangunan sumber daya manusia yang berkeaksaraan tersebut, yaitu

1. Pencanangan Hari Aksara dan kunjung Perpustakaan serta Bulan Gemar membaca oleh Presiden RI H.M. Soeharto, pada tanggal 14 September 1995
2. Pencanangan Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, pada tanggal 25 Oktober 2001
3. Pencanangan Gerakan Membaca Nasional oleh Presiden RI Megawati Soekarno Putri, pada tanggal 12 November 2003
4. Pencanangan gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat oleh Preside RI DR. H. Susilo Bambang Yudoyono, pada tanggal 17 Mei 2006 (Pepustakaan Nasional,2006:6).


Selain itu banyak lagi kegiatan–kegiatan literasi informasi yang dilakukan lembaga-lembaga pemerintah seperti Pepustakaan Nasional sebagai pembina semua jenis perpustakaan di Indonesia, Bapusipda sebagai penggiat literasi informasi di daerah, kemudian Kemendiknas dengan taman bacaan masyarakat, dan lain-lain. Berdirinya perpustakaan–perpustakaan kafe yang marak di kota-kota besar di Indonesia seperi di Bandung ini dapat dianggap sebagai upaya kepedulian terhadap literasi informasi di masyarakat. Modifikasi layanan dengan menghadirkan kafe dan musik di perpustakaan-perpustakaan kafe ini, juga dapat dianggap sebagai upaya membangun kesenangan kenyamanan dan rasa santai dalam belajar untuk menambah pengetahuan. Meski aura bisnis tetap lekat pada perpustakaan-perpustakaan kafe ini, namun kiprah mereka untuk membuat orang mau membaca dan belajar secara terus menerus tidak dapat dianggap kecil. Upaya-upaya menyelaraskan layanan informasi dengan kebutuhan target pasar mulai dari content sampai dengan kemasan, bukan aktifitas sederhana dan mudah. Mereka memilih dan menentukan target pasar yang dibidik, yang disesuaikan dengan kekuatan yang mereka miliki dari segi fasilitas, staf, dan produk, sehingga apa yang mereka tawarkan memiliki sentuhan tersendiri, serta menghadirkan kepuasan baik fisik maupun emosi yang diharapkan. Menurut pendapat saya gerakan literasi informasi yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga informasi seperti perpustakaan, taman bacaan dan lain-lain, baik di sektor formal maupun sektor non formal dapat mengadaptasi prinsip-prinsip sebagai berikut, yaitu; menawarkan produk dan cara memperoleh produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pasar yang telah diidentifikasi, sehingga transaksi berjalan seperti yang dikehendaki bersama. Seperti apa yang disampaikan oleh Ariani, pendiri Rumah Buku, dalam wawancara yang dimuat Koran Pikiran Rakyat “ jangan meremehkan minat baca orang Indonesia. Kalau bukunya tersedia dengan gampang dan murah, banyak yang datang dan ingin membaca” (Pikiran Rakyat, Sabtu 15 Maret 2008).

Selanjutnya, perpustakaan kafe ini juga membangun dan memelihara hubungan baik dan bermanfaat dengan kliennya, melalui berbagai kegiatan yang melibatkan kedua belah pihak. Semangat berbagi informasi juga ilmu pengetahuan melalui berbagai koleksi yang ditawarkan secara personal memberi warna tersendiri dalam membangun hubungan kepercayaan untuk menggali lebih jauh tentang informasi yang ingin diketahui. Selain itu dibentuknya kelompok-kelompok dan forum-forum diskusi memberikan ruang bagi terjadinya interaksi yang intensif dan saling menguntungkan antara perpustakaan dengan kliennya yang secara pasti dapat memberikan sentuhan-sentuhan emosi yang mengikat untuk terus berjuang bersama mencapai tujuan bersama yaitu masyarakat yang literat. Masyarakat literat yang diartikan sebagai masyarakat yang bukan hanya suka baca tetapi lebih dari itu, yaitu masyarakat pembelajar sepanjang hayat, masyarakat berkehidupan cerdas yang mampu memaknai apa yang dibaca dengan cerdas, kritis dan bijak, termasuk mampu memaknai lingkungan sekitarnya.

Library Cafe : Sebuah Gaya Hidup
Memenuhi kebutuhan informasi melalui bacaan tercetak ataupun elektronik merupakan hal yang paling umum dilakukan. Kebutuhan informasi juga dapat dipenuhi melalui diskusi dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan pada hal yang sama atau dengan para pakar dibidang tersebut. Perpustakaan kafe menawarkan informasi dalam bentuk-bentuk yang personal, yang memberikan kemudahan dan kenyamanan dengan harga yang terjangkau. Kemasan informasi seperti acara “nongkrong/hang out”, nonton bareng serta forum-forum diskusi yang digelar memberikan nuansa yang berbeda dan lebih bergengsi bagi klien. Demikian juga kegiatan membaca, belajar dan berselancar di dunia maya yang dilakukan di perpustakaan kafe telah menjadi kebutuhan sosial bagi klien. Bahkan seringkali informasi yang didapat tidak sepenuhnya seperti yang diinginkan, tetapi keikutsertaan mereka dalam kehidupan sosial seperti itu telah menjadi simbol-simbol yang memberikan makna khusus untuk mereka, misalnya termasuk dalam kelompok keren yang didefinisikan sebagai gaul & pintar. Karena untuk predikat gaul cukup berkunjung ke kafe atau mall, tetapi predikat gaul dan pintar harus berkunjung ke perpustakaan kafe. Terlebih lagi dengan keikutsertaan mereka dalam komunitas-komunitas yang dibentuk atas nama kesamaan (ide,konsep,ketertarikan,dll ).

Beraktivitas di sebuah perpustakaan kafe telah menjadi sebuah gaya hidup yang banyak dianut masyarakat kota, yang awalnya dianggap sebagai pilihan bebas individu tetapi kenyataannya justru kebesertaan tanpa pilihan. (Gaya hidup dapat didefinisikan sebagi pola hidup seseorang yang diekspresikan dalam bentuk tindakan dalam berkehidupan yang membedakan satu dengan yang lainnya). Ini bisa kita lihat pada fenomena yang ada yaitu bahwa untuk menjadi individu bersimbol tertentu (mis:gaul&pintar), tanpa bisa memilih mereka harus bergabung dalam keseharian kelompok/komunitas bersimbol tersebut, seperti melakukan aktivitas di perpustakaan kafe. Hal ini dikemukakan oleh pemikir-pemikir aliran kritis dimana hal tersebut diatas dianggap sebagai penindasan kultural atas individu dalam masyarakat. Habermas menyebutnya sebagai legitimasi yaitu sistem yang dihasilkan oleh sistem politik dan sistem lainnya untuk mendukung eksistensi sistem tersebut (Goodman & Ritzer,2004:183). Atau dengan kata lain individu dikontrol oleh kekuatan eksternal. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa kehadiran perpustakaan kafe cenderung disebabkan adanya kepentingan industri buku atau penerbit, industri media massa dan nir massa seperti internet dan lain-lain. Kehadiran satu perpustakaan kafe diikuti oleh yang lainnya sehingga tersebar dimana-mana, bak jamur di musim hujan. Apabila begitu terus maka akan terjadi stagnasi atau kemandekan berpikir atau kejenuhan, yang akhirnya berguguran. Sebagai contoh, pada tahun 2005 di kota Bandung berdasarkan penelitian yang dilakukan komunitas Dipan Senja, terdapat sekitar 40 komunitas literer, tapi saat ini menurut Tobucil tinggal 8 komunitas literer yang aktif. Pemaparan ini tidak berarti bahwa keberadaan perpustakaan kafe yang kemudian menjadi simbol gaya hidup adalah salah. Akan tetapi harus selalu ada hal baru agar kita tidak pernah berhenti berpikir kritis dan berkreasi.

Library Café:Sebuah Bisnis
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran perpustakaan kafe memberikan nafas baru bagi dunia kepustakawanan di Indonesia. Penyajian informasi dalam kemasan kenyamanan, kemudahan dan rekreasi, tanpa meninggalkan unsur edukasi menjadi amat menyentuh dan menghasilkan sebuah bisnis. Sesungguhnya ini merupakan peluang bagi perpustakaan dan pustakawan/ahli informasi untuk mengembangkan kepiawaiannya dalam mengelola informasi keranah bisnis. Pustakawan/ahli informasi perlu melihat dan memperhatikan secara seksama bahwa segmen pasar tertentu memilih layanan informasi dengan cara tertentu. Dengan demikian dalam pengelolaan perpustakaan perlu diterapkan prinsip-prinsip marketing/pemasaran, yaitu tidak menjual apa yang kita punya tetapi menjual apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh target klien kita. Jadi karakteristik perpustakaan kafe berserta segala produk yang kita tawarkan harus sesuai dengan karakteristik target klien kita. Oleh sebab itu mengenal klien menjadi syarat terpenting dari sebuah pemasaran.
Klien adalah fokus dari sebuah kegiatan pemasaran karena apapun yang dilakukan oleh pemasar ditujukan untuk memberikan kepuasan pada klien melalui produk yang ditawarkan. Oleh karenanya kita harus mengenal;

1. siapa mereka?
2. bagaimana karakteristik mereka?
3. apa yang membuat mereka menggunakan perpustakaan?
4. layanan informasi seperti apa yang mereka inginkan sekarang?
5. layanan informasi seperti apa yang mereka inginkan kedepan?
6. benefit apa yang mereka cari?
7. produk apa yang mereka inginkan?

Selain itu dalam pemasaran perlu diingat bahwa klien yang berbeda memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga segmentasi pasar perlu dilakukan agar pemasar dapat;

1. memilih, menentukan klien yang terpenting atau klien sasaran (market targeting)
2. mengidentifikasi peluang
3. menentukan perbedaan yang jelas dengan pesaing
4. fokus pada layanan dan produk yang sesuai dengan klien sasaran
5. cepat melihat perubahan pasar
6. merancang kegiatan promosi yang sesuai dengan klien sasaran

Selanjutnya perlu digaris bawahi bahwa produk dari sebuah perpustakaan kafe meliputi;

1. Sumber daya manusia
2. Koleksi (cetak maupun non cetak)
3. Fasilitas wifi
4. Lokasi dan Tata Ruang (letak strategis,furnitur, warna, tata letak)
5. Makanan dan Minuman serta cara penyajian
6. Suasana (keramahan, kehangatan, keakraban, kesopanan, kebersihan, keunikan)
7. Musik
8. Harga yang terjangkau klien sasaran
9. Program/Kegiatan yang melibatkan pengelola dan klien

PENUTUP
Menikmati informasi melalui media cetak maupun non cetak dengan ditemani musik dan makanan, minuman di perpustakaan kafe menjadi pengalaman yang amat menyenangkan. Sedangkan mengelola perpustakaan kafe merupakan tantangan untuk memadukan idealisme dan bisnis agar dapat beriring jalan secara serasi. Ini merupakan lahan yang dapat digarap ahli informasi termasuk pustakawan.

DAFTAR PUSTAKA

Calhoun, Craig et all. 2007. “Contemporary Sociological Theory”. UK:Blackwell
Chaney, David. 200... “Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif” (karya
terjemahan). Yogyakarta : Jalasutra
Coote, Helen.1994. “How to Market Your Library Effectively”. London:Aslib.
Elliot de Saez, Eileen. 2002. “Marketing Concepts for Libraries and
Information Services 2 ed”. London:CILIP.
Fill, Chris. 2006.”Marketing Communications : Engagement, Strategies and
Practice”. Harlow:Prentice Hall.
Goodman, Doglas J. & Ritzer, George. 2005 “Teori Sosiologi Modern”
(karya Terjemahan). Jakarta: Prenada Media
Ibrahim, Idi Subandy (ed). 200… “Lifestyle Ectasy:Kebudayaan Pop dalam
Masyarakat Komoditas Indonesia”, Yogyakarta: Jalasutra
Jain, Abhinandan K. et.al.1999. “Marketing Information Products and Services:A
Primer for librarians and Information Profesionals”. New Delhi:McGraw-Hill
Ritzer, George. 2007 “Contemporery Sociological Theory and Its Classical
Roots: The Basics”. Boston: Mc Graw-Hill
Kotler & Armstrong. 2008. “Principles of Marketing 12e”. New Jersey:Pearson
Prentice Hall.
Straubhaar,J. and La Rose, R. 2000. “Media Now:Communication Media in
the Information Age”. Belmont,CA:Wadsworth.
Vivian, John.2006. “The Media of Mass Communication 7ed”. Boston:Pearson
Sumber lain.
Perpustakaan Nasional RI. 2006. “Pencanangan Pemberdayaan Perpustakaan di
Masyarakat”. Jakarta:Perpustakaan Nasional RI.
Pikiran Rakyat, Maret 2008